Kelegaanku bertambah dalam, ketika Diva menyambutku dengan senyum riang.
***
Seminggu berlalu. Aku diusir dari kamarku, karena memang rumah itu milik Kadip. Beruntung aku ditampung Bu Wira. Meski begitu, tak layak bagiku tuk terus-terusan menumpang.
***
Sore itu, di masjid
”Mba Suci... saya mulai senang memakai kerudung seperti sekarang. Lebih merasa tenang dan...seperti terlindugi gitu” kataku hendak curhat maksudnya, ”Tapi maaf Mba...saya benar-benar tidak mau memakai cadar.” kalimat terakhir ini kukatakan pelan, khawatir dia kecewa. Bagiku dia sudah kuanggap kakakku sendiri.
”Mba Ayin...”
Seperti biasa tatapan lembut itu kembali berikan suatu kenyamanan.
”Kemarin saya sudah menjelaskan tentang aurat wanita, nah, Mba juga telah tahu bahwa kata aurat itu artinya adalah aib. Jadi orang yang mengumbarnya berarti sama dengan mengumbar aibnya sendiri.” terangnya ”Mba...kalau cadar itu memang ada yang berbeda pendapat. Artinya, banyak yang mengatakan wajib, namun tak sedikit ulama yang mengatakannya sunnah.”
”Mba Ayin boleh saja meyakini bahwa cadar itu sunnah. Kemarin juga sudah saya jelaskan tentang arti wajib dan sunnah kan?”
Aku mengangguk paham.