Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sang Warna Terakhir [Tiga-Kuning]

21 November 2021   09:43 Diperbarui: 21 November 2021   14:06 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Celah di Antara Bukit Sumber: Pinterest

"Bisa kita berjalan lebih pelan?" Aku memohon pada lelaki itu. Telapak kakiku memanas, rasanya hampir melepuh. Tipisnya sandal yang kupakai tak mampu menghalangi hawa panas dari butiran-butiran pasir berwarna kuning yang sedikit kasar, mirip dengan kerikil halus. Bukit-bukit yang memagari di sisi kiri dan kanan menghalangi angin yang berembus. Letih dan dahaga terasa sangat menyiksa.

Kalm menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Sisik jingga di dahinya bersinar redup. "Maaf, tetapi kita harus bergegas. Kita sekarang berada di Celah Kematian dan aku tak ingin kita berdua berakhir di sini."

"Celah Kematian?"

Kalm mengangguk cepat. "Kau merasakan hawa panas dari pasir yang kau pijak? Bukan bermaksud menakuti-nakutimu, tetapi banyak yang tak mampu bertahan saat melewati celah ini."

Tubuhku gemetar mendengar perkataan lelaki itu. "Berapa lama kita akan keluar dari sini?" Benakku dipenuhi keraguan. Mampukah kami melewati celah ini dengan selamat?

"Tak dapat dipastikan, semuanya tergantung kecepatan kita. Kau harus menahan rasa panas di telapak kakimu." Kalm memegang kedua pundakku dan menatap mataku. "Bertahanlah, kita akan segera sampai di negeriku."

Aku menatap sepasang sepatu berbahan kulit yang membungkus kaki Kalm. Saat ujung celana lelaki itu tersibak, kulihat sepatu itu melindungi kakinya hingga sebatas betis. Tapak sepatu itu cukup tebal. Aku yakin, lelaki itu tidak merasakan hawa panas seperti yang kurasakan.

Kalm mengikuti arah pandanganku dan tersenyum. "Buka sandalmu sekarang."

"Untuk apa?"

"Kita harus bertukar alas kaki." Lelaki itu menunduk lalu membuka sepatunya dengan sigap. "Cepatlah," desak Kalm.

Dengan tergesa-gesa aku memakai sepatu milik Kalm, khawatir telapak kaki lelaki itu akan melepuh bila memijak pasir kuning. "Ayo, pakai sandalku!"

"Bagaimana?" Kalm memamerkan sandal yang ia pakai.

"Terima kasih, Kalm," ujarku terharu.

Kalm tersenyum masam dan mengeluh, "Sandal ini kekecilan dan terlalu tipis." Lelaki itu lalu berjinjit agar tumitnya tidak menyentuh pasir. "Kita benar-benar harus bergegas. Ayo!"

Sambil melangkah secepat mungkin di belakang Kalm. Sepatu lelaki itu terasa berat, tetapi itu lebih baik daripada membiarkan panasnya pasir membakar telapak kakiku. Kuabaikan rasa dahaga yang menyiksa kerongkongan sambil berusaha mensejajarkan langkah. Aku yakin, Kalm pasti lebih tersiksa dariku.

"Berapa lama lagi?" tanyaku. Peluh membasahi sekujur tubuhku, tetapi ujung celah belum juga terlihat.

"Sabarlah, sebentar lagi kita akan keluar dari sini," hibur Kalm.

Terik di atas kepalaku terasa menyengat. Aku merasa seperti daun-daun kering yang berguguran di atas tanah. Maut sedang mengintai dan aku merindukan duniaku yang jauh dari bayang-bayang maut. Paling tidak, rasa asing dan kecemasan bukanlah isyarat kematian. Meskipun sudah terbiasa hidup dalam cengkeraman ketakutan, ternyata aku tak cukup tegar untuk berhadapan langsung dengan kematian.

"Jangan buang tenagamu dengan berpikir. Fokus saja dengan langkahmu." Kalm mengingatkan.

Aku merasakan tonjolan bebatuan di bawah tapak sepatuku. Pasir kuning sudah tak terlihat. Kini jalan yang kulalui dipenuhi bebatuan kuning seukuran kepalan tangan yang juga mengeluarkan hawa panas. Untung saja, aku memakai sepatu yang melindungi kakiku. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Kalm, kakimu tak terluka?"

Kalm menoleh padaku. Sisik jingga di dahinya berpendar terang sesaat, lalu padam. "Aku baik-baik saja," jawab Kalm pelan.

Peluh mengucur deras dari dahi lelaki itu. Lelaki itu tampak meringis. Saat aku melihat ke bawah, sepasang kaki lelaki itu tampak bergetar. Kalm pasti sedang kesakitan.

"Jangan berbohong padaku. Ayo, kita bertukar lagi," desakku.

"Tidak!" Suara Kalm terdengar marah. "Itu tidak perlu. Sudah tugasku untuk membawamu ke negeriku dengan selamat. Jangan buang waktu."

"Tapi kau terluka!" sergahku. "Aku tak bisa berpura-pura seolah-olah tak terjadi apa-apa."

"Itu bukan masalah besar, kita akan segera keluar dari sini."

"Kalm!"

Lelaki itu tidak menghiraukanku dan terus berjalan dengan cepat. Aku bergegas mengejarnya dan merasa kembali ke masa lalu. Punggung yang menjauh, kepiluan yang menusuk, dan kepedihan di bola mata ibu.

"Jangan pergi... kumohon... dia masih sangat kecil." Ibu merengek, meminta belas kasihan dari lelaki yang baru saja menghadirkan lebam di sudut mata dan lengan kirinya. Ibu terlihat seperti seonggok boneka cantik yang terluka di lantai dapur, salah tempat dan menimbulkan rasa iba.

"Dia anak setan! Aku harus segera pergi dari sini. Kau juga, pergilah! Selamatkan dirimu!" Sepasang mata lelaki itu nyalang ke arah pintu yang terpentang.

"Tidak... jangan... dia anakku. Buah hatiku. Jangan berkata begitu," isak ibu. Dinding putih yang lekat di pipinya mulai kuyup. 

"Dia bukan darah dagingku! Sudah pasti bukan!" Lelaki itu menjambak-jambak rambutnya. Wajahnya menyiratkan rasa takut dan marah. "Di mana anak sialan itu?" Kau menyembunyikannya?"

Ibu hanya menggigit ujung lengan bajunya untuk meredakan tangis. Lelaki itu akan semakin berang bila mendengar suara tangisannya terlalu keras. Sementara itu, aku mengintip ketakutan dari celah-celah lemari dan berdoa agar lelaki pemarah itu tidak menemukanku. 

"Sudahlah, terserah kau saja! Aku mau pergi!" Lelaki itu melemparkan sebuah amplop di atas meja. "Ini bekal untuk kehidupan kalian. Mulai sekarang, tidak ada lagi hubungan apa pun di antara kita. Ingat itu baik-baik!" lelaki itu melangkah ke pintu dan membantingnya. Suara menderum terdengar keras, lalu senyap.

Ibu melepaskan gigitan dari lengan baju lalu meraung-raung. Air matanya tumpah ruah membasahi lantai. Seolah-olah tak cukup melampiaskan rasa getir, ibu memukul-mukul dadanya sekuat tenaga. Bibirnya menyerukan namaku dan lelaki itu. Tak ada siapa pun yang datang menghiburnya. Orang-orang juga berpikiran sama dengan lelaki itu. Mereka takut berdekatan dengan anak aneh sepertiku.

Perlahan aku keluar dari persembunyian. Bahuku berguncang keras. Aku tak ingin menambah kepedihan hati ibu. Namun, aku merasakan luka menganga di hatiku. Aku duduk di hadapan ibu dan menangis tertahan. Aku ingin tegar, tetapi aku tak dapat melakukannya. 

"Cukup, Bu. Jangan sakiti dirimu..."

"Maafkan, Ibu. Maaf..." Ibu menubruk dan memelukku erat-erat. "Ibu tak mampu meyakinkan ayahmu, Kalila. Maafkan, Ibu..." Tangis ibu kian keras.

"Tidak, Bu. Memang aku yang salah. Aku berbeda. Aku ini aneh, Bu."

"Tidak! Kau tidak aneh. Kau istimewa, Kalila. Putri kebanggaan Ibu." Ibu mengecup kening dan rambutku berkali-kali. "Mereka tidak mengerti itu."

Ketika aku menangis, ibu membesarkan hatiku. Aku tahu, bahwa aku memang berbeda dari orang lain. Saat orang lain menyukai warna-warni pelangi, aku hanya merasa nyaman dengan warna putih di sekelilingku. Sewaktu orang-orang bersukaria, aku tiba-tiba merasa asing, sendirian, ketakutan, dan melihat hal-hal yang sulit untuk dijelaskan. Mimpi-mimpiku selalu dihantui kecemasan. Aku merasa dikejar-kejar sesuatu dan merasa tidak seharusnya berada di dunia ini. Bukankah semua itu pertanda bahwa aku memang berbeda?

"Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kau putri kebanggaan ibu. Ibu akan selalu berada di sisimu." Ibu merengkuhku dalam pelukannya, membiarkanku menumpahkan segala kesesakan.

"Lihat! Kita sudah hampir tiba di ujung!" seru Kalm gembira.

Seruan Kalm membuyarkan lamunanku. Aku bernapas lega. Celah Kematian tampak menyempit. Ia benar, kami hampir tiba di ujungnya. Hawa panas mulai reda. Aku nyaris berteriak kegirangan saat melihat deretan pohon yang berada tak jauh dari ujung celah.

***

Bersambung Minggu Depan

Klik untuk baca bab sebelumnya: SATU, DUA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun