Mohon tunggu...
Hussein Ahmad
Hussein Ahmad Mohon Tunggu... -

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Aktifis Himpunan Mahasiswa Islam FH UB, dan Mantan Pimpinan Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Manifest FH UB

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pelarangan LGBT sebagai Hilangnya Kebebasan Berpendapat di dalam Kampus

5 Februari 2016   17:41 Diperbarui: 5 Februari 2016   17:47 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perguruan-perguruan tinggi negeri akhir-akhir ini sedang ramai dengan isu pelarangan aktifitas yang “berbau“ lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Isu ini santer merata di Perguruan-perguruan tinggi negeri besar di Indonesia. Tercatat sivitas akademika Universitas Brawijaya (UB), Universitas Dipenogoro (Undip), dan Universitas Indonesia (UI) merasakan dinamika isu yang begitu sensitif ini.

Dikutip dari media online detik (2/1/ 2016) dengan judul berita Menristek: Saya Larang LGBT di Semua Kampus, Itu Tak Sesuai Nilai Kesusilaan!. Bak kebakaran jenggot menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir langsung menyampaikan bahwasannya LGBT dan kegiatannya terlarang diperguruan tinggi yang berada di bawah Kementerian yang di pimpinnya.  Bahkan menristek telah memanggil pihak UI untuk menjelaskan keberadaan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC), sebuah organisasi yang fokus pada kajian seksualitas di kampus UI.

Di perguruan lain seperti Undip dan UB terjadi pula hal serupa. UB dan Undip sama-sama melakukan pelarangan dan pembubaran diskusi mengenai LGBT.  Hal ini mengherankan  kala Kebebasan menyampaikan pendapat telah diatur secara jelas didalam UUD 1945 sebagai hak konstitusional warga negara sekaligus hak asasi manusia.

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression), bagi warga negara Indonesia.

Lebih mengherankan lagi, ketika pelarangan demi pelarangan tersebut dilakukan di dalam mimbar akademik yaitu perguruan tinggi, tempat dimana ide dan gagasan di rumuskan dan diperdebatkan. Perguruan tinggi yang di harapkan akan menciptakan manusia-manusia yang memiliki kadar intelektual yang tinggi, justru melakukan tindakan yang tidak  intelek dan tidak ilmiah yang sekaligus tidak menghargai kebebasan akademik.

Sebagai perbandingan, pemeluk ajaran agama Islam bisa saja sepenuhnya tidak sepakat dengan ajaran Kristen, Hindu, dan Budha, bahkan mengutuknya. Vice-versa. Tapi mereka tetap bisa duduk berdampingan di mimbar akademik. Pemeluk-pemeluk ajaran yang mayoritas tersebut dapat berdebat mempertahankan gagasan-gagasanya, hingga merumuskan gagasan-gagasan baru. Toh hal ini menjadi kewajaran umum dan membuktikan kedewasaan kita bernegara.

Namun kenapa sikap kita yang mayoritas menjadi sama sekali berbeda terhadap kelompok minoritas seperti LGBT. Bukankah ini negasi dari kedewasaan kita bernegara. Bukankan ini pelanggaran terhadap kesepakatan bernegara yang kita buat sediri, yaitu UUD 1945.

Nampaknya kita harus kembali menoleh ke belakang, berkaca pada sejarah peradaban manusia dengan membaca buku sejarah yang kita pelajari di sekolah-sekolah kita.

Hampir 100 tahun yang lalu siapa saja yang menentang hukum newton adalah orang yang tidak sehat jiwanya, seorang penghina tahta raja, dan seorang kafir tentunya. Diskursus yang memperdebatkanya dilarang dimana-mana. Begitupun di dalam perguruan tinggi. Tapi toh Hans Albert Einstein dan Sir Arthur Eddington melawannya, mengabaikan sistem yang tidak intelek dan ilmiah ini.

Teori gravitasi yang di gagas Newton yang sudah sangat mapan di bantah habis oleh Einstein untuk kemudian di buktikan kebenarannya oleh Eddington. Pada akhirnya kita semua mesti berterima kasih atas perlawanan yang mereka lakukan. Tanpa perlawanan yang mereka lakukan manusia hari ini tidak akan mungkin bisa pergi ke bulan. Tanpa perlawanan yang mereka lakukan maka manusia hari ini masih akan terjebak di dalam kedunguan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun