Bagi beberapa orang yang hidup di kota dengan pemandangan gedung-gedung tinggi dan juga pusat-pusat perbelanjaan yang padat, mungkin dengan jalan-jalan ke desa merupakan situasi yang baik untuk memberikan pengalaman pada tubuh tentang rasa-ruang alami; tidak ada gedung tinggi yang menghalangi pemandangan dan tidak ada kemacetan juga tidak dikejar-kejar oleh prodak yang memberikan hasrat dan kenikmatan yang menipu pada kita.Â
Di kota bisa terlihat jelas ketimpangannya. Kita bisa menemukan pemukiman daerah gelandangan dalam kota (inner-city slums) yang menjadi pusat kesengsaraan dan kemiskinan.
Dalam distingsi di atas tentang ruang alami, mungkin kita tidak akan berdebat panjang, namun bila kita memandang desa merupakan situasi yang 360 derajat berbeda dengan kota kita masih akan memperdebatkan itu.
Misalnya dengan memandang bahwa situasi di desa murni kehidupannya kolektif inoportunis; kehidupan sosial yang maksimal keramahannya, atau kerja-kerja yang masih manual dengan melibatkan penuh tenaga kerja manusia.
Perkembangan teknologi memberi kita kesetaraan pada informasi. Desa hanyalah sebuah nama dengan makna tertentu dan, tentunya, administrasi. Desa ada dalam sistem dunia. Dengan kecangihan satu kali klik membuat kita bisa terhubung dengan segala jenis yang kita mau (global village).
Saya yang lima tahun ini hidup di kota, dan mungkin juga Anda, pasti punya cerita dari pengalaman tubuh tentang kota juga desa. Pengalaman yang tentunya mengakar kuat.Â
Tidak sedikit juga membuat perbandingan. Karena nenek moyang kita hidup dengan berpindah-pindah tempat (nomaden), kita mungkin mewarisi itu; yang di desa membayangkan kenikmatan dan kebahagiaan hidup di kota dan ingin pindah, yang di kota lelah dengan kehidupan formal dan ingin kembali ke desa dengan fasilitas yang diberikan langsung oleh alam. Atau juga alasan kerja, baik yang dikota ingin membangun dinasti perusahaan di desa atau yang di desa ingin kaya di kota.Â
Tidak jarang juga ada yang terus bertahan di kota karena telah diikat dengan kerja. Migrasi permanen demikian biasanya hasratnya telah kawin dengan nilai-nilai kota atau terikat dengan nilai-nilai komunitas yang lain. Ada juga migrasi temporal yang hanya bolak-balik desa ke kota dan menjadi agen sosialisasi nilai-nilai desa. Mungkin kalau bisa direduksi, saya termasuk kategori kedua. Â
Kata 'desa' selalu berkorespondensi dengan imajinasi tradisional. Desa seakan tetap menjadi desa dalam tradisionalnya tanpa bisa berevolusi sedikitpun. Sejarah kota juga adalah sejarah evolusi.
Memang dalam beberapa poin kehidupan di desa itu sangat dekat dengan situasi alami manusia; kolektivisme. Anda mungkin yang hidup di kota tidak mengetahui data lengkap keluarga di samping rumah anda. Di desa, Anda mungkin jam lima sore diantar sayuran atau ikan oleh tetangga anda.
Di desa sulit mencari patahan-patahan perubahan situasi sosial-kulturalnya. Meskipun teknologi juga masuk dengan pesat, namun kita masih bisa menemukan situasi desa dengan kategori sebagaimana yang kita bayangkan. Mencari patahan-patahan itu adalah dengan melihat jenis-jenis kerja yang berkembang di desa. Cara kerja yang mulai digantikan oleh kecanggihan teknologi.
Saya akan sedikit bercerita tentang beberapa waktu lalu ketika saya balik ke kampung. Agenda saya kali ini bukanlah agenda untuk memberikan pengalaman pada tubuh tentang rasa-ruang alami desa. Pulang kampung kali ini merupakan agenda pertanian; membantu menanan padi di sawah. Pikir saya ini akan sangat ramai karena dalam tradisi kerja sawah di desa adalah dengan memanggil banyak pekerja untuk menanam. Karena banyaknya pekerja, cerita yang diperoleh-pun beragam. Saya selalu tertarik dengan cerita-cerita demikian. Â
Tentunya untuk bekerja di desa, kerumitan untuk pekerja memperoleh kerja tidak seperti di kota dengan lamaran atau sejenisnya. Di desa jenis kerjanya adalah kerja-sosial.
Katakanlah pemilik tanah dan pekerja, pekerja tidak mencari dan meminta-minta kerja pada pemilik tanah namun pemilik tanahlah yang menawarkan pada pekerja. Yang dimaksud dengan kerja-sosial adalah biasanya pemilik objek kerja (sawah) mencari pekerja yang dekat dengannya; entah keluarga ataupun jaringan perkawanan.Â
Meskipun di desa, dalam relasi kerja antara pemilik tanah dan pekerja berubah tidak seperti relasi sosial sebelumnya saat tidak diikat dengan upah. Pemilik tanah dalam ikatan jam kerja (jam 7 sampai jam 5 sore) bisa memerintahkan pekerja sekalipun dia adalah keluarganya.
Kerja yang saya bayangkan dengan banyak pekerja di sawah, saat sampai paginya di sawah, hanya terdapat dua orang dengan mesinnya untuk menanam benih padi. Mesin penanam padi yang dua kali lipat lebih murah diupah dan berkali-kali lipat lebih cepat kerjanya.Â
Nama robot penanam benih padi ini PROQUIP. Meskipun tetap melibatkan manusia dalam operasinya, namun ada kerja kongkrit manusia yang dicurahkan di sawah yang dikurangi. Yang disayangkan adalah jenis kerja-kerja yang membentuk hubungan sosial antar pekerja telah tergantikan. Belum juga pekerja yang digantikan kerjanya oleh mesin yang hanya dimiliki oleh segelintir yang punya uang.
Ini yang saya maksud desa dan kota tidak bisa dibedakan dalam 360 derajat. Corak kerja yang semakin berubah membuat hubungan sosial akan terus berubah. Corak kerjanya akan mengikuti pola wilayah perkotaan yang terus diulang-ulang oleh iklan di layar televisi.
Saya pikir kita akan sepakat bahwa esensi dari desa itu bukanlah soal infrastruktur yang masih kurang. Tapi dimensi kolektifnya dalam hubungan sosial antar warga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H