Suatu ketika anak pertama saya Keisha menangis histeris di depan pintu rumah, mungkin orang yang tidak kenal menyangka dia sedang kesakitan parah.
Tentu saja tidak, anak saya justru malu menangis kalau terjatuh. Dia menangis keras karena saudara sepupunya Mita mau pulang. Sederhana ya, begitulah anak-anak.
Saya jadi teringat membayangkan masa kecil saya hampir 30 tahunan yang lalu. Ketika saya tinggal bersama kakek nenek sendiri, kemudian dua adik saya tinggal bersama Bapak dan Ibu. Hanya tiap liburan sekolah kami bertemu. Ketika bertemu namanya anak-anak lengkap kisahnya. Hari pertama karena saling kangen saling memanggil lalu berceloteh mengisahkan cerita masing-masing.Â
Hari kedua dan selanjutnya, sudah akrab mulai saling lirik-lirikan mainan, saling tarik, berantemlah kita, dan hari ditutup dengan semuanya rata dicubitin Ibu tercinta, walaupun khusus untuk saya dapat bonus peringatan keras "... kowe sing gedhe kudu ngalah.." (kamu yang paling tua harus mengalah)
Konsep yang tua harus mengalah ini sangat sulit saya pahami. Wajar karena saya terbiasa hidup sendiri diasuh kakek dan nenek. Jadi yang saya minta hampir semua tanpa saingan, tanpa keharusan untuk berbagi.
Konsep bersaudara pun masih sulit saya pahami, saat kami bertiga pernah hidup serumah di umur menjelang remaja. Ya, anak-anak memang begitu saya sampai tak ingat berapa kali suka ngerjain adik-adik saya hingga menangis. Demikian pula sebaliknya adik-adik saya membuat kesal dari menaruh barang sembarangan hingga kabur saat ada perintah membersihkan rumah dari Sang Ibu.
Jika dekat suka bertengkar, jika jauh saling merindu.
Di umur remaja saya, saya bersekolah asrama di Magelang kota yang sejuk sekali untuk tempat menimba ilmu. Uniknya saya baru merasakan energi kehangatan keluarga saat kami berjauhan. Di tahun 90-an model telpon pulsa kartu menjadi trend. Suara-suara mereka menjadi oase-oase bagi kerinduan akan tempat ternyaman untuk kembali yaitu keluarga.
Saya selalu menikmati sensasi, ketika saya pulang dan menekan bel rumah adik-adik saya selalu berlari dan berteriak heboh menyambut kepulangan saya. Tak terasa anak-anak kecil itu beranjak remaja lalu menjadi dewasa. Saya tentu tak menjahili adik-adik saya lagi ha ha ... Makin besar kami makin punya dunia sendiri-sendiri.
Konon kata seorang tua, setelah terpisah di kota-kota yang berbeda karena profesi masing kami tiga bersaudara akan berkumpul lagi.Â
Ya, memang benar, setidaknya kami selalu berkumpul di hari-hari terpenting. Di hari-hari wisuda sarjana, di hari-hari pernikahan kami masing-masing. Kehangatan keluarga itu begitu terasa di momen-momen seperti itu.Â