Perguruan-perguruan tinggi negeri akhir-akhir ini sedang ramai dengan isu pelarangan aktifitas yang “berbau“ lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Isu ini santer merata di Perguruan-perguruan tinggi negeri besar di Indonesia. Tercatat sivitas akademika Universitas Brawijaya (UB), Universitas Dipenogoro (Undip), dan Universitas Indonesia (UI) merasakan dinamika isu yang begitu sensitif ini.
Dikutip dari media online detik (2/1/ 2016) dengan judul berita Menristek: Saya Larang LGBT di Semua Kampus, Itu Tak Sesuai Nilai Kesusilaan!. Bak kebakaran jenggot menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir langsung menyampaikan bahwasannya LGBT dan kegiatannya terlarang diperguruan tinggi yang berada di bawah Kementerian yang di pimpinnya. Bahkan menristek telah memanggil pihak UI untuk menjelaskan keberadaan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC), sebuah organisasi yang fokus pada kajian seksualitas di kampus UI.
Di perguruan lain seperti Undip dan UB terjadi pula hal serupa. UB dan Undip sama-sama melakukan pelarangan dan pembubaran diskusi mengenai LGBT. Hal ini mengherankan kala Kebebasan menyampaikan pendapat telah diatur secara jelas didalam UUD 1945 sebagai hak konstitusional warga negara sekaligus hak asasi manusia.
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression), bagi warga negara Indonesia.
Lebih mengherankan lagi, ketika pelarangan demi pelarangan tersebut dilakukan di dalam mimbar akademik yaitu perguruan tinggi, tempat dimana ide dan gagasan di rumuskan dan diperdebatkan. Perguruan tinggi yang di harapkan akan menciptakan manusia-manusia yang memiliki kadar intelektual yang tinggi, justru melakukan tindakan yang tidak intelek dan tidak ilmiah yang sekaligus tidak menghargai kebebasan akademik.
Sebagai perbandingan, pemeluk ajaran agama Islam bisa saja sepenuhnya tidak sepakat dengan ajaran Kristen, Hindu, dan Budha, bahkan mengutuknya. Vice-versa. Tapi mereka tetap bisa duduk berdampingan di mimbar akademik. Pemeluk-pemeluk ajaran yang mayoritas tersebut dapat berdebat mempertahankan gagasan-gagasanya, hingga merumuskan gagasan-gagasan baru. Toh hal ini menjadi kewajaran umum dan membuktikan kedewasaan kita bernegara.
Namun kenapa sikap kita yang mayoritas menjadi sama sekali berbeda terhadap kelompok minoritas seperti LGBT. Bukankah ini negasi dari kedewasaan kita bernegara. Bukankan ini pelanggaran terhadap kesepakatan bernegara yang kita buat sediri, yaitu UUD 1945.
Nampaknya kita harus kembali menoleh ke belakang, berkaca pada sejarah peradaban manusia dengan membaca buku sejarah yang kita pelajari di sekolah-sekolah kita.
Hampir 100 tahun yang lalu siapa saja yang menentang hukum newton adalah orang yang tidak sehat jiwanya, seorang penghina tahta raja, dan seorang kafir tentunya. Diskursus yang memperdebatkanya dilarang dimana-mana. Begitupun di dalam perguruan tinggi. Tapi toh Hans Albert Einstein dan Sir Arthur Eddington melawannya, mengabaikan sistem yang tidak intelek dan ilmiah ini.
Teori gravitasi yang di gagas Newton yang sudah sangat mapan di bantah habis oleh Einstein untuk kemudian di buktikan kebenarannya oleh Eddington. Pada akhirnya kita semua mesti berterima kasih atas perlawanan yang mereka lakukan. Tanpa perlawanan yang mereka lakukan manusia hari ini tidak akan mungkin bisa pergi ke bulan. Tanpa perlawanan yang mereka lakukan maka manusia hari ini masih akan terjebak di dalam kedunguan.
Terlepas dari berbagai macam pertentangan dengan kaidah agama yang mengharamkan praktik LGBT, penyampaian pendapat termasuk dengan diskusi mengenai LGBT sejatinya harus di hargai dan di lindungi oleh negara. Hal ini mutlak karena merupakan amanat UUD 1945. Pelarangan menyampaikan pendapat sekalipun dilakukan oleh pejabat Negara, haruslah di anggap sebagai pelanggaran terhadap pedoman bernegara bangsa Indonesia. Pelarangan berpendapat dengan alasan apapun haruslah pula di nilai sebagai rendahnya kadar kedewasaan kita bernegara.
Oleh karena itu intelektual perguruan tinggi harus melakukan perlawanan sebagaimana di ajarkan Einstein dan Eddington. Menolak intervensi atas kebebasan menyampaikan pendapat di dalam kampus adalah keharusan demi pulihnya kewibawaan mimbar akademik, karena kampus tanpa penghormatan terhadap mimbar akademik hanya akan melahirkan orang-orang yang dungu.
****
Kutipan di ambil dari media online : http://news.detik.com/berita/3125654/menristek-saya-larang-lgbt-di-semua-kampus-itu-tak-sesuai-nilai-kesusilaan (28/1/2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H