Kita sama-sama tahu, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Jumlahnya pun terus bertambah seiring bertambahnya umur dunia. Jika tidak dikendalikan, ini akan menjadi ancaman yang besar bagi kelangsungan hidup penduduk itu sendiri dalam mencapai kehidupan yang layak dan sejahtera.
Mengapa demikian? Sebagai negara berkembang, Indonesia sulit mengimbangi pesatnya pertumbuhan penduduk dengan sarana dan prasarana yang memadai. Seperti, penyediaan tempat tinggal, bangunan sekolah, dan lapangan pekerjaan. Contoh, lapangan pekerjaan. Dengan jumlah penduduk yang besar, sementara lapangan pekerjaan sedikit, otomatis akan menimbulkan banyaknya pengangguran. Hal ini akan berujung pada kemiskinan. Kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) akan sulit terpenuhi. Sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari ini akan memicu terjadinya kriminalitas, seperti perampokan. Sebab, bagaimanapun kebutuhan menuntut seseorang harus mendapatkan uang. Tidak hanya sampai disitu, kemiskinan juga berdampak pada penurunan tingkat pendidikan dan kesehatan. Hal ini tentu mengakibatkan menurunnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Jika kualitas SDM-nya buruk, tentu kualitas negaranya pun juga akan buruk. Dan jika tingkat pendidikan masyarakatnya rendah, bangsa asing akan lebih mudah menguasai negeri ini. Akibatnya, rakyat Indonesia akan diperbudak di negaranya sendiri. Apalagi di 2015 kita akan menghadapi pasar bebas ASEAN, bahkan pasar bebas dunia pun sudah semakin dekat.
Oleh sebab itu, kita perlu berupaya mengendalikan laju pertumbuhan penduduk tersebut, untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera.
Sebenarnya pemerintah sudah membuat berbagai program yang mengatur tentang laju pertumbuhan penduduk ini. Namun, karena kurangnya respon masyarakat menyebabkan program-program tersebut tidak terlaksana secara merata. Kurangnya respon masyarakat ini juga disebabkan karena program-program tersebut tidak terkelola dengan baik, sehingga terkesan tidak tegas dalam penerapannya.
Mengingat kembali sejarah awal mula pembentukan program pemerintah dalam mengatur laju pertumbuhan penduduknya. Diawali dari pembentukan Perkumpulan Keluarga Berencana oleh swasta di gedung Ikatan Dokter Indonesia pada tanggal 23 Desember 1957, yang kemudian berkembang menjadi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). PKBI ini memperjuangkan terwujudnya keluarga-keluarga yang sejahtera melalui 3 macam usaha pelayanan, yaitu mengatur kehamilan atau menjarangkan kehamilan, mengobati kemandulan, dan memberi nasihat perkawinan. Program inilah yang menjadi pelopor terbentuknya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), yang kita kenal sekarang.
PKBI yang tadinya berstatus organisasi swasta selanjutnya berubah menjadi organisasi semi pemerintah. Pada tahun 1967, PKBI diakui sebagai badan hukum oleh Departemen Kehakiman. Dengan lahirnya Orde Baru pada bulan maret 1966, masalah kependudukan akhirnya menjadi fokus perhatian pemerintah. Kelahiran Orde Baru pada masa itu menyebabkan berkembang pesatnya usaha penerangan dan pelayanan KB di seluruh wilayah Indonesia. Pada tanggal 25 Februari 1967 dilaksanakan Kongres Nasional I PKBI di Jakarta. Pada kongres tersebut dikeluarkan pernyataan sebagai berikut:
- PKBI menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pemerintah yang telah mengambil kebijaksanaan mengenai keluarga berencana yang akan dijadikan program pemerintah
- PKBI mengharapkan agar Keluarga Berencana sebagai Program Pemerintah segera dilaksanakan
- PKBI sanggup untuk membantu pemerintah dalam melaksanakan program KB sampai di pelosok-pelosok supaya faedahnya dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat.
Pada tahun 1967 Presiden Soeharto menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia yang berisikan kesadaran betapa pentingnya menentukan atau merencanakan jumlah anak, dan menjarangkan kelahiran dalam keluarga sebagai hak asasi manusia.
Selanjutnya pada tanggal 7 September 1968 Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26 tahun 1968 kepada Menteri Kesejahteraan Rakyat, yang isinya antara lain:
- Membimbing, mengkoordinir serta mengawasi segala aspirasi yang ada di dalam masyarakat di bidang Keluarga Berencana.
- Mengusahakan segala terbentuknya suatu Badan atau Lembaga yang dapat menghimpun segala kegiatan di bidang Keluarga Berencana, serta terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan Instruksi Presiden tersebut Menkesra pada tanggal 11 Oktober 1968 mengeluarkan Surat Keputusan No. 35/KPTS/Kesra/X/1968 tentang Pembentukan Tim yang akan mengadakan persiapan bagi Pembentukan Lembaga Keluarga Berencana. Setelah melalui pertemuan-pertemuan Menkesra dengan beberapa menteri lainnya serta tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat dalam usaha KB, Maka pada tanggal 17 Oktober 1968 dibentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) dengan Surat Keputusan No. 36/KPTS/Kesra/X/1968. Lembaga ini statusnya adalah sebagai Lembaga Semi Pemerintah.
Selanjutnya, Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) berubah menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang akhirnya disahkan sebagai organisasi resmi pemerintah.
Berikut ini periode-periode perkembangan organisasi BKKBN sejak awal pembentukan hingga masa sekarang:
- Periode Pelita I (1969-1974)
Pada periode inilah mulai dibentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berdasarkan Keppres No. 8 Tahun 1970. Dua tahun kemudian, pada tahun 1972 keluar Keppres No. 33 Tahun 1972 sebagai penyempurnaan Organisasi dan tata kerja BKKBN yang ada. Status badan ini berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan langsung dibawah Presiden. Untuk melaksanakan program keluarga berencana di masyarakat dikembangkan berbagai pendekatan yang disesuaikan dengan kebutuhan program dan situasi serta kondisi masyarakat. Pada Periode Pelita I dikembangkan Periode Klinik (Clinical Approach) karena pada awal program, tantangan terhadap ide keluarga berencana (KB) masih sangat kuat, untuk itu pendekatan melalui kesehatan yang paling tepat. - Periode Pelita II (1974-1979)
Kedudukan BKKBN dalam Keppres No. 38 Tahun 1978 adalah sebagai lembaga pemerintah non-departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tugas pokoknya adalah mempersiapkan kebijaksanaan umum dan mengkoordinasikan pelaksanaan program KB nasional dan kependudukan yang mendukungnya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah serta mengkoordinasikan penyelenggaraan pelaksanaan di lapangan. Periode ini pembinaan dan pendekatan program yang semula berorientasi pada kesehatan ini mulai dipadukan dengan sector-sektor pembangunan lainnya, yang dikenal dengan Pendekatan Integratif (Beyond Family Planning). Dalam kaitan ini pada tahun 1973-1975 sudah mulai dirintis Pendidikan Kependudukan sebagai pilot project. - Periode Pelita III (1979-1984)
Pada periode ini dilakukan pendekatan Kemasyarakatan (partisipatif) yang didorong peranan dan tanggung jawab masyarakat melalui organisasi/institusi masyarakat dan pemuka masyarakat, yang bertujuan untuk membina dan mempertahankan peserta KB yang sudah ada serta meningkatkan jumlah peserta KB baru. Pada masa periode ini juga dikembangkan strategi operasional yang baru yang disebut Panca Karya dan Catur Bhava Utama yang bertujuan mempertajam segmentasi sehingga diharapkan dapat mempercepat penurunan fertilitas. Pada periode ini muncul juga strategi baru yang memadukan KIE dan pelayanan kontrasepsi yang merupakan bentuk “Mass Campaign” yang dinamakan “Safari KB Senyum Terpadu”. - Periode Pelita IV (1983-1988)
Pada masa ini juga muncul pendekatan baru, antara lain melalui Pendekatan koordinasi aktif, penyelenggaraan KB oleh pemerintah dan masyarakat lebih disinkronkan pelaksanaannya melalui koordinasi aktif tersebut ditingkatkan menjadi koordinasi aktif dengan peran ganda, yaitu selain sebagai dinamisator juga sebagai fasilitator. Disamping itu, dikembangkan pula strategi pembagian wilayah guna mengimbangi laju kecepatan program. Pada periode ini juga secara resmi KB Mandiri mulai dicanangkan pada tanggal 28 Januari 1987 oleh Presiden Soeharto dalam acara penerimaan peserta KB Lestari di Taman Mini Indonesia Indah. Program KB Mandiri dipopulerkan dengan kampanye LIngkaran Biru (LIBI) yang bertujuan memperkenalkan tempat-tempat pelayanan dengan logo Lingkaran Biru KB. - Periode Pelita V (1988-1993)
Pada periode ini gerakan KB terus berupaya meningkatkan kualitas petugas dan sumberdaya manusia dan pelayanan KB. Oleh karena itu, kemudian diluncurkan strategi baru, yaitu Kampanye Lingkaran Emas (LIMAS). Jenis kontrasepsi yang ditawarkan pada LIBI masih sangat terbatas, maka untuk pelayanan KB LIMAS ini ditawarkan lebih banyak lagi jenis kontrasepsi, yaitu ada 16 jenis kontrepsi. Pada periode ini ditetapkan UU No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 khususnya sub sector Keluarga Sejahtera dan Kependudukan, maka kebijaksanaan dan strategi gerakan KB nasional diadakan untuk mewujudkan keluarga Kecil yang sejahtera melalui penundaan usia perkawinan, penjarangan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga dan peningkatan kesejahteraan keluarga. - Periode Pelita VI (1993-1998)
Pada Pelita VI dikenalkan pendekatan baru yaitu “Pendekatan Keluarga” yang bertujuan untuk menggalakan partisipasi masyarakat dalam gerakan KB nasional. Dalam Kabinet Pembangunan VI sejak tanggal 19 Maret 1993 sampai dengan 19 Maret 1998, Prof. Dr. Haryono Suyono ditetapkan sebagai Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN, sebagai awal dibentuknya BKKBN setingkat Kementerian. Pada tangal 16 Maret 1998, Prof. Dr. Haryono Suyono diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan merangkap sebagai Kepala BKKBN. Dua bulan berselang dengan terjadinya gerakan reformasi, maka Kabinet Pembangunan VI mengalami perubahan menjadi Kabinet Reformasi Pembangunan Pada tanggal 21 Mei 1998, Prof. Haryono Suyono menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesra dan Pengentasan Kemiskinan, sedangkan Kepala BKKBN dijabat oleh Prof. Dr. Ida Bagus Oka sekaligus menjadi Menteri Kependudukan. - Periode Pasca Reformasi
Dari butir-butir arahan GBHN Tahun 1999 dan perundang-undangan yang telah ada, Program Keluarga Berencana Nasional merupakan salah satu program untuk meningkatkan kualitas penduduk, mutu sumber daya manusia, kesehatan dan kesejahteraan sosial yang selama ini dilaksanakan melalui pengaturan kelahiran, pendewasaan usia perkawinan, peningkatan ketahanan keluarga dan kesejahteraan keluarga. Arahan GBHN ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) yang telah ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000. Sejalan dengan era desentralisasi, eksistensi program dan kelembagaan keluarga berencana nasional di daerah mengalami masa-masa kritis. Sesuai dengan Keppres Nomor 103 Tahun 2001, yang kemudian diubah menjadi Keppres Nomor 09 Tahun 2004 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen menyatakan bahwa sebagian urusan di bidang keluarga berencana diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota selambat-lambatnya Desember 2003. Hal ini sejalan dengan esensi UU Nomor 22 Tahun 1999 (telah diubah menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004). Dengan demikian tahun 2004 merupakan tahun pertama Keluarga Berencana Nasional dalam era desentralisasi. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang telah disahkan pada tanggal 29 Oktober 2009, berimplikasi terhadap perubahan kelembagaan, visi, dan misi BKKBN. Undang-Undang tersebut mengamanatkan perubahan kelembagaan BKKBN yang semula adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Visi BKKBN adalah “Penduduk Tumbuh Seimbang 2015” dengan misi “mewujudkan pembangunan yang berwawasan kependudukan dan mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera”. Untuk mencapai visi dan misi tersebut, BKKBN mempunyai tugas dan fungsi untuk melaksanakan pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 56 Undang-Undang tersebut di atas. Dalam rangka pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana di daerah, pemerintah daerah membentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah yang selanjutnya disingkat BKKBD di tingkat provinsi dan kabupaten dan kota yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya memiliki hubungan fungsional dengan BKKBN (pasal 54 ayat 1 dan 2).
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!