Etika administrasi publik merupakan seperangkat prinsip dan nilai yang harus dipegang teguh oleh para Pegawai Negeri Sipil ketika melaksanakan kewajibannya serta tanggung jawabnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 4 dan 5 menegaskan kewajiban ASN untuk menjaga standar etika yang tinggi dalam pelayanan publik dan penyelenggaraan negara. ASN diharuskan bertanggung jawab, patuh, akuntabel, serta memberi pelayanan yang santun dan beretika, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau tekanan eksternal. Peraturan ini juga menekankan pentingnya patuh terhadap kode etik dan kode etik pegawai termasuk kedisiplinan, kehati-hatian, pelayanan yang sopan dan hormat, serta menjaga kerahasiaan informasi negara. Tujuannya yakni menciptakan lingkungan kerja profesional, transparan, berintegritas tinggi, serta mencegah praktek yang merugikan kepentingan publik.
Namun, dalam praktiknya tidak jarang ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika administrasi publik. Contohnya yakni pada bea cukai yang dimana dalam segi pelayanan masih buruk dan kurang maksimal. Hal ini dapat berdampak buruk bagi kinerja birokrasi, kepercayaan publik, serta citra pemerintahan. Maka dari itu dibutuhkan adanya upaya yang komprehensif untuk menegakkan etika administrasi publik mulai dari penegakan hukum penguatan pengawasan, serta peningkatan integritas dan profesionalisme aparatur sipil negara.Â
Studi kasus terkait buruknya pelayanan Bea Cukai merupakan contoh nyata dari pelanggaran etika dalam administrasi publik. Bea Cukai merupakan instansi pemerintah yang bertugas mengawasi serta mengendalikan arus produk yang keluar masuk dari suatu negara. Dalam konteks ini, Bea Cukai memiliki peran penting dalam menjaga keamanan nasional, melindungi ekonomi negara, dan memberikan pelayanan yang efisien kepada masyarakat.
Namun, terdapat kasus-kasus di mana pelayanan yang diberikan oleh Bea Cukai tidak sesuai dengan harapan atau standar yang diharapkan dari sebuah lembaga pemerintah. Salah satu contoh nyata dari pelanggaran etika administrasi publik dalam konteks ini adalah buruknya pelayanan Bea Cukai dapat tercermin dari lambatnya proses pengurusan dokumen, ketidakjelasan prosedur yang berbelit-belit, dan kurangnya responsivitas terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Praktik ini merugikan masyarakat dan melanggar prinsip-prinsip integritas serta profesionalisme dalam administrasi publik. Para petugas Bea Cukai yang terlibat dalam praktik ini tidak hanya melanggar hukum dan etika, tetapi juga merusak citra lembaga pemerintah secara keseluruhan.
Salah satu kasus buruknya pelayanan Bea Cukai adalah yang terjadi di Bandara Soekarno-Hatta pada tahun 2023. Seorang pengusaha mengalami kesulitan melakukan proses impor barang. Petugas Bea Cukai dianggap tidak kooperatif dan memberikan informasi yang tidak jelas. Pengusaha tersebut harus menunggu lama dan bolak-balik ke kantor Bea Cukai untuk menyelesaikan proses impor. Hal ini mengakibatkan kerugian finansial bagi pengusaha tersebut.
Pelanggaran etika dalam kasus ini terkait dengan beberapa aspek utama. Pertama, lambatnya proses pelayanan dan ketidakjelasan prosedur administrasi Bea Cukai. Ini menunjukkan kekurangan dalam manajemen dan organisasi lembaga tersebut, serta kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan tugas-tugasnya. Administrasi publik yang baik harus didasarkan pada prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Dampak dari pelanggaran etika ini sangat beragam. Secara langsung, lambatnya proses pelayanan dapat menghambat aktivitas bisnis dan perdagangan, mengakibatkan kerugian ekonomi bagi pelaku usaha dan negara secara keseluruhan. Lebih jauh lagi, hal ini bisa mengurangi keyakinan masyarakat pada pemerintah serta institusi publik, yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas dan kepercayaan dalam sistem politik.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan tindakan-tindakan perbaikan yang komprehensif. Pertama, penegakan hukum yang tegas terhadap praktik pelanggaran etika perlu dilakukan untuk mengirimkan sinyal bahwa tindakan tersebut tidak akan ditoleransi. Kedua, reformasi internal dalam Bea Cukai diperlukan untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam proses pelayanan dan administrasi. Selain itu, pelatihan etika dan profesionalisme bagi petugas publik juga penting untuk memastikan bahwa mereka beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip moral dan integritas.
Secara keseluruhan, kasus buruknya pelayanan Bea Cukai menyoroti pentingnya menjaga etika dalam administrasi publik. Tanpa integritas dan moralitas yang kuat, lembaga-lembaga publik tidak dapat memenuhi peran mereka dalam memberikan pelayanan yang adil, produktif, serta hemat. Oleh karena itu, penegakan etika di administrasi publik harus menjadi prioritas utama bagi setiap negara yang berkomitmen untuk membangun tatanan pemerintahan yang baik dan berkelanjutan.
Dengan adanya upaya-upaya perbaikan yang komprehensif dan berkelanjutan, diharapkan bahwa pelayanan Bea Cukai dapat meningkat secara signifikan, kepercayaan masyarakat dapat dipulihkan, dan prinsip-prinsip integritas dan etika dalam administrasi publik dapat ditegakkan dengan lebih kuat.
Kasus pelanggaran etika administrasi publik dalam studi kasus buruknya pelayanan Bea Cukai dapat disimpulkan bahwa integritas dan moralitas merupakan fondasi yang sangat penting dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Pelanggaran etika, seperti praktik pungutan liar atau suap, serta ketidakjelasan dalam proses pelayanan, tak sekedar menimbulkan kerugian masyarakat terkait finansial, namun selain itu bisa mengurangi kepercayaan masyarakat pada institusi pemerintahan.
Dari yang sudah dijelaskan di atas, diharapkan penegakan etika dalam administrasi publik harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan lembaga-lembaga terkait. Hanya dengan memastikan bahwa setiap petugas publik bertindak dengan integritas dan bertanggung jawab, kita dapat membangun sistem pemerintahan yang kuat dan dapat dipercaya, yang mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan melindungi kepentingan masyarakat secara adil dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Indrawati I., & Menezes B. (2018). Penerapan Asas Ultimum Remidium Dalam Penegakan Hukum Pidana Di Bidang Cukai. Jurnal Cakrawala Hukum. 9. (1). 11-20.
Oktari Yogi., dkk. (2023). Urgensi Etika Pejabat Publik Dan Peranan Generasi Z Dalam Studi Administrasi Publik. JIAP: Jurnal Ilmiah Administrasi Publik. 9. (1). 11-20. https://doi.org/10.21776/ub.jiap/2023.009.01.2Â
Panjaitan J. C. (2022). Tindak Pidana Menjual Barang Kena Cukai Yang Tidak Dilekati Pita Cukai Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai (Analisis Putusan Nomor 18/Pid. Sus. 2020/PN. Mdn). Jurnal Hukum Kaidah: Media Komunikasi dan Informasi Hukum Dan Masyarakat. 21. (2). 279-311.
Saroinsong E. J. (2020). Peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dalam Tindak Pidana Bea Dan Cukai Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan Dalam Kasus Penyelundupan. Lex Et Societatis. 7. (7). 33-42.Â
Sulfiyah Alfiyana., dkk. (2023). Penerapan Etika Administrasi Publik Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Di Kantor Kecamatan Lamporong Selatan Kabupaten Luwu. KIMAP: Kajian Ilmiah Mahasiswa Administrasi Publik. 4. (1). 14-25.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H