Mohon tunggu...
Fitri Turisa
Fitri Turisa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Lembaga Rating Alternatif Bentukan KPI Siap Menentang AC Nielsen

22 Juni 2017   13:07 Diperbarui: 22 Juni 2017   13:09 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Lembaga Rating Alternatif Bentukan KPI Siap Menantang AC Nielsen

Pendahuluan

Barangkali publik masih belum lupa betapa tragisnya kematian si Boy dari sinetron Anak Jalanan yang mati tiba-tiba karena kecelakaan. Beberapa fans si Boy di dunia nyata merasa bahwa episode tersebut sangat buruk, tidak masuk akal dan menyakitkan. Bahkan ada sebuah video yang cukup viral pasca "kematian" si Boy ini, yang menunjukkan tangisan dalam dari seorang ibu dan anaknya yang sedang menonton episode kematian si Boy.

Menanggapi hal tersebut, beberapa pihak yang anti sinetron sudah jelas menyindir atau bahkan terang-terangan mencaci, sementara yang pro tentu tidak terima jika seleranya dihina. Menangisi kematian seorang tokoh sinetron, bagi sebagian orang, adalah berlebihan. Bahkan beberapa pihak cenderung menyalahkan sinetron dan beropini bahwa sinetron adalah pembodohan.

Apa yang saya sampaikan di atas adalah cerminan televisi Indonesia. Meski pihak yang anti sinetron dan acara "pembodohan" lainnya, kenyataannya, AC Nielsen tidak berpendapat demikian. Acara-acara yang banyak digemari dan dianggap memiliki rating yang tinggi adalah acara-acara tersebut. Maka tidak heran jika sampai saat ini, sinetron baru masih tetap bermunculan, menampilkan selebriti muda yang masih harum dan cantik-cantik dengan sutradara yang menakdirkan adegan-adegan klise. Lantas bagaimana dengan sinetron lama? Masih ada, dengan episode yang mencapai ratusan atau ribuan dan penggemar yang mencapai jutaan. Kalau tamat? Tinggal melakukan duplikasi konten agar tayangan baru dapat mengikuti jejak kesuksesan tayangan lama, dan tentunya pertelevisian tidak akan pernah mengalami regenerasi jika hal ini terus berlanjut.

Sebenarnya, bukan berarti tidak ada pihak yang mempertanyakan tentang kredibilitas AC Nielsen. Saat masih menjabat sebagai Menteri Informasi, Tifatul Sembiring pernah melakukan upaya untuk menggeser posisi AC Nielsen, lembaga rating asal Amerika Serikat, di Indonesia. Secara lebih tegas, beliau bahkan menjustifikasi bahwa AC Nielsen mengabaikan aspekedukasi dalam acara televisi, sebaliknya justru mengedepankan rating yang tinggi.

Pada tahun 2015 lalu, Presiden Joko Widodo juga memberikan kritiknya terhadap acara televisi di Indonesia. Presiden  Joko Widodo melihat acara televisi tidak lebih dari bisnis, dan memberikan implikasi yang negatif kepada publik. Tayangan-tayangan yang dianggap buruk tersebut ternyata bukan main-main, mulai dari tayangan yang menampilkan unsur-unsur seksisme, kecengengan, pola budaya konsumtif di mana yang ditampilkan di televisi adalah barang-barang mewah hingga hal-hal yang tidak rasional seperti mempercayai takhayul.

Yang menjadi masalah adalah, tayangan-tayangan tersebut, dianggap baik karena memiliki rating yang tinggi oleh AC Nielsen. Bukankah tayangan yang buruk mencerminkan kualitas audiensnya juga? Jika Tifatul Sembiring dan Joko Widodo sampai angkat bicara, mungkin ada yang perlu benar-benar diselidiki tentang rating pertelevisian di Indonesia. Lantas seperti apakah AC Nielsen itu, yang merupakan lembaga pemeringkatan acara televisi satu-satunya di Indonesia?

Isi

AC Nielsen adalah lembaga pemberi rating atau pemeringkatan acara televisi yang berasal dari Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, perusahaan Nielsen, pelopor dalam studi pasar, menaklukkan pasar pemeringkatan penonton dan masih merupakan pemain dominan di bidang rating pemirsa TV nasional. Di kebanyakan negara Eropa, peringkat penonton pertama dilakukan di dalam rumah, di dalam badan layanan publik sendiri.

Saluran pribadi yang muncul dan pengiklan melakukan survei mereka sendiri, dengan berbagai tujuan dan metode. Mereka berkeras untuk mengkualifikasikan masyarakat, sedangkan saluran publik lebih mementingkan - masing-masing dengan caranya sendiri - tentang melihat 'kualitas', minat penonton terhadap program, dan sebagainya.Pada tahun 1980an, setelah negosiasi yang intens, peringkat penonton umumnya dioutsourcing ke perusahaan swasta (Bourdon & Madel, 2014).

Sebenarnya, rating bukanlah satu-satunya pedoman, bahkan juga bukan merupakan kenyataan (Erica & Panjaitan, 2006). Apalagi, AC Nielsen, lembaga yang bergerak untuk melakukan rating di Indonesia memang meragukan banyak pihak, tidahk hanya Kementrian saja, namun penelitian lain menunjukkan bahwa sistem penghitungan yang dipakai oleh AC Nielsen adalah tidak akurat(Milavsky, 1992).

A.C Nielsen didirikan oleh Arthur Charles (A.C.) Nielsen. Arthur Nielsen pada awalnya bekerja sebagai teknisi di Chicago dan mulai menginvestasikan uangnya pada perusahaan yang bergerak di pelaporan survei produksi, dan pada 1935 iamemiliki perusahaan yang melaporkan jumlah dan harga penjualan kebutuhan sehari-hari dan obat-obatan pada skala nasional.Melihat kesuksesan tersebut, Nielsen mencoba pasar radio pada 1936 dan kini berkembang ke ranah televisi(Newcomb & Kay, 2014).

Apa yang dilakukan oleh AC Nielsen sebagai lembaga pemeringkatan adalah menghitung kuantitas, bukan kualitas. Misalnya, ada berapa banyak orang yng menonton televisi pada saluran A pada jam sekian? A.C Nielsen juga melihat apakah orang-orang tersebut tetap menonton program yang sama setelah satu jam, dan seterusnya.

Apa yang diperlukan saat ini adalah melakukan pemeringkatan acara televisi secara kualitatif, bukan kuantitatif. Hal ini bukan berarti metodekuantitatif tidak perlu, namun mengandalkan satu metode saja dalam pemeringkatan acara televisi di Indonesia akan menghasilkan bias. Selain itu, keberadaan A.C Nielsen yang berasal dari Amerika Serikat juga terkesan memonopoli industri pemeringkatan acara televisi di Indonesia.

Metode kuantitatif tersebut memang kurang optimal untuk menentukan suatu acara berkualitas baik atau tidak. Misalnya, survei A.C Nielsen pernah menegaskan bahwa sinetron Rahasia Illahi yang pernah tayang di stasiun televisi RCTI berhasil meraih rating 14,2 dengan share 40%, yang artinya pada tayangan tersebut, setidaknya sebanyak 40% dari penonton televisi menyaksikan tayangan tersebut. Sementara itu, sinetron tersebut dianggap oleh beberapa pihak merusak citra agama Islam di mana tokohnya digambarkan beragama Islam dengan menganut ajaran magis dan hal-hal yang tidak rasional lainnya(Yogisworo, 2010).

Indonesia selayaknya mengedepankan lembaga pemeringkatan lainnya. Sebenarnya, di Indonesia bukan berarti tidak ada lembaga komersial seperti ini. Pemerintah perlu mengerahkan upaya untuk bekerja sama dengan lembaga ini. Masalah yang meliputi pemeringkatan atau rating acara televisi yang dilakukan oleh A.C Nielsen tidak akan selesai apabila tidak ada upaya yang nyata dan pemangku kepentingan hanya memberikan kritik tanpa solusi.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga cukup kerepotan dengan biasnya rating dan kenyataan kualitas konten tayangan televisi di Indonesia. Hal ini cukup digambarkan dengan surat peringatan yang diberikan oleh KPI ternyata acara televisi yang memiliki pemeringkatan tinggi. Padahal, program yang mendapat teguran dari KPI tentunya berpeluang besar berada di kategori program televisi yang bermasalah (Amelia, Desember 2015).

Beberapa program yang mendapat teguran dari KPI pada tahun 2017 adalah Dashyat (acara televisi di Indonesia yang membahas soal musik dan ditayangkan di saluran RCTI), di mana menurut keterangan KPI Pusat, pelanggaran program siaran "Dahsyat" berupa memuat perkataan yang merendahkan seperti "p'a", "pangeran sawan", "ular kadut", dan "jenglot"(Tempo.co, 2017), D'Academy (program acara audisi musisi dangdut yang disiarkan di Indosiar), karena memuat pertengkaran antara Dewi Persik dan Nassar yang berujung pada pemberhentian sementara tayangan tersebut(Tribunnews, 2017), termasuk sinetron Anak Langit (tayang di SCTV) yang digolongkan oleh KPI telah melanggar ketentuan tentang perlindungan anak dan remaja serta penggolongan program siaran yang sudah diatur sebelumnya dalam Pedoman Perilaku  Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI Tahun 2012. Sinetron tersebut dinilai berisi adegan perkelahian dan kekerasan(Jaelani, 2017).

Penutup

Proses pemberian ratingatau pemeringkatan televisi hendaknya diaudit dan dilakukan proses evaluasi. Harus ada keterbukaan antar lembaga pemeringkatan dengan pemerintah serta KPI demi kemajuan kualitas acara televisi di Indonesia.Pemerintah dapat membuat regulasi berupa kebijakan baru yang mengatur dan menegaskan sanksi-sanksi, sementara KPI melakukan upaya aplikatifnya dalam melakukan peneguran dan sanksi. Selain itu, perlu dilakukan kerjasama dengan lembaga pemeringkatan yang lain selain A.C Nielsen.

Akan menjadi suatu kesia-siaan apabila lembaga lain tersebut masih menggunakan metode yang dgunakan oleh Nielsen, yaitu people-meter.Hal ini karena Nielsen merupakan lembaga yang bergerak dengan metode survei kuantitatif, bukan kualitatif. Sebagaimana yang sudah saya jelaskan sebelumnya, bahwa model kuantitatif ini juga bukan berarti tidak penting. Hanya saja, mengandalkan satu lembaga dengan satu metode saja tidak akan menciptakan atmosfer yang baik bagi dunia pertelevisian di Indonesia, apalagi jika tidak ada auditnya.

Jadi, jika KPI berencana untuk melakukan program tandingan seperti Nielsen, dengan metode kuantitatif tentu tidak akan mempengaruhi apa-apa secara progresif. Yang dibutuhkan oleh KPI adalah metode kualitatif, yakni metode lain selain yang dilakukan oleh Nielsen. Sejauh ini, KPI memiliki otoritas untuk memberikan sanksi bahkan pemberhentian program seperti yang pernah dilakukan sebelumnya kepada program acara YKS (Yuk Keep Smile). Hal ini menunjukkan bahwa KPI memiliki kapasitas serta potensi yang besar di Indonesia.

Barangkali, ke depannya, KPI perlu menomorsatukan acara dengan penilaian kualitatif yang tinggi dibandingkan kuantitatifnya yang tinggi. Dengan begitu, KPI dapat mengontrol bahwa program yang layak tayang adalah program yang berkualitas dan tidak menyesatkan audiens. Nyatanya, memang bukan urusan pebisnis jika masyarakat tidak teredukasi oleh konten dalam program televisi. Di sinilah mengapa peran KPI sangat krusial.

Literasi media di Indonesia kemungkinan besarmasih rendah, dan lembaga Nielsen telah memperkuatnya dengan data yang menunjukkanbahwa program acara televisi yang tidak berkualitas baik justru acara yangmemiliki penilaian atau rating yangtinggi --di mana ada banyak orang yang menonton acara tersebut. Jika memangmasih terlalu sulit dan lama untuk mengedukasi masyarakat dengan segalakekompleksitasan bisnis dalam rendahnyaliterasi media bagi masyarakat Indonesiasaat ini, sudah saatnya bagi KPI untuk lebih tegas lagi mengatur tayangantelevisi di Indonesia, yaitu dengan tidak mengizinkan program yang buruk secarakualtatif untuk tetap tayang.

Daftar Pustaka

Amelia, C. R. (Desember 2015). Literasi Media, Upaya Cerdas dalam Mengkonsumsi Tayangan T elevisi. Jurnal Seni Media Rekam, 26-36.

Bourdon, J., & Madel, C. (2014). Television Audience Accross the World. London: Palgrave MacMillan.

Erica, T. D., & Panjaitan, L. (2006). Matinya Rating Televisi. Yayasan Obor Indonesia: Yogyakarta.

Jaelani, D. (2017, Maret 13). Mulai Buat Ulah, Sinetron Anak Langit Langsung Kena Teguran KPI. Dipetik Juni 17, 2017, dari Duniaku: https://www.duniaku.net/2017/03/13/sinetron-anak-langit-teguran-kpi/

Milavsky, J. R. (1992). How Good Is The A.C. Nielsen People Meter System? The Public Opinion Quarterly Volume 56 No. 1, 102-115.

Newcomb, H., & Kay, L. (2014). Encyclopedia of Television. Routledge.

Tempo.co. (2017, Maret 30). Ini Penyebab 5 Teguran KPI Untuk DahSyat RCTI. Retrieved Juni 17, 2017, from Tempo.co: https://seleb.tempo.co/read/news/2017/03/30/219860863/ini-penyebab-5-teguran-kpi-untuk-dahsyat-rcti

Tribunnews. (2017, Februari 20). KPI Sanksi Program D'Academy, Indosiar Tegur Dewi Perssik dan Nassar. Dipetik Juni 17, 2017, dari Tribunnews: http://www.tribunnews.com/seleb/2017/02/20/kpi-sanksi-program-dacademy-indosiar-tegur-dewi-perssik-dan-nassar

Yogisworo, B. (2010). Resume Penerimaan Pemirsa Mengenai Tayangan Sinetron Religi Rahasia . Semarang: Skripsi Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun