Konsep barang dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan nilai-nilai moral. Dalam al-Quran dinyatakan dua bentuk barang yaitu: al-tayyibat (barangan yang baik, bersih, dan suci serta berfaedah) dan barangan al-rizq (pemberian Allah, hadiah, atau anugerah dari langit) yang bisa mengandung halal dan haram.Â
Menurut ekonomi Islam, barang bisa dibagi pada tiga kategori yaitu: barang keperluan primer (daruriyyat) dan barang sekunder (hajiyyat) dan barang tersier (tahsiniyyat).Â
Barang haram tidak diakui sebagai barang dalam konsep Islam. Dalam menggunakan barang senantiasa memperhatikan maqasid al-syari'ah (tujuan-tujuan syariah). Oleh karena itu konsep barang yang tiga macam tersebut tidak berada dalam satu level akan tetapi sifatnya bertingkat dari daruriyyat, hajiyyatdan tahsiniyyat.
Etika konsumen
Islam tidak melarang individu dalam menggunakan barang untuk  mencapai kepuasan selama individu tersebut tidak mengkonsumsi barang yang haram dan berbahaya atau merusak. Islam melarang mengkonsumsi barang untuk israf(pembaziran) dan tabzir (spending in the wrong way) seperti suap, berjudi dan lainnya.
Berbeda dengan ekonomi konvensional yang mengasumsikankan manusia sebagai rational economic man, jenis manusia yang hendak dibentuk oleh Islam adalah Islamic man (''ibadurrahman), sesuai firman Allah SWT QS. Al Furqaan Ayat 63: Dan hamba-hamba yang Maha Penyanyang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Perilaku rasional Islamic mandianggap konsisten jika dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan kesuksesan hidup.
Dalam  mengalokasikan kebutuhannya tidak terbatas, dimana berhadapan dengan sumber daya yang terbatas, setiap individu menggunakan prinsip rasionalitas dalam mencapai kepuasan maksimum. Rasionalitas merupakan pengembangan dari asumsi bahwa manusia ialah homo economicus. Hal ini berarti bahwa setiap individu  paling mengetahui kepuasaan yang maksimum bagi dirinya dengan tidak berperilaku sempit melainkan perilaku logis bagi setiap individu yang sadar dan perhatian untuk memperoleh falah.
FITRI RIYANTO, Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ekonomi FIAI UII Yogyakarta.
[1]M Nur Rianto, Euis Amalia, Teori Mikro Ekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional, (Jakarta; Kencana, 2010).
[2]Syed Nawar Haider Naqvi, Ethics and Economic An Islamic Synthesis, The Islamic Foundations, Â (London, 1981).
[3]Nur Kholis, Konsep Rasionaliti Dalam Perspektif Ekonomi Konvensional dan Alternatifnya menurut Pandangan Ekonomi Islam, Jurnal Mukaddimah.