Mohon tunggu...
Jeffry Wijaya
Jeffry Wijaya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Menulis di tengah hiruk pikuk kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lancung

28 November 2023   12:35 Diperbarui: 17 Juni 2024   18:29 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mencintai kedua orang tuaku.

Namun, mereka membuatku buncah beberapa hari lalu. Sekonyong-konyong mereka memutuskan untuk berbulan madu sendiri, padahal aku sebentar lagi liburan sekolah! Kenapa sih tidak menunggu masa sekolahku di semester ini usai dan pergi liburan bersama? Apa sih yang mereka pikirkan saat meninggalkan anak tunggalnya sendirian bersama kucing peliharaan? 

Aku mencoba untuk bertingkah positif dan ternyata tinggal sendirian di rumah itu tidak buruk juga! Menyetel musik kencang-kencang, menggunakan kamar mandi tanpa menutup pintu, bergadang bermain gim konsol, makan makanan ringan dan minuman bersoda sepuasnya, pokoknya asalkan tidak menonton televisi, aku rasa aku akan baik-baik saja.

Kenapa? 

Mula-mula, aku menguasai televisi sendirian. Aku pikir itu adalah ide yang bagus. Tapi, karena aku sering menonton bersama kedua orang tuaku, aku tidak sanggup melihat apapun yang ditampilkan benda elektronik itu. Aku merasa sedih dan sejak saat itu indra pendengaranku begitu tajam hingga membuat bulu kudukku bergidik! Aku berjanji tak akan menyalakan benda sialan itu lagi!

Awalnya aku mendengar suara kedua orang tuaku. Aku tak mengindahkannya karena menganggap suara-suara dalam kepalaku itu tanda rasa rindu kepada mereka. Tapi, semakin lama aku semakin yakin bahwa suara itu bukan dari kepalaku! Aku melihatnya sendiri! Kucingku dapat berbicara dan suaranya sama persis dengan suara mereka! 

Aku sempat sering keluar rumah karena suara-suara itu. Aku tak tahan berada di rumah terlalu lama. Jadi, setelah beberapa hari absen sekolah, aku memberanikan diri untuk datang ke kelas. Untungnya, kegiatan belajar mengajar diadakan secara online, jadi aku hanya perlu menempatkan bokongku di kursi warung kopi, dan menghabiskan waktu mendengar omong kosong. Banyak yang menanyakan kabarku, tapi terus kukatakan bahwa aku baik-baik saja. Toh, aku sendirian karena ayah dan ibu hanya berbulan madu. Tapi, suara itu! Mereka tidak ingin aku berada di luar rumah! Mereka menjadi semakin berisik, dan memekikkan telinga.

Jadi, itulah alasan aku mengunci diri lagi di rumah. Menghadapi suara-suara itu. Musik dengan volume paling keras pun tidak mampu mengusirnya. Suara-suara itu selalu memanggil namaku! Suara ayah, suara ibu. Mereka memanggilku! Aku tahu kalau rasa rindu ini akan hilang jika aku menelepon mereka. Tapi, justru aku akan hidup dalam kengerian luar biasa jika mendengar suara mereka secara langsung! 

Aku jadi sering bertemu dengan tetangga yang kerap mengetuk pintu rumah untuk sekedar menanyakan bagaimana kabarku, atau apakah aku masih punya cukup uang. Aku selalu baik-baik saja, dan aku punya tabungan, lalu kedua orang tuaku juga selalu menyiapkan uang darurat di rumah. Aku ingin bilang bahwa tetangga-tetanggaku orang yang baik dan perhatian. Namun, mereka terus-menerus mengucapkan hal yang sama!

Kau pasti bisa melewati masa ini.

Jangan terlalu berpikir negatif.

Bisa saja situasimu lebih buruk.

Biarkan saja, semakin lama akan semakin baik, kok.

Bodoh, kan? Berpura-pura bersimpati. Padahal, hanya sok peduli. Antipati. Menganggap bahwa semuanya bisa diselesaikan hanya dengan berbicara. Aku muak dengan rasa kemanusiaan yang menjijikan!

Siapapun yang memuji-muji mengenai kemanusiaan silahkan tutup mulut kalian dan diam! Siapa bilang hidup itu indah? Pasti orang idiot yang keterbelakangan mental. Mereka menikmati kesengsaraanku! Mereka berbangga diri karena telah menawarkan harapan. Harapan kosong. Bagiku, perkataan-perkataan itu adalah sebuah eksekusi! Apa yang mereka katakan tadi!? Jangan membuatku mengatakannya lagi, aku bisa muntah! 

Aku menatap kosong televisi itu. Pilihan terakhir. Tidak ada lagi yang lain. Suara-suara itu lahir semenjak aku menyalakan benda bodoh itu. Aku tak tahan! Aku mendekatinya, dan karena remotnya telah kubuang jauh hari, aku menekan tombol kecil di sana, dan televisi itu menyala.

Berhasil! Suara berita di televisi itu berhasil mengalahkan suara mereka! Terakhir kali aku mematikannya, siaran terakhirnya adalah liputan berita. Jadi, aku penasaran, liputan ajaib apa yang dapat mengusir suara-suara itu.

Aku membaca tajuk utama di berita itu. Diam membisu, aku kembali mengharapkan sesuatu berubah dari yang terakhir. Namun, entah berapa ulang kali aku membaca kata per kata, isi tajuk utama itu tidak pernah berubah.

Aku sekarang percaya bahwa tidak ada artinya lagi dalam hidup. Aku yakin kehadiranku di dunia hanya sekedar sebagai hasil dari hubungan seksual. Apakah aku hidup atau mati, tidak ada yang berubah. Tidak ada yang diperoleh, tidak ada yang hilang. Ketika entropi meningkat, bahkan segala hal yang telah kuperbuat pun sifatnya adalah efemeral. Perginya kedua orang tuaku untuk berbulan madu membuatku sadar bahwa nihilisme bukanlah kepercayaan, melainkan sebuah kenyataan pahit. 

Kedua orang tuaku telah terbebaskan dari kehidupan yang penuh kesengsaraan dan tiada artinya. Mereka telah terselamatkan. Selamat kuucapkan kepada mereka. Maka dari itu, aku mohon maaf ayah, ibu atas apa yang akan kulakukan. 

Aku akan menyusul ke tempat kalian berbulan madu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun