Pelarangan buku sebenarnya telah dilakukan sejak masa kolonial Belanda, era Soekarno hingga Orde Baru (Orba). Pada masa kolonial Belanda pelarangan buku dilakukan kepada buku-buku yang dipandang menentang pemerintah dan mempropagandakan kemerdekaan.Â
Sedangkan Rezim Soekarno menentang peredaran buku yang mampu menyebarkan liberalisme dan bertentangan dengan kampanye anti imperialisme kebudayaan. Tahun 1963, Presiden Soekarno mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 4 tentang pengamanan barang cetakan.Â
Adanya Perpres tersebut membuat beberapa buku milik lembaga Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dilarang dan disita. Akibatnya sekitar 20 sastrawan dipersulit dalam mempublikasikan karyanya. Namun, tindakan itu dibalas tiga tahun ketika rezim Soeharto dengan melakukan pelarangan terhadap Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sekitar 70 judul buku dibredel dan 87 penulis Lekra yang berpaham kiri dilarang untuk menulis hingga mempublikasikan di media massa hingga saat ini.
Munculnya reformasi menimbulkan kegembiraan bagi masyarakat Indonesia dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Namun hal itu tidak membuat pemerintah berhenti untuk melarang buku kiri beredar. Tercatat pada tahun 2007, Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan pelarangan buku pada buku pelajaran SMP hingga SMA karena tidak mencantumkan  peristiwa Madiun 1948 dan tidak menyebut PKI dalam peristiwa G30S.Â
Pelarangan Buku Menciptakan Kebodohan Peradaban
Menurut data UNESCO minat membaca Indonesia berada diurutan kedua dari bahan literasi dengan persentase 0,0001 persen atau dari 1000 orang masyarakat Indonesia, hanya satu orang yang gemar membaca. Dilansir dalam laman mapcorner, menurut Guru Besar FIB UGM, PM Laksono pada diskusi di MAP Corner-Klub MKP UGM mencontohkan bahwa mahasiswanya yang dianjurkan untuk membaca buku materi perkuliahan saja malas untuk membaca. Apalagi jika pelarangan buku yang dianggap berpaham kiri terus digalakkan oleh pemerintah, hal ini akan mengakibatkan minat membaca di Indonesia semakin rendah.Â
Ditambah dengan adanya disrupsi teknologi dimana semua masyarakat mengubah kebiasaan yang konvensional menjadi serba teknologi sehingga lebih mudah untuk mengakses informasi dan mudah dalam mempublikasikan gagasan dan ide seseorang. Jika seperti ini bukankah pelarangan buku terlihat percuma dan sia-sia?Â
Membaca buku yang dianggap berpaham kiri belum tentu mengubah pribadi menjadi komunis, justru dapat menambah pengetahuan masyarakat agar lebih kritis terhadap kekuasaan suatu rezim. Bagi mahasiswa yang seharusnya bisa mempelajari buku berpaham kiri mampu melihat dari berbagai sudut pandang agar dapat menghasilkan ilmu pengetahuan yang baru.
Referensi:
Guru Besar UGM: "Pelarangan Buku adalah Pembodohan dan Kekonyolan". (09 Februari 2019). mapcorner.wg.ugm.ac.id. Guru Besar UGM: "Pelarangan Buku adalah Pembodohan dan Kekonyolan"
Orde Baru: Rezim Pelarang, Perampas, dan Pembakar Buku. (26 Januari 2019). tirto.id. Orde Baru: Rezim Pelarang, Perampas, dan Pembakar Buku (tirto.id)