Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ke Sangihe: Perjalanan Orang-orang Kalah

20 Januari 2020   19:12 Diperbarui: 20 Januari 2020   19:22 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: KOMPAS.COM/RONNY ADOLOF BUOL

Meniru bahasa orang lain tentunya hal yang biasa. Sama seperti kami yang coba belajar bahasa Sangihe di sana. Dari kata-kata penyebutan laki-laki dan perempuan sampai makian. Ada yang serius ingin mengumpulkan pengetahuan, tapi ada beberapa teman yang bermain-main dan dibuat candaan atau mimikri: meniru sambil mengolok-olok.

Sikap ini tentunya menyimpan asumsi di belakang: merasa tinggi statusnya sehingga tidak apa-apa jika mengolok, dan yang diolok dirasa rendah statusnya sehingga tidak akan marah jika diolok. Sekalipun di ranah kebudayaaan.

Dahulu di masa kolonialisme juga demikian. Orang-orang yang datang dari "Barat" merasa benar dengan kebudayaannya dan menganggap kebudayaan di luar kebudayaannya adalah belum tercerahkan dan dianggap rendah. Atau tidak beradab. Meski makin kemari pemaknaan "beradab" itu lebih condong ke kebudayaan mana.

Ini merupakan ambivalensi. Di sisi lain diskursus yang dibangun di sudut-sudut kota adalah kritik atas lajunya pembangunan dan distrupsi modernisasi. Selalu yang dijadikan situasi ideal adalah desa. Desa dengan kehidupan kolektif, tradisi yang kuat, dan seterusnya, dan seterusnya...

Beberapa teman saya yang ikut, terutama mahasiswa, kosakata aktivisnya selalu kritik terhadap percepatan dan luka-luka yang disebabkan oleh pembangunan kota. Hal itu bersamaan dengan pegandaian kecangihan sistem di desa. Sistem yang belum terlalu terjamah oleh kerumitan birokratisme dunia kota. Belum terpenjarah utuh oleh penjara rasional.

Jika desa menjadi pengandaian yang-ideal, mestinya perjalanan ke desa jadi momen pembelajaran. Mempelajari bagaimana orang-orang desa mampu memaknai hidupnya sebagai orang desa dengan lokalitasnya. Memaknai bagaimana warga desa bisa terus memaknai hidupnya sebagai bagian dari dunia yang tetap konsisten pada nilai-nilai budayanya.

Ambivalensi yang ditampilkan adalah: di kota selalu menampilkan nilai-nilai desa sebagai kritik terhadap nilai-nilai kota namun setelah ke desa tetap mempertahankan nilai-nilai kota sebagai penilaian terhadap nilai-nilai desa, bahkan cenderung merasa di atas dan mengolok-olok.

Hal ini yang menjadi siklus bertahap. Kita menampilkan dan mempertahankan nilai-nilai kota saat di desa, meski di kota berbalik arah. Orang-orang desa selalu ingin menjadi orang kota karena perbuatan kota yang semena-mena dalam menilai kehidupan. Siklusnya juga berputar kembali.

Orang-orang kota dijajah oleh sistem yang lebih besar di luar dirinya sehingga terkalahkan dalam kehidupannya. Ke desa selalu merasa memenangkan kehidupan. Merasa menang dari pemenang yang sebenarnya: sistem desa.

Sekertariat, 20 Januari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun