Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Percakapan Manusia dalam Bus

26 Juli 2019   09:38 Diperbarui: 26 Juli 2019   10:05 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi manusia butuh perjuangan, meski sudah jadi manusia.

Seperti biasa, Ineke turun dari bus tepat di depan halaman rumahnya yang kecil nan kumuh. Sebagai pedagang asongan, tidak membuat sekolahnya terganggu. Hampir semua supir bus kenal Ineke; konon bisa menggambar senyumnya yang kecil di atas kemudi. Sebagai anak yatim, terlalu tua untuk aktifitasnya dengan usia sebelas tahun.

Seorang karnet bus bertugas menagih tarif ongkos bus, Pak Arto. Beliau terkenal karena kebaikannya. Tubuh bungkuk, handuk kecil di leher, permukaan kulit yang retak, merupakan ciri-ciri usia yang selalu ingin muda.

Selesai berjualan, Ineke naik bus. Lengkap dengan seragam sekolah merah-putih yang hampir berubah warna. Dan, badan kecil yang memikul beban dagangan.

"Kenapa kamu murung, Dik?" tanya Pak Arto.

"Hari ini hampir tidak ada yang laku, Pak."

"Iya, Dik. Hari ini juga penumpang tidak seperti biasa, bisa dihitung jari." Senyum Pak Arto di ujung keluh.

Senja memberi sinar dari jendela pada dua wajah yang sama harap: berharap besok akan tetap sehat, berharap bahwa Tuhan tidak lagi jadi pendengar yang baik.

"Sudah hampir sampai, Dik."

"Saya tidak punya cukup uang, Pak." Wajah kecilnya menoleh ke bawah.

Tubuh kecil Ineke telah terbentuk sifat malu. Tak heran dia merasa bersalah kepada Pak Arto. Pak Arto juga hanya menjalankan tugas. Di sisi lain mencari nafkah dari upah tarif bus. "Mafkan saya, Pak. Saya hanya ingin pulang."

"Jarak untuk pulang jalan kaki ke rumah terlalu jauh, Pak."

"Bagaimana, ya, Dik?." Senyum Pak Arto kaku. "Saya juga hanya menjalankan tugas."

"Saya cuma punya sepatu. Meski kusut, tapi warnanya bagus."

"Hehehe... nanti kamu pakai apa, Dik? itu-kan sepatu sekolah?" dengan menoleh ke arah sepatu yang sudah kusam dan terlihat bekas jahitan.

"Saya masih bisa jahit sepatu rusak yang ada di rumah." Ineke berusaha meyakinkan.

Pak Arto hanya tinggal bersama isterinya di rumah. Tidak mempunyai keturunan. "Model sepatunya juga bagus, Dik. Pasti kamu suka?"

"Iya, Pak. Tapi saya harus bayar bus."

"Begini saja, saya juga kebetulan suka dengan sepatu adik. Jika adik bermaksud menukarkannya dengan upah tarif bus, sepatu ini tidak sebanding dengan upah bus."

"Bapak bisa pekerjakan saya. Saya bisa bekerja di dapur."

"Bapak bayar sepatu adik 50.000 rupiah."

Ineke terbuka matanya lebar mengarah ke Pak Arto. "Benar, Pak?"

"Iya, Dik. Bapak suka sepatunya."

"Untuk upah bus 20.000 rupiah. Bapak punya uang 15.000 rupiah."

"Iya, Pak."

"Jadi, bapak masih punya hutang kepada adik...." "15.000 rupiah." Sahut Ineke.

"Bapak masih punya hutang kepada adik. Jadi, sepatunya dibawa pulang saja dulu. Dan ini uang muka 15.000 rupiah."

"Iya, Pak. Terimakasih banyak. Bapak orang baik."

"Iya, Dik. Sudah sampai depan halaman rumah."

"Sampai bertemu lagi, Pak." Dengan mencium tangan Pak Arto.

Setelah sore itu, mereka tidak bertemu lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun