Mungkin terlalu semangat mungkin terlalu terbawa ephoria masa beberapa statement kubu Prabowo - Sandi tampaknya sedang kontra-produktif. Walaupun sebenarnya ingin menunjukkan janji atau kesolidan team untuk bahu-membahu memenangkan pasangan ini. Pasalnya menyinggung sisi sensitif sebagian masyarakat yang bahkan bukan konstituen loyalis kubu lawan.
Membawa-bawa jaman Suharto untuk dikontraskan dengan rezim Jokowi, oleh Mbak Titiek mungkin membawakan romantika swasembada di masa lalu. Sayangnya ini malah kontra produktif.
Karena begitu bencinya rakyat pada jaman korupsi merajalela itu hingga terjadinya tragedi '98 yang berimbas pada kejatuhan Sang penguasa 32 tahun Indonesia itu sendiri. Prabowo sudah seharusnya dipisahkan dari citra buruk Suharto.Â
Dia tokoh kontroversial apa lagi dengan fakta penghentian karirnya di militer oleh pusaran politik pasca kejatuhan Suharto. Prabowo yang di banyak kesempatan sering lugas membela rakyat kecil, membela ekonomi kerakyatan, membela pertanian bisa jatuh kembali jika dikait-kaitkan dengan jaman Suharto.
Apalagi jika diteruskan rapuhnya data-data yang dilontarkan, seperti misalnya rakyat dianggap 99% dianggap miskin katanya dari bank Dunia. Sayangnya kemudian dibantah mentah-mentah oleh senior analis dari bank Dunia sendiri.Â
Suharto juga identik dengan bisnis keluarganya, makanya jika ada yang mendadak kenal harga pasar tapi sebelumnya fasih dengan balutan gemerlap dunia, juga tak mempan mendongkrak popularitas capres dukungannya.
Blunder selanjutnya, angkatan '98 tentu mengenal betul siapa Amin Rais. Tokoh reformasi betul. Di depan sebagai motor kejatuhan Suharto. Sekarang bergandengan dengan kubu pro Suharto ? Okelah karena sama-sama mendukung Prabowo bisa jadi menggunakan prinsip lawan dari musuh adalah kawan.
Namun ketika ber-statement untuk "menjewer" Haedar Nashir karena membebaskan pilihan warga Muhammadiyah, publik jadinya bertanya mengapa tokoh reformis yang seharusnya demokratis menjadi terpapar virus otoriter. Lebih tidak pasnya lagi akan menjewer Ketum Muhammadiyah yang jelas-jelas bukan organisasi politik.Â
Organisasi yang identik Islam terbesar setelah Nahdhatul Ulama. NU sendiri bahkan tak pernah mendeklarasikan resmi dukungannya terhadap Jokowi-Ma'ruf atau Prabowo-Sandi, maka tokoh NU biasa saja ada yang merapat di masing-masing kubu.
Bagaimana dengan Muhammadiyah? ya seharusnya sama saja. Kecuali PAN atau PKB, ya kalau tokohnya mendukung diluar capres yang diusung lebih baik mundur, tak usah menunggu jewer-jeweran. Seharusnya organisasi agama ya mengurus kebutuhan kemaslahatan umat bukan ikut diseret-seret pusaran politik.
Terkini, adalah soal keprihatinan Prabowo tentang lulus kuliah lalu menjadi tukang ojek. Kalau itu dihubungkan dengan maraknya pengojek online, wah dimensinya bisa memicu ketersinggungan sosial yang kontra produktif bagi sentimen massa. Hampir mirip dengan kasus "tampang boyolali", kali ini kerja kuli "tukang ojek".
Mungkin benar mimpinya besarnya agar sebagian besar rakyat menjadi pengusaha mapan, pilot, insiyur ternama, dan seterusnya. Namun menjadi tak membumi karena pekerjaan tukang ojek seakan dianggap hina. Faktanya Gojek  secara entitas startup, itu termasuk perusahaan Indonesia yang mencapai kategori Unicorn.
Ya, mitra gojek onlinenya sangat besar bahkan bisa mensejahterakan sekedar ojek pangkalan dengan order kembang kempis, menjadi ojek online dengan kecanggihan teknologi plus order yang tiada habisnya (baca : sampai ga kuat narik)
Penulis pun bingung, sebenarnya apa yang dituju mengenai tema kampanyenya mengapa bisa saling tumpang tindih secara kontraproduktif begitu. Prabowo harus berbeda dengan Orbanya Suharto, seenak-enaknya Suharto jelas nikmat masa kini. Prabowo pun harus menjadi masa kini bukan kembali ke jaman Suharto. Jaman Suharto dimana demokrasi terkungkung, sudah berlalu.
Cara-cara tak demokratis sudah lama ditinggalkan. Kini era transparansi logis. Mengritik presiden sangat bebas asal mengindahkan etika, dan bukan fitnah. Tapi membawa-bawa massa agama jelas tak pas untuk demokrasi.
Selanjutnya era kekinian adalah kreatifitas, bisa jatuh di lubang yang sama lagi karena meremehkan tukang ojek yang kini sangat modern dan penghasilannya bahkan bisa mengalahkan UMR. Setidaknya Gojek sudah terbukti besar dan mendunia, akan makin berat jika sentimenya dijadikan senjata makan tuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H