Mohon tunggu...
Jeffry Wijaya
Jeffry Wijaya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Menulis di tengah hiruk pikuk kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lancung

28 November 2023   12:35 Diperbarui: 17 Juni 2024   18:29 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisa saja situasimu lebih buruk.

Biarkan saja, semakin lama akan semakin baik, kok.

Bodoh, kan? Berpura-pura bersimpati. Padahal, hanya sok peduli. Antipati. Menganggap bahwa semuanya bisa diselesaikan hanya dengan berbicara. Aku muak dengan rasa kemanusiaan yang menjijikan!

Siapapun yang memuji-muji mengenai kemanusiaan silahkan tutup mulut kalian dan diam! Siapa bilang hidup itu indah? Pasti orang idiot yang keterbelakangan mental. Mereka menikmati kesengsaraanku! Mereka berbangga diri karena telah menawarkan harapan. Harapan kosong. Bagiku, perkataan-perkataan itu adalah sebuah eksekusi! Apa yang mereka katakan tadi!? Jangan membuatku mengatakannya lagi, aku bisa muntah! 

Aku menatap kosong televisi itu. Pilihan terakhir. Tidak ada lagi yang lain. Suara-suara itu lahir semenjak aku menyalakan benda bodoh itu. Aku tak tahan! Aku mendekatinya, dan karena remotnya telah kubuang jauh hari, aku menekan tombol kecil di sana, dan televisi itu menyala.

Berhasil! Suara berita di televisi itu berhasil mengalahkan suara mereka! Terakhir kali aku mematikannya, siaran terakhirnya adalah liputan berita. Jadi, aku penasaran, liputan ajaib apa yang dapat mengusir suara-suara itu.

Aku membaca tajuk utama di berita itu. Diam membisu, aku kembali mengharapkan sesuatu berubah dari yang terakhir. Namun, entah berapa ulang kali aku membaca kata per kata, isi tajuk utama itu tidak pernah berubah.

Aku sekarang percaya bahwa tidak ada artinya lagi dalam hidup. Aku yakin kehadiranku di dunia hanya sekedar sebagai hasil dari hubungan seksual. Apakah aku hidup atau mati, tidak ada yang berubah. Tidak ada yang diperoleh, tidak ada yang hilang. Ketika entropi meningkat, bahkan segala hal yang telah kuperbuat pun sifatnya adalah efemeral. Perginya kedua orang tuaku untuk berbulan madu membuatku sadar bahwa nihilisme bukanlah kepercayaan, melainkan sebuah kenyataan pahit. 

Kedua orang tuaku telah terbebaskan dari kehidupan yang penuh kesengsaraan dan tiada artinya. Mereka telah terselamatkan. Selamat kuucapkan kepada mereka. Maka dari itu, aku mohon maaf ayah, ibu atas apa yang akan kulakukan. 

Aku akan menyusul ke tempat kalian berbulan madu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun