Mohon tunggu...
Fitri Turisa
Fitri Turisa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Lembaga Rating Alternatif Bentukan KPI Siap Menentang AC Nielsen

22 Juni 2017   13:07 Diperbarui: 22 Juni 2017   13:09 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga cukup kerepotan dengan biasnya rating dan kenyataan kualitas konten tayangan televisi di Indonesia. Hal ini cukup digambarkan dengan surat peringatan yang diberikan oleh KPI ternyata acara televisi yang memiliki pemeringkatan tinggi. Padahal, program yang mendapat teguran dari KPI tentunya berpeluang besar berada di kategori program televisi yang bermasalah (Amelia, Desember 2015).

Beberapa program yang mendapat teguran dari KPI pada tahun 2017 adalah Dashyat (acara televisi di Indonesia yang membahas soal musik dan ditayangkan di saluran RCTI), di mana menurut keterangan KPI Pusat, pelanggaran program siaran "Dahsyat" berupa memuat perkataan yang merendahkan seperti "p'a", "pangeran sawan", "ular kadut", dan "jenglot"(Tempo.co, 2017), D'Academy (program acara audisi musisi dangdut yang disiarkan di Indosiar), karena memuat pertengkaran antara Dewi Persik dan Nassar yang berujung pada pemberhentian sementara tayangan tersebut(Tribunnews, 2017), termasuk sinetron Anak Langit (tayang di SCTV) yang digolongkan oleh KPI telah melanggar ketentuan tentang perlindungan anak dan remaja serta penggolongan program siaran yang sudah diatur sebelumnya dalam Pedoman Perilaku  Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI Tahun 2012. Sinetron tersebut dinilai berisi adegan perkelahian dan kekerasan(Jaelani, 2017).

Penutup

Proses pemberian ratingatau pemeringkatan televisi hendaknya diaudit dan dilakukan proses evaluasi. Harus ada keterbukaan antar lembaga pemeringkatan dengan pemerintah serta KPI demi kemajuan kualitas acara televisi di Indonesia.Pemerintah dapat membuat regulasi berupa kebijakan baru yang mengatur dan menegaskan sanksi-sanksi, sementara KPI melakukan upaya aplikatifnya dalam melakukan peneguran dan sanksi. Selain itu, perlu dilakukan kerjasama dengan lembaga pemeringkatan yang lain selain A.C Nielsen.

Akan menjadi suatu kesia-siaan apabila lembaga lain tersebut masih menggunakan metode yang dgunakan oleh Nielsen, yaitu people-meter.Hal ini karena Nielsen merupakan lembaga yang bergerak dengan metode survei kuantitatif, bukan kualitatif. Sebagaimana yang sudah saya jelaskan sebelumnya, bahwa model kuantitatif ini juga bukan berarti tidak penting. Hanya saja, mengandalkan satu lembaga dengan satu metode saja tidak akan menciptakan atmosfer yang baik bagi dunia pertelevisian di Indonesia, apalagi jika tidak ada auditnya.

Jadi, jika KPI berencana untuk melakukan program tandingan seperti Nielsen, dengan metode kuantitatif tentu tidak akan mempengaruhi apa-apa secara progresif. Yang dibutuhkan oleh KPI adalah metode kualitatif, yakni metode lain selain yang dilakukan oleh Nielsen. Sejauh ini, KPI memiliki otoritas untuk memberikan sanksi bahkan pemberhentian program seperti yang pernah dilakukan sebelumnya kepada program acara YKS (Yuk Keep Smile). Hal ini menunjukkan bahwa KPI memiliki kapasitas serta potensi yang besar di Indonesia.

Barangkali, ke depannya, KPI perlu menomorsatukan acara dengan penilaian kualitatif yang tinggi dibandingkan kuantitatifnya yang tinggi. Dengan begitu, KPI dapat mengontrol bahwa program yang layak tayang adalah program yang berkualitas dan tidak menyesatkan audiens. Nyatanya, memang bukan urusan pebisnis jika masyarakat tidak teredukasi oleh konten dalam program televisi. Di sinilah mengapa peran KPI sangat krusial.

Literasi media di Indonesia kemungkinan besarmasih rendah, dan lembaga Nielsen telah memperkuatnya dengan data yang menunjukkanbahwa program acara televisi yang tidak berkualitas baik justru acara yangmemiliki penilaian atau rating yangtinggi --di mana ada banyak orang yang menonton acara tersebut. Jika memangmasih terlalu sulit dan lama untuk mengedukasi masyarakat dengan segalakekompleksitasan bisnis dalam rendahnyaliterasi media bagi masyarakat Indonesiasaat ini, sudah saatnya bagi KPI untuk lebih tegas lagi mengatur tayangantelevisi di Indonesia, yaitu dengan tidak mengizinkan program yang buruk secarakualtatif untuk tetap tayang.

Daftar Pustaka

Amelia, C. R. (Desember 2015). Literasi Media, Upaya Cerdas dalam Mengkonsumsi Tayangan T elevisi. Jurnal Seni Media Rekam, 26-36.

Bourdon, J., & Madel, C. (2014). Television Audience Accross the World. London: Palgrave MacMillan.

Erica, T. D., & Panjaitan, L. (2006). Matinya Rating Televisi. Yayasan Obor Indonesia: Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun