#KitauntukIndonesia
Jauh sebelum hari ini, isu tua-muda di negara kita sangat menarik perhatian. Golongan muda terkesan terburu-buru karena semangatnya, dan golongan tua terkesan lamban karena kehati-hatian dan kebijaksanaannya. Isu ini bahkan yang melatarbelakangi hari kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.Â
Menyikapi kekalahan Jepang yang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus di tahun yang sama, golongan muda dan golongan tua memiliki perbedaan pendapat.Â
Golongan muda mendesak Soekarno-Hatta untuk segera mengumumkan kemerdekaan, sementara golongan tua berpendapat bahwa proklamasi harus diputuskan melalui sidang PPKI (Kurniawan, 2022).Â
Keduanya memiliki tujuan yang sama, tetapi memiliki pemikiran dan strategi berbeda. Hal yang semakin menarik adalah selalu ada jalan tengah di antara dua pilihan, dan jadilah proklamasi kemerdekaan dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah adanya peristiwa Rengasdengklok.
Puluhan tahun telah berlalu, kita memperingati HUT RI hari ini dengan berbagai cara yang kita bisa. Bisa lomba balap karung, bakiak, kelereng, sampai panjat pinang, apa saja bisa! Tak terkecuali di tempat penulis.Â
Kepanitiaan Tujuh Belasan yang terdiri dari bapak-bapak dan anak muda nge-blend untuk menyeleksi usulan perlombaan. Tentunya hal ini membuka komunikasi yang jarang-jarang.Â
Biasanya, bapak-bapak berkumpul dengan bapak-bapak juga, dan anak muda berkumpul dengan anak muda juga. Momen Agustus-an ini cocok untuk keduanya berkumpul. Asyik, ya.
Komunikasi yang sudah terbentuk misalnya, mereka bergabung menjadi tim voli putra. Tetangga saya--sebut saja pak Budi--biasanya sangat sibuk di DKM menjadi imam dan panitia PHBI (Peringatan Hari Besar Islam), ketika bertanding, semua warga menyambutnya dengan tepuk tangan riuh untuk mendukung Sang Imam yang umurnya sudah lebih di atas 50 tahun.Â
Sementara itu, tetangga saya yang lain--sebut saja Aldo--yang berumur pertengahan 20 tahun, biasanya sangat sibuk berprofesi sebagai saxophonist wedding, terjun juga satu tim dengan pak Budi.Â
Aldo selaku anak muda, dan pak Budi selaku sesepuh beserta pemain voli lainnya, berhasil memenangkan pertandingan babak awal, meskipun kalah juga di semifinal. Menang-kalah sudah biasa, dan menjadi juara adalah nomor sekian, yang utama adalah kekompakan.Â
Hal ini terbukti saat pertandingan berlangsung--meskipun permainan cenderung berjalan lambat dan alot--tapi, pertandingan memancarkan kehangatan yang bisa dirasakan oleh banyak penonton yang menyaksikan pada saat itu, termasuk penulis. Seru!
Tidak hanya menjadi pemain voli, perkara menjadi wasit dan komentator, banyak anak muda yang diberi kepercayaan untuk itu, tapi berbeda kalau masalah konsumsi. Ha-ha.Â
Golongan tua yang mengatur. Sebutlah bu Sepuh yang sehari-hari berjualan gorengan, diberi kepercayaan oleh RT sebagai penanggung jawab perut-perut keroncongan para penonton agar semakin semangat untuk memberikan support kepada para pemain voli tua-muda itu. Konsumsi yang disediakan bu Sepuh berupa bala-bala alias bakwan, dan mi leor alias mi kuning. Gambaran makanannya adalah sebagai berikut.
Keterlibatan tua-muda pada sebuah kegiatan memang memiliki cerita tersendiri. Setiap orang memang cenderung kepada orang-orang yang serupa dengan dirinya, tapi setiap orang juga membutuhkan orang-orang yang berbeda dengan dirinya untuk saling melengkapi.Â
Dengan adanya keterlibatan kedua golongan berbeda tersebut, penulis harap dapat terus berkolaborasi agar tercipta kemerdekaan tersendiri di zaman ini sebagaimana peristiwa bersejarah yang bangsa kita miliki pada seluk-beluk pembacaan proklamasi yang akhirnya jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.
Selamat Hari Raya Ulang Tahun Republik Indonesia! Maju terus bangsaku. Tetap menjadi bangsa yang saling melengkapi dengan segala perbedaan di dalamnya yang bersatu pada Bhinneka Tunggal Ika.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H