Mohon tunggu...
Fitri Riyanto
Fitri Riyanto Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pascasarjana MSI UII Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Konsep Rasionalitas dalam Ekonomi Islam

11 Januari 2018   15:48 Diperbarui: 13 Januari 2018   05:53 12908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ilmu ekonomi adalah suatu studi yang mempelajari tentang manusia. Tetapi tentang manusia ekonomi yang berperilaku untuk memenuhi kebutuhan atas barang-barang yang jumlahnya terbatas (scarcity).  

Untuk memenuhi kebutuhan atas barang --barang yang jumlahnya terbatas, maka manusia harus melakukan pilihan. Cara melakukan pilihan tersebut hanya dapat dilakukan oleh manusia ekonomi secara rasionalitas ekonomi, sehingga secara umum ekonomi adalah studi tentang manusia ekonomi yang rasional. 

Setiap manusia ekonomi diasumsikan rasional dalam setiap perilakunya, meskipun terkadang dalam kenyataan perilakunya mungkin tidak rasional untuk kepentingan teoritis dimana jika diposisikan sebagaimana yang seharusnya. Hal ini menyebabkan perbedaan rasionalitas dalam kenyataan dan rasionalitas dalam teori menjadi tidak jelas.[1]

Dalam konsep dasar ekonomi Islam kegiatan manusia dibumi dalam memenuhi kebutuhan -- kebutuhannya dari waktu ke waktu cenderung mengalami proses yang sama, bagaimana ia berburu, meramu dan bercocok tanam. 

Dalam mempertahankan hidupnya manusia diberi kebebasan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebebasan merupakan unsur dasar manusia dalam mengatur dirinya dalam  memenuhi kebutuhan yang ada.[

2] Namun tidak berlaku mutlak, karena dibatasi oleh kebebasan manusia lain. Keterbatasan kebebasan manusia ini menyebabkan bertemunya kebutuhan yang satu dengan kebutuhan yang lain akhirnya menimbulkan pemikiran batas keruhian seminimal mungkin untuk mendapatkan keinginan semaksimal mungkin dari segala aktivitas yang berkaitan dalam memenuhi kebutuhan -- kebutuhannya. 

Sehingga permasalahan ekonomi muncul sebagai akibat pertentangan antara keinginan dan kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan sumber daya yang terbatas. Dimana masalah ini menimbulkan masalah kelangkaan, untuk memecahkan masalah tersebut dilakukan alokasi terhadap pilihan yang menimbulkan kepuasan (utility) tertinggi bagi seorang individu. 

Dalam menentukan pilihan, manusia diasumsikan sebagai homo economicus yang paling mengetahui keinginanya dengan prinsip yang dikenal rasionalitas ekonomi, dan dalam ekonomi juga sikap yang dilandasi prinsip ekonomi tersebut menjadikan adanya penjual dan pembeli untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. 

Sikap penjual dan pembeli merupakan perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan berdasarkan usaha untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian.

Konsep Rasionalitas Konvensional

Rasionalitas dalam kajian ekonomi merupakan suatu perkara yang lebih sering dipakai. Apabila definisi itu dijelaskan biasanya berupa deskripsi tentang pilihan rasional atau perbuatan rasional.[3] Definisi rasionalitas menjadi membingungkan ketika dapat berarti banyak, seperti tidak memihak (dispassionate), beralasan (reasonable), logis (logical)dan mempunyai maksud tertentu (purposeful). 

Serta lebih lanjut keputusan rasional yang dibuat terkadang tidak selalu sesuai yang diharapkan. Sehingga perbedaan rasionalitas juga terjadi antar sesama ilmuwan social. Dimana rasionalitas menjadi topic yang controversial dan tidak ada definisi jelas, lugas, serta gambling yang bisa diterima secara umum oleh semua pihak.

Sedangkan yang dimaksud dengan asumsi rasionalitas adalah anggapan bahwa manusia berperilaku secara rasional (masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat keputusan yang akan menjadikan mereka lebih buruk.[4] yaitu memaksimumkan kepuasan atau keuntungan senantiasa berdasarkan pada keperluan (need) dan keinginan-keinginan (want) yang digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak secara sengaja membuat keputusan yang bisa merugikan kepuasan atau keuntungan mereka. 

Bahkan menurutnya, suatu aktivitas atau sikap yang terkadang nampak tidak rasional akan tetapi seringkali ia memiliki landasan rasionaliti yang kuat, misalnya sikap orang lanjut usia yang tidak mau belajar teknologi baru, orang yang berpacaran dengan menghabiskan waktu dan uang, sikap menolong orang fakir miskin dan sebagainya.

Konsep rasionalitas muncul karena adanya keinginan-keinginan konsumen untuk memaksimalkan utiliti dan produsen ingin memaksimalkan keuntungan, berasaskan pada satu set constrain. 

Yang dimaksud constrain dalam ekonomi konvensional adalah terbatasnya sumber-sumber dan pendapatan yang dimiliki oleh manusia dan alam, akan tetapi keinginan manusia pada dasarnya tidak terbatas.

[5] Dalam ekonomi Islam yang dimaksud dengan constrain adalah terbatasnya kemampuan manusia baik dari segi fisik maupun pengetahuan untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu sumber yang tidak terbatas yang telah disediakan oleh Allah SWT.

Konsep Rasionalitas Islam

Dalam ekonomi Islam, tindakan rasional termasuklah kepuasan atau keuntungan ekonomi dan rohani baik di dunia maupun di akhirat, sedangkan dalam ekonomi konvensional cakupan tujuannya terbatas hanya pada kepuasan atau keuntungan ekonomi saja. 

Oleh karena itu, dimensi  waktu dalam ekonomi Islam adalah lebih luas dan menjadi perhatian tersendiri pada tingkat agen-agen ekonomi di dalam Islam. 

Dalam ekonomi Islam, di dalam menjalankan perekonomian tidak hanya berasaskan pada logikal semata-mata, akan tetapi juga berasaskan pada nilai-nilai moral dan etika serta tetap berpedoman kepada petunjuk-petunjuk dari Allah SWT.

Manusia perlu bertindak rasional karena ia mempunyai beberapa kelebihan dibanding ciptaan Allah yang lainnya. Manusia dianggap bertindak rasional apabila .individu tersebut mengarahkan perilakunya untuk mencapai tahapan maksimum sesuai dengan norma-norma Islam. 

Individu rasional adalah individu yang berusaha memaksimumkan al-falahdibanding memaksimumkan kepentingan diri sendiri. Konsep asas rasionalisme Islam menurut Monzer Kahf[6]:

Konsep kesuksesan

Islam membenarkan individu untuk mencapai kesuksesan di dalam hidupnya melalui tindakan-tindakan ekonomi, namun kesuksesan dalam Islam bukan hanya kesuksesan materi akan tetapi juga kesuksesan di hari akhirat dengan mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Kesuksesan dalam kehidupan muslim diukur dengan moral agama Islam, bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. 

Semakin tinggi moralitas seseorang, semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketakwaan kepada Allah SWT merupakan kunci dalam moralitas Islam. 

Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan perilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan serta menjauhkan diri dari kejahatan. Ketakwaan kepada Allah dicapai dengan menyandarkan seluruh kehidupan hanya karena (niyyat) Allah, dan hanya untuk (tujuan) Allah, dan dengan cara  yang telah  ditentukan oleh Allah.[7]

Jangka waktu perilaku konsumen

Dalam pandangan Islam kehidupan dunia hanya sementara dan masih ada kehidupan kekal di akhirat. Maka dalam mencapai kepuasan perlu ada keseimbangan pada kedua tempoh waktu tersebut, demi mencapai kesuksesan yang hakiki. Oleh karena itu sebagian dari keuntungan atau kepuasan di dunia sanggup dikorbankan untuk kepuasan di hari akhirat. 

Manakala dalam pandangan konvensional mereka tidak memperhitungkan hal tersebut karena mereka menganggap kematian sebagai akhir dari segalanya, sehingga tidak perlu menyisihkan sebagian hartanya dari keuntungan atau kepuasan untuk masa yang tidak jelas dan tidak logis pada hari akhirat.

Konsep kekayaan

Kekayaan dalam konsep Islam adalah amanah dari Allah SWT dan sebagai alat bagi individu untuk mencapai kesuksesan di hari akhirat nanti, sedangkan menurut pandangan konvensional kekayaan adalah hak individu dan merupakan pengukur tahap pencapaian mereka di dunia.

Konsep barang

Konsep barang dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan nilai-nilai moral. Dalam al-Quran dinyatakan dua bentuk barang yaitu: al-tayyibat (barangan yang baik, bersih, dan suci serta berfaedah) dan barangan al-rizq (pemberian Allah, hadiah, atau anugerah dari langit) yang bisa mengandung halal dan haram. 

Menurut ekonomi Islam, barang bisa dibagi pada tiga kategori yaitu: barang keperluan primer (daruriyyat) dan barang sekunder (hajiyyat) dan barang tersier (tahsiniyyat). 

Barang haram tidak diakui sebagai barang dalam konsep Islam. Dalam menggunakan barang senantiasa memperhatikan maqasid al-syari'ah (tujuan-tujuan syariah). Oleh karena itu konsep barang yang tiga macam tersebut tidak berada dalam satu level akan tetapi sifatnya bertingkat dari daruriyyat, hajiyyatdan tahsiniyyat.

Etika konsumen

Islam tidak melarang individu dalam menggunakan barang untuk  mencapai kepuasan selama individu tersebut tidak mengkonsumsi barang yang haram dan berbahaya atau merusak. Islam melarang mengkonsumsi barang untuk israf(pembaziran) dan tabzir (spending in the wrong way) seperti suap, berjudi dan lainnya.

Berbeda dengan ekonomi konvensional yang mengasumsikankan manusia sebagai rational economic man, jenis manusia yang hendak dibentuk oleh Islam adalah Islamic man (''ibadurrahman), sesuai firman Allah SWT QS. Al Furqaan Ayat 63: Dan hamba-hamba yang Maha Penyanyang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Perilaku rasional Islamic mandianggap konsisten jika dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan kesuksesan hidup.

Dalam  mengalokasikan kebutuhannya tidak terbatas, dimana berhadapan dengan sumber daya yang terbatas, setiap individu menggunakan prinsip rasionalitas dalam mencapai kepuasan maksimum. Rasionalitas merupakan pengembangan dari asumsi bahwa manusia ialah homo economicus. Hal ini berarti bahwa setiap individu  paling mengetahui kepuasaan yang maksimum bagi dirinya dengan tidak berperilaku sempit melainkan perilaku logis bagi setiap individu yang sadar dan perhatian untuk memperoleh falah.

FITRI RIYANTO, Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ekonomi FIAI UII Yogyakarta.

[1]M Nur Rianto, Euis Amalia, Teori Mikro Ekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional, (Jakarta; Kencana, 2010).

[2]Syed Nawar Haider Naqvi, Ethics and Economic An Islamic Synthesis, The Islamic Foundations,  (London, 1981).

[3]Nur Kholis, Konsep Rasionaliti Dalam Perspektif Ekonomi Konvensional dan Alternatifnya menurut Pandangan Ekonomi Islam, Jurnal Mukaddimah.

[4]Roger Leroy Miller, Econmics Today 7th ed. (New York: Harper Colins Publishers, 1991).

[5]M.A. Mannan, "Scarcity, Choice and Opportunity Cost: Their Dimension in Islamic Economics" (Saudi Arabia: International Centre for Research in Islamic Economics, 1982).

[6]Monzer Kahf, "The Theory of Consumption" dalam Sayyid Tahir et al.(ed.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective,(Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn Bhd, 1992).

[7]Muhammad Nejatullah Siddiqi, "Islamic Consumer Behaviour" dalam Sayyid Tahir et al.(ed.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective,(Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn Bhd, 1992)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun