Rencana pengeluaran pandemic bond sebagai jenis baru obligasi negara dinilai sebagai kebijakan yang tepat untuk mengumpulkan dana penganggulangan pandemi Covid-19. Fikri C. selaku Head of Economic Research mengakatan bahwa penerbitan pandemic bond dapat memberikan likuiditas tambahan pada pasar obligasi. Instrumen ini dibutuhkan sebab pemerintah akan melakukan pelebaran defisit APBN 2020 untuk mengatasi penyebaran Corona virus.Â
Karena situasi yang tidak terduga ini maka pemerintah harus memutar otak untuk mencari sumber dana lain. Selain itu, emisi pandemic bond ini dapat berefek menggerakkan para pelaku pasar dan investor untuk terlibat upaya dalam pemulihan negara dari wabah corona.
Dilihat dari peristiwa sebelumnya, sebenarnya pandemic bond bukan lah istilah yang baru lagi. Bank dunia pernah merilis pandemic bond senilai US$ 330 juta pada Juni 2017 atau uang sekitar Rp 4,4 truliun dengan kurs saat itu. Surat utang tersebut ditawarkan kepada investor swasta dengan tenor 3 tahun dan dapat diperpanjang selama 1 tahun.Â
Yield yang ditetapkan oleh Bank Dunia dari pandemic bond antara 6,5-11,1% per tahun. Dana yang telah terhimpun dari penerbitan pandemic bond Bank dunia kemudian disalurkan ke negara-negara yang membutuhkan bantuan untuk mengatasi pandemi di wilayahnya. Misalnya untuk penanganan ketika terjadi wabah  filovirus, SARS, MERS, flu burung, pandemik ebola di Kivu Kongo, hingga Covid-19. Pandemic bond Bank Dunia ini sempat menuai kritik karena prosedur penyalurannya dinilai terlalu rumit. Padahal fase awal penyebaran wabah itulah yang menentukan keberhasilan penanganan pandemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H