Mohon tunggu...
Akun Ini Telah Pindah
Akun Ini Telah Pindah Mohon Tunggu... -

migunani tumraping liyan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Saling Mengigatkan, yuk... (2)

11 Maret 2011   02:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:53 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sleman,14Jan2011

Aku

Sore hari di Gang Sosrowijayan, Pasar Kembang. Sudah tiga kali ini aku bermain dengan anak-anak di rumah Bu Wira. Rumah ini biasa dijadikan tempat kunjungan DinKes, sekaligus melakukan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan. Kami selaku wanita malam, memang rentan terjangkit penyakit.

Sambil menunggu antrian periksa, kubiasa bermain dengan anak-anak. Tetangga banyak yang bilang kalau aku orangnya mudah dekat dengan anak-anak, disamping mudah pula dengan ”Om-om” tentunya. Aku sendiri senang bisa bermain dengan mereka.

”Mba, mmmm.....ini bacanya apa?” tanya Diva, berlari kecil kearahku sambil membawa buku tipis kecil. Sampul buku itu bertuliskan Iqra jilid satu.

”Yang ini loh mba,” tunjuknya pada sebuah huruf di halaman muka.

”Mba ga bisa baca ini Diva...,” jawabku pelan.

”kog ...ga bisa...besok Mba ikut aku ajah TPA di dekat Kali Code,” kata Diva bersemangat.

Sembari kusembunyikan rasa tak enak di hati, ”ayooo...kumpul kumpul...kita main cublak-cublak suweng,” setengah teriakku, yang langsung disambut meriah oleh mereka.

Begitu cerianya anak-anak, hingga menarik perhatian orang-orang yang ada disitu. Seorang petugas dari Dinkes mendekat dan tertarik ikut bermain. Tampaknya petugas itu juga terlatih berhadapan dengan anak.

Beberapa waktu kemudian, sang petugas berdiri dan bertanya ke anak-anak yang tengah berkerumun.”Adik-adik. Besok, kalau kalian besar, ingin jadi apa hayo?”

”Aku pingin jadi seperti Mba Ayin!” teriak Diva sambil berlari pegang erat tanganku. Anak-anak yang lainpun mengikutinya.

Jawaban ini kontan disambut hening oleh kami berdua. Seorang ibu yang kebetulan melihat mereka, bertanya pada Diva, ”kenapa pingin seperti Mba Ayin?”

”Karena mmm...karena dia baik...mmm cantik!” jawab polos Diva sambil berteriak.

****

Malam minggu ini, aku mendapat lima tawaran sekaligus.

”Kamu jadi idola Yin.” kata Kadip. Boleh dibilang dia adalah bosku. ”Bos Jihal, paling tinggi nawarnya. Semalam ini dia berani 10 juta. Kamu ambil ini saja”

Aku mendengar katanya itu, tapi malas tuk berucap. Malam ini, serasa ruhku tak menyatu dengan tubuhku.

”Badanku lagi sakit, aku pingin tidur malam ini.”

Heh?! Yin! Ga bisa gitu dong!” Kadip pegangi tanganku. Seketika itu juga aku berontak dengan melepaskan cepat pegangannya.

”Yang punya tubuh siapa? Aku kan? Terserah aku dong!” teriakku tepat didepan mukanya. Diamlah dia seketika. Aku berbalik langsung ke kamarku.

***

Pagi ini, seperti biasa, aku bekerja sebagai penjaga lapak buah-buahan di Pasar Beringharjo. Lapak ini milik Bu Wira. Setelah dua jam berselang seorang ibu dengan dua anaknya berhenti dan mengamati buah jeruk. Ibu itu mengenakan jilbab bercadar. Aku tak habis pikir, dengan suhu panas begini masih ada juga orang yang segitu rapetnya berbusana.

”Silakan Bu, disini dijamin murah dan berkualitas,” kataku sambil menunjukkan beberapa jeruk. Tak kusangka ternyata anaknya yang kecil sangat nakal. Berkali-kali ia merengek, hingga puncaknya dia menarik cadar ibunya. Tampaklah muka ibu itu olehku. Dan... luar biasa cantiknya. Masih muda, seumuran denganku mungkin. Belum pernah aku melihat wanita secantik itu. Aku mengakui ini meski aku juga seorang wanita.

Dengan cepat ibu itu memasang kembali cadarnya, kemudian jongkok dan pandangi lembut anak kecilnya itu, ”Ukhti kecil, Alloh sayang sama orang-orang yang sabar. Ummi belanja dulu. Sebentar lagi kita ketemu Abi. InsyaAlloh ya sayang,”

”Ummi, nanti sore aku main ke Ami Burhan ya.” tiba-tiba anak yang satu bertanya.

”Umar, Ummi kan sudah pernah bilang, orang yang jujur itu disayang Alloh. Ummi tahu, Umar akan bermain di sungai kan? Kemarin juga begitu.” kata Ibu itu sambil mengelus rambut anak laki-lakinya itu.

Afwan Ummi...,” pinta Umar.

Sedikit tersentak, ternyata sedari tadi aku bengong! Aku tak pernah, melihat kelembutan seorang ibu seperti ini. Tak pernah ia mengucapkan kata-kata negatif, seperti tidak, jangan, bohong. Sebagai orang yang pernah sekolah, meski putus, aku masih bisa memahami sifat seseorang.

”Mba, saya milih yang ini.” kata ibu itu sambil memilah satu persatu di sisi kiri. Sebelumnya ia telah mencoba rasa jeruk di sisi itu.

”Maaf Bu...” tak ingin kubawa lagi kebohongan ini.”Yang itu masam Bu, ” aku pilahkan jeruk disisi sampingnya. ”Saya pilihkan ya Bu. Silakan dicoba dulu.”

***

Sudah dua minggu ini ...

(bersambung)

maaf lahir batin

fajar nugroho

-----------

maaf jika terdapat kesamaan nama dan karakter

DinKes = Dinas Kesehatan

TPA = Taman Pendidikan Al Quran

Ukhti = wanita atau panggilan bagi wanita dalam bahasa arab

Ummi = ibu

Abi = bapak

Ami = paman

afwan = maaf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun