Untuk membuktikan hipotesisnya, Zamjani coba mengupas periode demokrasi liberal yang berlangsung pasca-proklamasi karena dinilai periode tersebut adalah periode awal dan penting mengenai kiprah partai politik islam.Â
Di akhir bukunya, Zamjani juga melihat lebih jauh ke era kini (pasca-orde baru) untuk melihat apakah proses sekularisasi tetap berlangsung pada partai politik islam.
Sekularisasi dalam Sejarah Indonesia
Politik etis yang diterapkan Kolonial Belanda memunculkan elit baru yang memberi corak dalam perlawanan melawan penjajah. Pada awalnya memang corak islam yang memegang kendali dengan adanya Sarekat Islam.Â
Namun kemudian, kalangan islam mulai tergeser oleh elite baru yang dihasilkan politik etis. Pendidikan barat oleh Belanda melahirkan elite yang berpaham nasionalis, sosialis maupun komunis. Politik etis juga berpengaruh dalam kalangan islam, yakni munculnya islam modernis.
Adanya elite-elite baru ini ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi perjuangan seperti Budi Utomo, Indische Partij, PNI, PKI, dll. Pendidikan ala barat ini juga nantinya dijadikan model Pendidikan di Indonesia dengan berbagai penyesuaian. Karenanya, institusi ini menjadi pesaing bagi institusi Pendidikan islam tradisional seperti pesantren.Â
Dari kalangan islam sendiri, muncul organisasi untuk mentransformasi identitas politik-kultural dan ideologis baru. Islam modernis membentuk Muhamadiyyah, Sarekat Islam, Persatuan Islam (1920), Persyarikatan Ulama (1911), Jam’iyat Khair (1905), dll. Dan di kalangan tradisional membentuk NU (1926).
Sekularisasi Partai Politik Islam Era Demokrasi Liberal
Setelah Proklamasi, Kalangan islam memiliki pemahaman yang modern mengenai negara dan bagaimana aspirasi kalangan islam dijalankan lewat jalur resmi negara. Kalangan islam tidak memilih jalur kekerasan melawan negara dan lebih memilih berpartisipasi pada sistem demokrasi liberal. Peluang pembentukan partai pasca-kemerdekaan digunakan kalangan islam dan sepakat untuk mendirikan Masyumi.Â
Sayangnya, pemerintahan era demokrasi liberal tidak berasal dari legitimasi suara rakyat karena belum adanya pemilu, sehingga penentuan komposisi pemerintahan berdasarkan kondisi-situasi yang berkembang saat itu.
Kemudian Naiknya Natsir menggantikan Soekiman menjadi ketua Masyumi, menandai perubahan pada tubuh Masyumi. Peran kalangan ulama makin terpinggirkan dalam penyelenggaraan partai dan pengambilan keputusan, digantikan kalangan modernis yang lebih awam agama namun dengan kemampuan organisatoris lebih baik.Â