Mohon tunggu...
Sigit Santoso
Sigit Santoso Mohon Tunggu... Administrasi - Peduli bangsa itu wajib

fair play, suka belajar dan berbagi pengalaman http://fixshine.wordpress.com https://www.facebook.com/coretansigit/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hoax itu Bukan Demokrasi

3 Maret 2018   13:18 Diperbarui: 4 Maret 2018   10:56 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu ini berita-berita mengenai penangkapan tim penyebar hoax dengan grup MCA menjadi trending. Ditutup dengan berita vonis Jonru sudah diketok palu hakim 1,5 tahun.

Mereka punya kesamaan aktif di media sosial. Kata aktif saya pilih, daripada kata fitnah. Karena saya menghargai ghirah membela agama dan keyakinan mereka. Walaupun outputnya cenderung negatif, karena kebenarannya juga jarang yang terkonfirmasi kebenarannya.

Apa yang dilakukan MCA dan Jonru mengingatkan saya pada pepatah jawa " ..ngono yo ngono tapi ojo ngono..."

Mungkin popularitas dan gairah sempit keagamaan membuatnya terpeleset. Sesuatu yang aksinya berlebihan memang tidak baik. Miris, jika nanti terbukti benar ada pendanaan yang mengalir ke MCA. Selain juga menghilangkan prinsip-prinsip obyektifitas, parahnya mereka itu bisa dibeli.

Demokrasi memang efek negatif seperti itu orang bisa bicara apa saja. Maka yang menertibkannya hukum. Suara paling keras, paling banyak, biasanya menang. Maka tindakan tegas negara harus hadir, pada alat negara yaitu Polisi.

Bukti-buktinya ketika diungkap publik ternyata canggih dan modern organisasinya. Tak mungkin, pendapat orang per orang bisa mengendalikan arus massa, bahkan dari media massa main stream sekalipun. Bayangkan sulitnya menjadi wartawan profesional dan juga gajinya yang "tipis" riset beritanya bisa dikalahkan opini media sosial asal kalimatnya provokatif, jepretannya pas, tapi menggigit.

Citizen jurnalistik menjadi tak sehat. Seakan-akan media sosial adalah ajang perang yang menghalalkan segala cara. Bahkan perangnya pun diciptakan. Umat yang sudah bertoleransi baik, tiba-tiba bisa bergejolak karena isu provokatif ulama diserang, urusan muslim di nomor duakan, cina menyerbu, pki menggalang kekuatan, dan suara-suara sumbang sejenis.

Tujuan politiknya memang membuat keruh suasana. Tinggal kekeruhan ini yang akan dijual ke siapa. Seperti tukang jualan obat. Ketika ada masalah obat siapa paling cespleng. Kekeruhan diciptakan agar sang Ratu Adil datang. Tapi Ratu Adilnya juga tetep harus bayarrr ...

Walaupun sebenarnya Jonru dan MCA bukan penguasa medsos juga. Di pihak lawannya ada nama Deny Siregar, ada Ade Armando, ada Abu Janda ada grup Katakita, ada grup DDB sebagai penyeimbang. Yang terusik, tak mau tinggal diam. Apalagi setelah kekalahan telak Ahok, dan kemenangan besar gerakan 212.

Sehingga sebenarnya medan perangnya seimbang. Namun, jika melibatkan sentimen apalagi membawa identitas apalagi SARA, memang menjadi mengkhawatirkan. Jika ada yang memperhatikan ketika satu isu di boost umurnya 2-3 hari saja, ya karena dari kubu kontranya juga pasti akan memberikan klarifikasi atau membalas dengan isu lain. Begitu terus tak berkesudahan.

Masalahnya adalah sifat dasar orang adalah mendengar, membaca apa yang ingin dia dengar atau baca. Misalkan seseorang anti Jokowi dia akan memilih mengikuti rentetan hujatan Jokowi lebih mementingkan nonton film dan tidak mengurusi rakyat. Sedangkan yang pro Jokowi akan memilih mengikuti perbincangan betapa sibuknya Pak presiden keliling Indonesia sehingga wajar sedikit rileks dengan nonton sebentar hiburan. Padahal faktanya ya sama saja Pakdhe Jokowi nonton Dilan.

Sebenarnya, juga tidak masalah juga ketidak percayaan pada pemimpin. Namun jika anginnya dibiarkan bangsa ini akan energinya terkuras untuk saling membela, alias jalan ditempat. Bayangkan jika pencet-pencet dapat duit cepat. Mengapa harus bermacet-macet ria berangkat kerja ?

Jika klik share berita sudah dianggap jihad, mengapa harus cape-cape ikut pengajian, training, pelatihan untuk menambah ilmu.

Maka saya setuju Hoax harus dihentikan. Sebenar-benarnya media bukan mainstream bukan sesuatu hal yang bisa dipertanggungjawabkan karena akan kabur jika didatangi pak polisi.

Yang ditangkap mereka yang kontra Jokowi saja ? Saat ini mungkin benar. Tapi silakan hitung berapa lama mereka berpesta dengan berita-berita hoax-nya. Dan yang pasti kepolisian menerima semua aduan. Termasuk saat kasus Ahok didorong segera diproses pengadilan. Bahkan, Kapolri sendirilah yang memberi diskresi agar stabilitas bisa dijaga.

Novel Bamukmin mengatakan "...MCA asli itu melawan hoaks dan berakhlak, bukan malah bikin hoaks..."

Ya secara tidak langsung bilang, yang ditangkap itu gadungan dan cuma bayaran saja. Kasihan sungguh kasihan sudah ditangkap tidak ada yang mau dengan jantan membela. Seperti halnya kemarin ketika HRS akan pulang, jika Anies Baswedan yang memanggil pulang. Ya tidak akan terjadi. Karena begitu membela ia pun terlibat.

Yuk bangun dan kritik yang membangun. Jika susah minimal janganlah menulis umpatan dan hinaan. Jangan mengganti identitas dengan sesuatu yang menyakitkan seperti gubernur ASU, presiden kecebong, dan sejenisnya. Bersikaplah obyektif, jangan haramkan diri mengapresiasi yang positif, jangan ragu mengkritik yang negatif. Karena setelah coblosan siapapun anda harus mendukung pemimpin agar sama-sama beroleh kemakmuran.

Sigit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun