Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ke Sangihe: Perjalanan Orang-orang Kalah

20 Januari 2020   19:12 Diperbarui: 20 Januari 2020   19:22 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: KOMPAS.COM/RONNY ADOLOF BUOL

Selalu ada cerita baru setip kali kita datang ke daerah yang belum pernah ditemui sebelumnya. Kemiskinan pengalaman bisa-bisa membuat kita seperti orang bodoh; layak kaki yang tak pernah menginjak tanah di luar pagar rumahnya; heran, terkesimak, plangak-plongok, sembari bersyukur dengan suara keras melihat indahnya situasi yang baru.

Sebelumnya saya belum pernah ke pulau Sangihe. Tapi kondisi sosial masyarakat di sana membuat perjumpaan baru ini terasa tidak asing dari pemaknaan; seperti desa pada umumnya.

Kali ini bukan agenda turisme; agenda yang datang memungut makna baru dari situasi alam yang masih asri, merasa sesak dengan kota dan ingin kembali di masa sebelum zaman kapitalisme, atau dalam agenda penaklukan seperti dalam sejarah. Bukan!

Agenda kali ini adalah penyaluran bantuan kepada korban banjir bandang yang melanda beberapa daerah di pulau Sangihe: desa Hiung, Banala, dan Lebo yang berada di kecamatan Manganitu, dan desa Ulung Peliang yang berada di kecamatan Tamako, kabupaten Kepulauan Sangihe, provinsi Sulawesi Utara.

Bisa dibilang kali ini adalah agenda kemanusiaan. Begitu umumnya orang-orang berkata.

Kami sepuluh perwakilan dari aliansi LSM dan organisasi mahasiswa. Sepuluh orang dari latar kehidupan yang berbeda. Rata-rata dari latar kehidupan kota -- dengan bayang-bayang kehidupan kota, gedung tinggi dan keramaian macet, berjumpa dengan situasi yang sunyi, hijau, dan warga yang ramah. Jika tidak kagetan, main foto sana-sini.

Dari gerak-gerik yang bisa saya tangkap, ada perasaan superior saat berada di kerumunan orang-orang desa. Orang dari kota ke desa merasa benar dengan pandangannya; kota adalah referensi kemajuan, orang-orang kota adalah representasi peradaban. Begitu kira-kira asumsinya. Di luar kota, adalah inferior.

Cara berpakaian, menyapa, bertutur, dialek, model gawai, merupakan ciri-ciri yang mewakili kemajuan zaman. Bagaimanapun cara berpakaian, bergaul, dsb., orang desa tetaplah orang desa. Meski perkembangan teknologi tidak lagi memberi batas-batas namun sisa kolonial masih tetap bersarang: prasaan superior-inferior, modern-tradisional (maju-statis), dan seterusnya, dan seterusnya...

Saya dasarnya dari desa merasa tidak ada yang baru dalam memaknai situasi baru ini. Meski sedikit "imajinasi borjuis" memberi penilaian dalam setiap perjumpaan. Maklum, lima tahun di kota juga berpengaruh dalam menilai situasi.

Misalnya, sepanjang perjalanan ke lokasi-lokasi bencana, sebelah kiri dan kanan jalan tanaman cengkih dan pala di mana-mana. Belum juga sumber ekonomi yang disediakan oleh laut. Bisa dibilang sumber pendapatan melimpah dari gunung sampai laut. Namun yang membuat heran konstruksi bangunan rumah di sepanjang perjalanan masih terlihat tidak representasi dengan melimpahnya kekayaan alam. Setidaknya setelah melakukan perbandingan di wilayah saya yang sumber daya alamnya tidak semelimpah di pulau Sangihe.

Ambivalensi Sikap

Meniru bahasa orang lain tentunya hal yang biasa. Sama seperti kami yang coba belajar bahasa Sangihe di sana. Dari kata-kata penyebutan laki-laki dan perempuan sampai makian. Ada yang serius ingin mengumpulkan pengetahuan, tapi ada beberapa teman yang bermain-main dan dibuat candaan atau mimikri: meniru sambil mengolok-olok.

Sikap ini tentunya menyimpan asumsi di belakang: merasa tinggi statusnya sehingga tidak apa-apa jika mengolok, dan yang diolok dirasa rendah statusnya sehingga tidak akan marah jika diolok. Sekalipun di ranah kebudayaaan.

Dahulu di masa kolonialisme juga demikian. Orang-orang yang datang dari "Barat" merasa benar dengan kebudayaannya dan menganggap kebudayaan di luar kebudayaannya adalah belum tercerahkan dan dianggap rendah. Atau tidak beradab. Meski makin kemari pemaknaan "beradab" itu lebih condong ke kebudayaan mana.

Ini merupakan ambivalensi. Di sisi lain diskursus yang dibangun di sudut-sudut kota adalah kritik atas lajunya pembangunan dan distrupsi modernisasi. Selalu yang dijadikan situasi ideal adalah desa. Desa dengan kehidupan kolektif, tradisi yang kuat, dan seterusnya, dan seterusnya...

Beberapa teman saya yang ikut, terutama mahasiswa, kosakata aktivisnya selalu kritik terhadap percepatan dan luka-luka yang disebabkan oleh pembangunan kota. Hal itu bersamaan dengan pegandaian kecangihan sistem di desa. Sistem yang belum terlalu terjamah oleh kerumitan birokratisme dunia kota. Belum terpenjarah utuh oleh penjara rasional.

Jika desa menjadi pengandaian yang-ideal, mestinya perjalanan ke desa jadi momen pembelajaran. Mempelajari bagaimana orang-orang desa mampu memaknai hidupnya sebagai orang desa dengan lokalitasnya. Memaknai bagaimana warga desa bisa terus memaknai hidupnya sebagai bagian dari dunia yang tetap konsisten pada nilai-nilai budayanya.

Ambivalensi yang ditampilkan adalah: di kota selalu menampilkan nilai-nilai desa sebagai kritik terhadap nilai-nilai kota namun setelah ke desa tetap mempertahankan nilai-nilai kota sebagai penilaian terhadap nilai-nilai desa, bahkan cenderung merasa di atas dan mengolok-olok.

Hal ini yang menjadi siklus bertahap. Kita menampilkan dan mempertahankan nilai-nilai kota saat di desa, meski di kota berbalik arah. Orang-orang desa selalu ingin menjadi orang kota karena perbuatan kota yang semena-mena dalam menilai kehidupan. Siklusnya juga berputar kembali.

Orang-orang kota dijajah oleh sistem yang lebih besar di luar dirinya sehingga terkalahkan dalam kehidupannya. Ke desa selalu merasa memenangkan kehidupan. Merasa menang dari pemenang yang sebenarnya: sistem desa.

Sekertariat, 20 Januari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun