Mohon tunggu...
Alkindus
Alkindus Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Wargadunia

∀x (x ∈ ∅ ⇔ x ≠ x)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Kant: Idealisme atau Kritisisme?

19 November 2024   13:47 Diperbarui: 19 November 2024   19:21 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

https://seekknowledgeeveninchina.wordpress.com/tag/immanuel-kant/

Immanuel Kant (1724–1804) adalah seorang filsuf berkebangsaan Prussia-Jerman yang dianggap sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat. Kant dikenal luas atas karyanya dalam bidang epistemologi (teori pengetahuan), etika, dan metafisika. Karya-karya Kant memberikan pengaruh besar pada perkembangan filsafat modern, dan pemikirannya membantu menjembatani perdebatan antara rasionalisme dan empirisisme pada masanya.

Proyek utama dari Filsafat Kant adalah di satu sisi dapat disebut sebagai “Idealisme Transendental” yang menyelidiki kemungkinan atau syarat-syarat yang dapat memungkinkan pengetahuan, dan di sisi lain dapat disebut sebagai “Realisme Empiris” yang merupakan hasil dari penyelidikannya terhadap syarat-syarat a priori pengetahuan. Proyek filsafat ini merupakan respon terhadap perselisihan filosofis antara rasionalisme yang mendasarkan kebenaran pengetahuan kepada ide bawaan (innate ideas), dengan empirisisme yang selalu menyangkal kaum rasionalis bahwa ide bawaan yang selalu diagung-agungkannya itu hanyalah proyeksi mental (imajinasi atau complex ideas) yang harus dilacak kenyataannya dalam gagasan sederhana (simple ideas) dari kesan-kesan sederhana (simple impressions). Karena itu Kant menyebut kaum rasionalis sebagai kaum yang dogmatis, sementara kaum empirisis sebagai kaum yang skeptis.

Uraian ini melibatkan improvisasi penulis dalam hal pengertian dan permisalan untuk mendekati apa yang dimaksud Kant dengan syarat a priori pengetahuan dan sebagainya. Barangkali tidak ada kesepakatan mutlak di antara para sarjana Kantian mengenai apa yang dimaksudkan Kant dalam karya-karya-nya. Karena itu untuk menghindari perselisihan yang tidak perlu, pandangan sarjana Kantian tidaklah dimasukkan ke dalam uraian ini. Berikut adalah uraiannya;

I. Idealisme Transendental

Dalam Idealisme Transendental Kant menyelidiki syarat-syarat yang mungkin bagi pengetahuan. Penyelidikan ini dilakukan dengan membedah representasi (Vorstellung) yang tersusun secara a priori di dalam struktur kognitif. Kant menyebut seluruh struktur kognitif ini sebagai Transcendental (bukan transcendence) yang tidak terlalu melibatkan objek dalam penyelidikannya melainkan “syarat a priori” atas objek secara umum. Karena itu perlu dipertegas bahwa struktur kognitif yang dibedah oleh Kant tidaklah disebut transenden (sesuatu/objek yang melampaui pengalaman indrawi) melainkan “transendental” (syarat a priori atas objek pengetahuan). Kant membagi penyelidikannya ini ke dalam dua bagian yang salah satunya dibagi lagi ke dalam dua bagian;

  • Transcendental Aesthetic: penyelidikan terhadap syarat-syarat yang memungkinkan pencerapan subjektif (Sinnlichkeit).
  • Transcendental Logic: penyelidikan terhadap syarat-syarat yang memungkinkan pengalaman objektif (Erfahrung). Penyelidikan ini menentukan kelayakan objek-objek pengetahuan atas batas-batas a priori yang telah ditemukan sehingga  dapat dibagi menjadi dua bagian penyelidikan;
    • Transcendental Analytic: penyelidikan terhadap kategori Intelek (Verstand) yang terkondisikan sehingga memungkinkan segala hal yang dapat dipikirkan (logic of truth).
    • Transcendental Dialectic: penyelidikan terhadap pengetahuan tak terkondisikan sebagai suatu kesatuan yang dituntut oleh Rasio Murni (reinen Vernunft). Penyelidikan terakhir ini bertujuan untuk menunjukkan ilusi yang dapat terbentuk ketika mencoba menerapkan penalaran terhadap objek yang melampaui batas-batas pengalaman objektif (logic of illusion).

1. Transcendental Aesthetic

Pembedahan Kant terhadap representasi pikiran (Vorstellung) dalam Critique of Pure Reason (A320/B377), dapat kita gunakan untuk mendekati penyelidikan Kant atas syarat-syarat a priori yang memungkinkan pencerapan subjektif atau sensibilitas (Sinnlichkeit). Kant sendiri dalam Critique of Pure Reason (A21/B36) mendefinisikan Transcendental Aesthetic sebagai ilmu tentang seluruh prinsip-prinsip a priori dari sensibilitas. Oleh karena itu Kant menguraikan sensibilitas menjadi dua jenis persepsi (Wahrnehmung);

  • Sensasi (Empfindung): Persepsi Subjektif yang memuat lima kualitas indrawi (warna, suara, aroma, rasa, raba). Kelima kualitas indrawi ini membutuhkan ruang dan waktu sebagai forma (bentuk)-nya.
  • Kognisi (Erkenntnis): Persepsi Objektif yang dapat dipecah ke dalam dua bagian;
    • Intuisi (Anschauung): “Kognisi Langsung”
    • Konsepsi (Begriff): “Kognisi tidak Langsung”

Fokus Kant dalam Transcendental Aesthetic adalah penyelidikannya terhadap Intuisi (Anschauung) sebagai “kognisi langsung” yang di dalamnya terdapat dua forma intuitif  a priori yang memungkinkan pencerapan subjektif (Sinnlichkeit). Berikut adalah uraian singkat Kant yang diringkas dalam Critique of Pure Reason (A26/B42–B44/A28) & (B49/A33–A41/B58);

  • Ruang (Raum): adalah Indra/Intuisi Lahiriah [des äusseren Sinnes (aisthesis): tadrîk mina al-khârij] yang dapat memberikan forma lahir (geometris) bagi lima kualitas indrawi/sensasi (Empfindung), yakni penglihatan (warna), pendengaran (suara), penciuman (aroma), pengecapan (rasa), dan penyentuhan (raba). Hubungan antara sensasi dengan ruang seperti hubungan antara materi dengan bentuk (forma), yaitu bahwa sensasi adalah materi dari segala hal yang tampak, sedangkan ruang adalah bentuk dari segala hal yang eksternal. Ruang bukanlah konsepsi yang diabstraksikan dari relasi antar objek melainkan bentuk intuitif dari semua penampakan indra luar yang memungkinkan intuisi lahiriah. Kant menjelaskan bahwa perbedaan dalam ruang tidaklah merepresentasikan keberturutan suatu peristiwa melainkan keserentakan (Zugleichsein) antar peristiwa.
  • Waktu (Zeit): adalah Indra/Intuisi Batiniah [des Inneren Sinnes (dianoia): tadrîk mina al-dâkhil] yang dapat memberikan forma batin (aritmetis) pada intuisi a priori ruang beserta konten materialnya berupa lima kualitas sensasi (Empfindung). Waktu bukanlah intuisi a priori yang berkembang dari intuisi a priori ruang sehingga masing-masing memiliki perannya dalam pencerapan indrawi. Jika dapat dikatakan bahwa semua kemungkinan penampakan luar ditentukan secara a priori dalam hubungannya dengan ruang, maka penampakan secara umum yakni semua objek indrawi ditentukan secara a priori dalam hubungannya dengan waktu. Bagi Kant, perbedaan dalam waktu tidaklah merepresentasikan keserentakan suatu peristiwa melainkan keberturutan (Aufeinanderfolgen) antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain.

Kant mengandaikan konsep ruang dalam putusan sintetik yang berhubungan dengan Geometri, misalkan seperti konsep “dua garis lurus” (satu dimensi) yang tanpa intuisi bawaan tidak akan sampai kepada konsep “ruang” (tiga dimensi) sehingga hanya dengan konsep “dua” dan “lurus”, tidak akan mungkin menurunkan konsep ruang. Begitupun dengan konsep waktu, diandaikannya dalam putusan sintetik yang berhubungan dengan Aritmetika bahwa tidak mungkin konsep “dulu” (telah berlalu), “kini” (sedang berlangsung), dan “nanti” (akan datang) dapat saling terhubung satu sama lain tanpa intuisi bawaan berupa waktu yang mendasarinya. Lanjut Kant, lalu apa jenis intuisi bawaan ini? intuisi a posteriori (membutuhkan pengalaman) atau intuisi a priori (mendahului pengalaman)? Jika intuisi a posteriori, maka tidak ada proposisi valid universal yang dapat diturunkan darinya. Karena itu menurut Kant, ruang dan waktu bukanlah objek yang secara mutlak terpisah dari struktur kognitif kita, melainkan bagian dari struktur kognitif sebagai syarat yang memungkinkan pencerapan indrawi (Sinnlichkeit).

Jika ruang dan waktu tidak bergantung pada kerangka kognitif yang mendahului pengalaman, maka konsep seperti keserentakan (simultaneity) dan keberturutan (successivity) tidak akan mungkin bagi persepsi subjektif (sensation). Tanpa konsep keberturutan dan keserentakan yang dapat mengakar secara a priori sampai ke dalam struktur kognitif transendental, keilmuan Aritmetika dan Geometri dapat diragukan keabsahannya. Konsepsi Kant tentang ruang dan waktu sebagai forma intuitif a priori dari pencerapan indrawi ini secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan keilmuan di bidang Fisika yang dicetuskan oleh fisikawan berkebangsaan Yahudi-Jerman bernama Albert Einstein (1879–1955) – (Relativitas: fenomena fisika yang berbeda menentukan konfigurasi forma intuitif a priori ruang-waktu yang terjadi pada struktur kognitif pengamat) – yang telah dibahas dalam artikel sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun