Mohon tunggu...
Fitri Rezeki
Fitri Rezeki Mohon Tunggu... Akuntan - NIM : 55522120039 - Magister Akuntansi - Universitas MercuBuana, Dosen Pengampu : Prof Apollo
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hobi Traveling dan menyukai bidang akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manajemen Pajak: Fenomena Manajemen Tata Kelola pada Pemotongan PPH, Paradoks antara Kepatuhan dan Penghindaran Pajak

12 Oktober 2023   00:15 Diperbarui: 12 Oktober 2023   00:18 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MANAJEMEN TATA KELOLA PADA PEMOTONGAN PPH

Penerimaan dari setiap negara di dunia umumnya bisa dikategorikan menjadi penerimaan dari sumber pajak dan penerimaan dari sumber selain pajak. Bagi negara yang memiliki sumber daya alam melimpah, penerimaan negara yang utama bisa berasal dari pengelolaan sumber daya alam tersebut dan penerimaan dari sumber pajak hanya merupakan penerimaan negara yang bukan prioritas. Namun secara umum, hampir semua negara di dunia pendapatan utamanya berasal dari penerimaan di sektor pajak. Karena itu peranan dari penerimaan pajak untuk pembiayaan pengeluaran pemerintah dari tahun ke tahun terus meningkat 

Penerimaan pajak di dapat dari Wajib Pajak yang membayarkan pajak terutangnya lalu mengalir ke kas negara dengan memakai metode atau cara yang disebut sistem perpajakan. Sistem perpajakan merupakan metode atau cara mengelola utang pajak yang terutang dari Wajib Pajak sehingga dapat mengalir ke kas negara (Rahman, 2010:22) 

Sebelumnya, sistem perpajakan yang digunakan negara adalah sistem official assessment yaitu jumlah penghitungan pajak terutang Wajib Pajak telah ditentukan dari pihak Pegawai Pajak (Fiskus). Saat ini sistem perpajakan telah berganti menjadi sistem self assessment yang berarti sistem pemugutan pajak memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetorkan, dan melaporkan besarnya pajak terutangnya sendiri (Rahman, 2010:23). Penggunaan sistem perpajakan secara self assessment memiliki tujuan agar Wajib Pajak merasa nyaman dalam hitung, setor, lapor Surat Pemberitahuan (SPT) secara mandiri dan transparan. 

fitri's picture
fitri's picture

Transparansi  Merupakan faktor utama dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik. Transparansi  mensyaratkan adanya pengungkapan yang akurat. Untuk itu Direktorat jenderal Pajak membuat sistem perpajakan secara self Assessment agar Wajib pajak bisa mengungkapkan secara transparansi dalam menghitung, melapor dan menyetorkan kewajiban perpajakannya.

Sistem perpajakan secara self assessment masih belum dapat merubah Wajib Pajak dalam melakukan kegiatan perpajakannya dengan baik dan benar. Pajak bagi perusahaan adalah beban yang akan dapat mempengaruhi kurangnya laba bersih, pajak yang dikenakan dirasa masih terlalu besar untuk dibayar sehingga Wajib Pajak berupaya semaksimal mungkin agar dapatmembayar pajak sekecil-kecilnya dengan  melakukan perencanaan pajak. Secara umum perencanaan pajak adalah langkah awal di dalam manajemen pajak. Tahap ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dan meneliti peraturan perpajakan supaya bisa memilih jenis tindakan penghematan pajak seperti apa yang akan dilakukan.

Apa kiat manajemen pajak pada pemotongan pemungutan PPh?

Salah satu kiat manajemen pajak pada pemotongan pemungutan PPh adalah mengeliminasi bias dalam interpretasi suatu transaksi apakah merupakan Objek PPh Pemotongan Pemungutan atau bukan. 

Misal : Perusahan migas melakukan pembayaran jasa konstruksi pipanisasi bawah laut kepada perusahaan vendornya. Suatu pihak dapat menyimpulkan bahwa pembayaran tersebut adalah Objek PPh Pemotongan Pemungutan berupa jasa konstruksi karena hasil pekerjaan terseut merupakan bangunan. Pihak lain mungkin melihat pembayaran tersebut merupakan Objek PPh Pemotongan Pemungutan berupa jasa penunjang di bidang penambangan minyak dan gas bumi.

Bagaimana cara pihak penerima penghasilan dan pihak pembayar dalam menghindari pengenaan PPh pemotongan pemungutan?

Untuk menghindari pengenaan PPh Pemotongan Pemungutan, seringkali pihak penerima pembayaran menggunakan trik legal pembayaran bersih (net of tax) dalam withholding tax clause yang ada dalam kontrak. Dengan pencantuman klausul net of tax, pada hakikatnya pihak penerima penghasilan berusaha mengalihkan beban pajak pemotongan yang seharusnya secara ekonomis menjadi tanggungannya kepada pihak pembayar. Pihak pembayar akan memilih untuk menghitung PPh Pemotongan Pemungutan menggunakan metode Grossed-Up.

Bagaimana perencanaan pajak yang dilakukan pada pph pemotongan pemungutan?

Perencanaan pajak pada PPh pemotongan dan pemungutan yaitu:

1. Perencanaan Pajak pada posisi sebagai pemotong
      a. Kewajiban untuk memotong PPh atas Objek PPh Potong dan Pungut, dilakukan dengan menggunakan sarana bukti potong;
      b. Kewajiban menyetorkan PPh yang telah dipotong ke kas negara dengan menggunakan sarana Surat Setoran Pajak (SSP);
      c. Kewajiban melaporkan PPh yang telah dipotong dan disetor tersebut ke KPP tempat perusahaan terdaftar dengan menggunakan sarana           SPT Masa.
2. Perencanaan Pajak pada posisi sebagai pihak yang dipotong
    Sebagai pihak yang dipotong, perusahaan memiliki hak pengkreditan atas PPh yang telah dipotong oleh pihak ketiga terhadap PPh Badan.       Hak pengkreditan tersebut tidak bersifat otomatis karena untuk dapat mengkreditkan perusahaan harus memenuhi syarat-syarat tertentu,        antara lain :
     a. Harus didukung oleh bukti potong yang asli atau legalisir sesuai asli;
     b. Jenis pajak yang tercantum dalam Bukti Pemotongan dan SSP harus benar atau didukung oleh Bukti Pemindahbukuan yang diterbitkan             KPP jika terjadi kesalahan jenis PPh yang dipotong. 

PARADOKS ANTARA KEPATUHAN PAJAK DAN PENGHINDARAN PAJAK

Fitri's Picture
Fitri's Picture

Kepatuhan Pajak  adalah kegiatan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku.

Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya adanya program atau kebijakan pemerintah, kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak, pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan, dan pelayanan pajak. Program pemerintah dalam upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak antara lain kebijakan sunset policy, tax amnesty, dan sanksi perpajakan.

James and Nobes (1997) dalam buku Simanjuntak dan Mukhlis (2012:85) menjelaskan definisi kepatuhan pajak bukan hanya bersedianya Wajib Pajak melakukan kewajiban perpajakan karena ada aturan perpajakan yang mengaturnya, tetapi juga termasuk semangat untuk melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai aturan pajak yang dimaksud. Wajib Pajak diharapkan dapat melakukan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku seperti halnya dalam kegiatan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan yang diisi dengan jujur, lengkap, dan benar, serta dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) sebelum batas waktu berakhir ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di sekitar tempat tinggal ataudimana Wajib Pajak berdomisili.

Perlu adanya sanksi perpajakan sebagai alat pencegahan agar angka penghindaran pajak yang dilakukan Wajib Pajak dapat ditekan sehingga penerimaan negara dapat meningkat. 

Mardiasmo (2009:57) di dalam bukunya menjelaskan sanksi pajak merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan undang - undang perpajakan akan dapat dipatuhi atau dengan kata lain sanksi pajak adalah alat pencegahan agar Wajib Pajak tidak akan melanggar peraturan tersebut. Sanksi yang diberikan pada Wajib Pajak yang lalai ataupun dengan sengaja melakukan tindak kecurangan, maka Wajib Pajak akan berpikir dua kali untuk menghindari pajak sehingga Wajib Pajak akan lebih memilih patuh daripada harus menerima sanksi yang diberikan oleh fiskus. Pada intinya, pemberian sanksi yang berat dan adil kepada Wajib Pajak dalam berusaha untuk mencari ruang kosong atau bahkan melanggar undang - undang diharapkan bisa menjadi untukk lebih patuh.

Menurut Hasil Penelitian Arif Farida (2017) terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi kepatuhan pajak yakni lingkungan, tarif pajak, dan manfaat

Pertama lingkungan, disampaikan bahwa lingkungan yang cenderung mematuhi aturan perpajakan atau cenderung memenuhi kewajiban perpajakannya maka wajib pajak lainnya akan ikut patuh pajak. Namun sebaliknya, apabila lingkungan wajib pajak cenderung melakukan penghindaran pajak maka wajib pajak lainnya akan ikut melakukan penghindaran pajak.

Yang kedua adalah tarif pajak, tarif pajak yang tinggi dapat menyebabkan wajib pajak tidak patuh. 

Terakhir adalah manfaat, wajib pajak merasa pajak yang dibayarkan tidak memberikan manfaat secara langsung atau manfaat yang mereka rasakan tidak sebanding dengan uang yang telah mereka bayarkan.  

Faktor apa saja yang mempengaruhi rendahnya tingkat kepatuhan di Negara berkembang?

Menurut Oladipupo dan Obazee (2016), faktor-faktor yang memengaruhi rendahnya tingkat kepatuhan pajak di negara-negara berkembang antara lain sikap, hukuman/sanksi, pendapatan, pengetahuan, jenis kelamin dan usia wajib pajak, korupsi, tingkat pajak marjinal yang tinggi, kurangnya ketersediaan sistem informasi dan akuntansi, sektor informal yang besar, sistem peraturan yang lemah, ambiguitas dalam undang-undang perpajakan, adanya budaya yang tidak patuh, dan ketidakefektifan administrasi perpajakan.

Mereka menyatakan bahwa di banyak negara berkembang, administrasi perpajakan biasanya lemah dan ditandai dengan penggelapan, korupsi, dan paksaan. Dalam banyak kasus, tingkat kepatuhan pajak secara keseluruhan rendah.

Masalah mengenai kepatuhan pajak ada sejak adanya pajak itu sendiri. Tax evasion dan tax avoidance merupakan dua bentuk sikap wajib pajak yang tidak patuh. Tax avoidance merupakan bentuk penghindaran pajak dengan cara yang tidak menyalahi aturan perpajakan, contohnya tax plan. Sedangkan yang dimaksud dengan tax evasion yakni bentuk penghindaran pajak yang menyalahi aturan atau melakukan penggelapan pajak. Contohnya manipulasi laba perusahaan yang bertujuan untuk meminimalkan beban pajak. Hemberg, Rosen, Warner, Wijesinghe, and O'Reilly (2015) menyatakan bahwa skema penghindaran pajak adalah urutan transaksi di mana setiap transaksi secara individual patuh. Namun, ketika semua transaksi digabungkan mereka tidak memiliki tujuan lain, selain untuk menghindari pajak dan dengan demikian termasuk dalam ketidakpatuhan.

Ketidakpatuhan wajib pajak dapat terjadi karena melebih-lebihkan biaya sehingga dapat memperkecil pendapatan. Selain itu, kepatuhan pajak menjadi masalah yang cukup besar dalam suatu negara. Sebab wajib pajak merasa imbal hasil atau manfaat yang dirasakan oleh wajib pajak cukup kecil atau bahkan tidak sebanding dengan apa yang mereka bayarkan sehingga memilih untuk melakukan penghindaran pajak.

Di Yaman, lebih tepatnya wajib pajak yang terdaftar di Sana’a, Helhel and Ahmed (2014) menyatakan bahwa tarif pajak yang tinggi dan sistem pajak yang tidak adil merupakan 2 hal menyebabkan wajib pajak tidak patuh.  Seperti halnya pajak progresif seperti pajak penghasilan karyawan yang ada di Indonesia, wajib pajak yang memiliki penghasilan tinggi akan dikenakan tarif tinggi sedangkan wajib pajak yang memiliki penghasilan rendah maka akan dikenakan tarif pajak rendah. Asas keadilan tetap menjadi faktor utama dalam kepatuhan wajib pajak. 

Contohnya tarif pajak final PP 46 mengenai tarif pajak dengan peredaran bruto tertentu. Wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan membuat laporan keuangan namun cukup membayar 1% dari peredaran bruto wajib pajak dalam 1 periode. 

Wajib pajak yang telah tumbuh besar atau memiliki peredaran bruto tinggi maka akan menyambut dengan senang hati peraturan tersebut, namun bagaimana dengan perusahaan yang baru berdiri atau yang mulai berkembang. Apabila biaya operasional tidak dibebankan maka bisa saja pajak yang dibayarkan terdapat sejumlah modal yang dikeluarkan

Fitri's Picture
Fitri's Picture

Penghindaran pajak adalah salah satu perencanaan pajak (tax planning), di mana perencanaan ini bertujuan untuk mengurangi pajak secara legal. Meskipenghindaran pajak (tax avoidance) merupakan usaha Wajib Pajak yang tidakmelanggar undang-undang, sebenarnya penghindaran pajak merupakan tindakan yang tidak diinginkan oleh pemerintah sehingga oleh pemerintah dibuat aturan-aturan untuk mencegahnya.

Penghindaran pajak ini ialah perlawanan aktif yang berasal dari wajib pajak. Hal ini dilakukan ketika SKP (Surat Ketetapan Pajak) belum dikeluarkan. Penghindaran pajak ini dilakukan untuk mengindari kewajiban perpajakan atau untuk mengurangi kewajiban perpajakan. Dalam perundang-undangan di Indonesia penghindaran pajak belum diatur secara gamblang.

Praktik penghindaran pajak masih dilakukan karena adanya pepatah kuno yang menyatakan “tak seorang pun suka membayar pajak”. Cara yang dilakukan Wajib Pajak dalam menghindari pajak antara lain:

a. Pinjaman ke Bank yang Nominal cukup Besar

     Wajib pajak menerima pinjaman dengan nominal cukup besar dari bank. Bunga pinjaman bank tersebut dibebankan dalam laporan keuangan fiskal wajib pajak akan tetapi pinjaman tersebut tidak dimasukkan kedalam modal sehingga penjualan dan keuntunganan tidak bertambah. Menurut Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan memasukkan bunga menjadi biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha.

b. Pemberian Natura atau kenikmatan

   Sebagai contoh tindakan penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan adalah dengan memberikan tunjangan beras (natura) kepada pegawainya dengan cara memberi penggantian bentuk uang agar dapat membiayakannya ke dalam laporan keuangan. Bagi karyawan tunjangan tersebut merupakan penghasilan yang menjadi objek pajak sedangkan bagi perusahaan tunjangan tersebut merupakan beban yang dapat dibiayakan dalam laporan keuangan fiskal.

c. Hibah

   Pratik penghindaran dalam hal hibah seperti hibahan rumah dan bangunan dari seorang kakek kepada cucunya, dimana hibahan tersebut merupakan objek pajak sesuai Pasal 4 ayat 3 huruf a no 36 tahun 2008 bahwa harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dikecualikan dari objek Pajak. akan tetapi untuk menghindari agar tidak dikenakan pph, sang kakek tersebut memberikan ke Tn. Y (anak si kakek) kemudian Tn. Y memberikan hibahan kepada sang anak (cucu sang kakek).

d. Memanfaatkan Aturan PP  Nomor 23 tahun 2008

   Pada PP nomor 23 tahun2008 menjelaskan bahwa pengusaha atau UMKM yang penghasilannya kurang dari 4,8 Miliar  dalam satu tahun masa pajak, maka dikenakan tarif pajak final sebesar 0,5%. Aturan ini sering dimanfaatkan untuk melakukan penghindaran pajak oleh sebagian wajib pajak dengan cara memecah-mecah laporan keuangan dari semua usaha wajib pajak tersebut.

Fenomema penghindaran pajak juga dapat ditemui di Amerika. Paling tidak terdapat seperempat dari jumlah perusahaan di Amerika telah melakukan penghindaran pajak yaitu dengan  membayar  pajak  kurang  dari  20  persen  padahal  rata-rata  pajak  yang  harus dibayarkan  perusahaan  mendekati  30  persen  (Dyreng et  al.,  2008).  Begitu  pula  di Indonesia,  pada  tahun  2005  terdapat  750  perusahaan  Penanaman  Modal  Asing  (PMA) yang diduga melakukan penghindaran pajak dengan cara melaporkan kerugian perusahaan selama  lima  tahun  berturut-turut  dan  tidak  membayar  pajak  kepada  negara  (Bapennas, 2005).   Tahun   2012   ada   4000   perusahaan   PMA   melaporkan   pajaknya   nihil   yang dikarenakan  adanya  kerugian  selama  tujuh  tahun  berturut-turut.  Umumnya  perusahaan tersebut  bergerak  di  bidang  manufaktur  dan  pengolahan  bahan  baku  (Direktorat  Jendral Pajak, 2013).  

Pajak   bagi   perusahaan   merupakan   beban   yang   akan   mengurangi   laba   bersih sehingga   perusahaan   selalu   menginginkan   pembayaran   pajak   seminimal   mungkin .   Adanya   beban   pajak   yang   memberatkan perusahaan  dan  pemiliknya maka  ada upaya untuk  penghindaran  pajak  (Chen,  2010). Perusahaan  memanfaatkan  regulasi  yang  tidak  jelas  dalam  rangka  penghindaran  pajak untuk  memperoleh out come pajak  yang  menguntungkan .

Penghindaran   pajak      merupakan   pengurangan   tarif   pajak   eksplisit   yang merepresentasikan  serangkaian  strategi perencanaan pajak  yang  berawal  dari  manajemen pajak (tax management), perencanaan pajak (tax planning), pajak agresif (tax aggressive), tax evasion,  dan tax  sheltering  (Hanlon  &  Heitzman,  2010).  

Penghindaran  pajak  dapat  menyebabkan  konflik kepentingan  antara  manajemen  dan kreditur karena adanya asimetri informasi dan masalah moral hazard.  Penghindaran pajak dapat   juga   memberikan   reaksi   positif   maupun   negatif   bagi   pasar.   Ketika   pasar berekspektasi  bahwa  beban  perusahaan  naik,  maka  akan  timbul  reaksi  negatif.  Jika  pasar berekspektasi  bahwa  pengungkapan  meningkat  maka  timbul  reaksi  positif  (Frischman, Shevlin, & Wilson, 2008).

Kegiatan penghindaran pajak akhir-akhir ini diperkirakan akan menjadi hal penting yang harus diperhatikan oleh fiskus. Fenomena penghindaran pajak di Indonesia pada tahun 2005 terdapat 750 perusahaan Penanam Modal Asing yang ditengarai melakukan penghindaran pajak dengan melaporkan rugi dalam waktu 5 tahun berturut-turut (Prakosa, 2014; Fadhilah, 2014).

”Fenomena penghindaran pajak dapat dilihat dari rasio pajak (tax ratio) negara Indonesia. Rasio pajak menunjukkan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pendapatan pajak atau menyerap kembali Produk Domestik Bruto dari masyarakat dalam bentuk pajak.

Badan usaha di Indonesia disinyalir juga melakukan praktek penghindaran pajak. Hasil survey pada tahun 2016 oleh penyidik IMF Ernesto Crivelly, dan dianalisa kembali menggunakan database International Center for Policy and Research (ICTD), dan International Center for Taxation and Development (ICTD) pada badan usaha di 30 negara. Peringkat 11 dari 30 negara ditempati oleh Indonesia yang mengakibatkan pendapatan negara berkurang ± U$6,48 milliar akibat adanya praktek penghindaran pajak, (tribun, 2017). 

KASUS-KASUS PENGHINDARAN PAJAK

Perusahaan apa  yang pernah diduga melakukan praktek penghindaran pajak di Indonesia?

Salah satu perusahaan yang diduga melakukan praktek penghindaran pajak adalah PT. Coca Cola Indonesia (CCI), di tahun 2014, perusahaan diduga melakukan perencanaan pajak, sehingga beban pajak yang dibayarkan berkurang sebesar Rp 49,24 miliar. Direktorat Jenderal Pajak melakukan analisis yang hasilnya adalah bahwa perusahaan telah melakukan manajemen pajak, sehingga beban pajak yang seharusnya disetorkan ke negara menjadi berkurang. PT CCI melakukan manajemen pajak dengan meminimalkan nilai penghasilan kena pajak, melalui penambahan beban pada biaya iklan di tahun 2002-2006 sebesar Rp 566,84 milyar. Perhitungan Direktorat Jenderal Pajak, total penghasilan kena pajak perusahaan sebesar Rp 603,48 miliar, namun perhitungan sebesar 492,59 miliar. Sehingga terdapat selisih Rp 49,24 miliar, yang merupakan kekurangan pajak penghasilan (PPh) PT CCI. (Kompas. Com. 2014).

Perusahaan apa  yang pernah diduga melakukan praktek penghindaran pajak di Luar Indonesia?

Praktek penghindaran pajak ditingkat internasional juga dilakukan perusahaan raksasa IKEA dari Swedia. Perusahaan perabotan rumah tangga terbesar didunia tersebut diduga melakukan penghindaran pajak mencapai € 1.000.000.000 (Rp 14.900 triliun), rentang waktu 2009 hingga 2014. Praktek penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan IKEA adalah dengan cara mentransfer kas dari seluruh cabangnya di Benua Eropa ke anak perusahaannya di Belanda, langkah ini membebaskan perusahaan IKEA membayar pajak di Luxembourg. Pada tahun 2014, praktek penghindaran pajak PT IKEA dilakukan di Jerman dengan nilai sebesar € 35.000.000 (Rp 523 miliar) di Perancis € 24.000.000 (Rp 359 miliar), dan di Inggris sebesar € 11.600.000 (Rp 173 miliar). Sementara itu, negara-negara Eropa lainnya, seperti Swedia, Spanyol, dan Belgia, kehilangan pendapatan dari pajak sebesar antara € 7.500.000 (Rp 112 miliar) hingga € 10.000.000 (Rp 149 miliar). (kompas.com. 2016). 

Kasus fenomenal dan monumental adalah praktek penghindaran pajak yang tersusun rapi, terorganisir dan mendunia dilakukan oleh lembaga perbankan HSBC Swiss. Lembaga keuangan di negara Swiss sangat melindungi dan merahasiakan data nasabahnya. Lembaga keuangan tersebut diduga membantu para nasabahnya untuk tidak membayar pajak, dengan menutupi sejumlah asset yang nilainya mencapai jutaan dolar, disamping itu juga menyerahkan kas tunai kepada nasabah dan tidak bisa dilacak oleh lembaga otoritas manapun, juga memberikan cara kepada nasabah agar dapat terhindar dari pajak dinegara para nasabahnya.

Terbongkarnya kasus tersebut setelah beberapa rekening diketahui oleh masyarakat luas. International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), yang merupakan konsorsium jurnalis se-dunia melakukan investigasi menemukan bahwa HSBC Swiss menyimpan lebih dari US$ 100.000.000.000 rekening dari 106.000 nasabah dari 203 negara. Temuan tersebut juga menunjukan bahwa bukan hanya perorangan maupun korporasi saja yang melakukan praktek penghindaran pajak, namun juga lembaga pemerintahan terutama disektor minyak dengan nilai sebesar US$ 12.600.000.000. (icij.com, 2015).

      " Menurut Budiman dan Setiyono (2012), penghindaran pajak atau tax avoidance dapat dihitung menggunakan formula ETR (Effective Tax Rate) perusahaan, yaitu kas yang dikeluarkan untuk biaya pajak dibagi dengan laba sebelum pajak. Semakin besar ETR ini mengindikasikan semakin rendah tingkat penghindaran pajak perusahaan".

Prinsip utama penghindaran pajak dibedakan dalam tiga prinsip menurut Stiglitz dalam Simanjuntak dan Mukhlis (2012:11), adalah:

1. Menunda pembayaran pajak. 

2. Memilih tarif pajak yang lebih rendah 

3. Merekayasa penghasilan menjadi berbagai jenis penghasilan yang memiliki tarif berbeda 

Paradoks antara kepatuhan pajak dan penghindaran pajak yaitu Negara menginginkan penerimaan pajak yang besar sehingga dapat digunakan bagi pembangunan, namun negara terkendala masyarakat yang masih ada yang enggan membayar pajak sehingga dapat muncul perilaku penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion) dari Masyarakat.

Kewajiban perpajakan tetap harus dilakukan berdasar undang - undang dan aturan yang berlaku. Melakukan penghindaran pajak masih dapat diperbolehkan jika tetap dalam koridor ketentuan perpajakan.

Sanksi yang diberikan pada Wajib Pajak yang lalai ataupun dengan sengaja melakukan tindak kecurangan, maka Wajib Pajak akan berpikir dua kali untuk menghindari pajak sehingga Wajib Pajak akan lebih memilih patuh daripada harus menerima sanksi yang diberikan oleh fiskus. Pada intinya, pemberian sanksi yang berat dan adil kepada Wajib Pajak dalam berusaha untuk mencari ruang kosong atau bahkan melanggar undang - undang diharapkan bisa menjadi untk lebih patuh.  

Fitri;s Picture
Fitri;s Picture

Referensi:

Jurnal Perpajakan (JEJAK)| Vol. 9 No. 1 2016| perpajakan.studentjournal.ub.ac.id

Menakar Kadar Kepatuhan Wajib Pajak | Direktorat Jenderal Pajak

Rahayu, N. 2017. Pengaruh Pengatahuan Perpajakan, Ketegasan Sanksi Pajak, dan Tax Amnesty Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Akuntansi Dewantara, Vol. 1. No. 1. Pp. 15-30

Praktik Penghindaran Pajak di Indonesia | Direktorat Jenderal Pajak

Waluyo. 2017. Perpajakan Indonesia Edisi 12 Buku 1. Jakarta: Penerbit Salemba Empat

LISTYOWATI, FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN WAJIB PAJAK ..Jurnal Riset Akuntansi dan Bisnis Airlangga Vol. 3. No. 1 (2018) 372-395 ISSN 2548-1401 (Print) ISSN 2548-4346 (Online)

Jurnal Akuntansi/Volume XX, No. 03, September 2016: 375-388

Jurnal Penelitian Ekonomi dan Bisnis, 5 (1), 2020, Hal: 103 - 121

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun