Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sang Warna Terakhir [Tiga-Kuning]

21 November 2021   09:43 Diperbarui: 21 November 2021   14:06 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Celah di Antara Bukit Sumber: Pinterest

"Dia bukan darah dagingku! Sudah pasti bukan!" Lelaki itu menjambak-jambak rambutnya. Wajahnya menyiratkan rasa takut dan marah. "Di mana anak sialan itu?" Kau menyembunyikannya?"

Ibu hanya menggigit ujung lengan bajunya untuk meredakan tangis. Lelaki itu akan semakin berang bila mendengar suara tangisannya terlalu keras. Sementara itu, aku mengintip ketakutan dari celah-celah lemari dan berdoa agar lelaki pemarah itu tidak menemukanku. 

"Sudahlah, terserah kau saja! Aku mau pergi!" Lelaki itu melemparkan sebuah amplop di atas meja. "Ini bekal untuk kehidupan kalian. Mulai sekarang, tidak ada lagi hubungan apa pun di antara kita. Ingat itu baik-baik!" lelaki itu melangkah ke pintu dan membantingnya. Suara menderum terdengar keras, lalu senyap.

Ibu melepaskan gigitan dari lengan baju lalu meraung-raung. Air matanya tumpah ruah membasahi lantai. Seolah-olah tak cukup melampiaskan rasa getir, ibu memukul-mukul dadanya sekuat tenaga. Bibirnya menyerukan namaku dan lelaki itu. Tak ada siapa pun yang datang menghiburnya. Orang-orang juga berpikiran sama dengan lelaki itu. Mereka takut berdekatan dengan anak aneh sepertiku.

Perlahan aku keluar dari persembunyian. Bahuku berguncang keras. Aku tak ingin menambah kepedihan hati ibu. Namun, aku merasakan luka menganga di hatiku. Aku duduk di hadapan ibu dan menangis tertahan. Aku ingin tegar, tetapi aku tak dapat melakukannya. 

"Cukup, Bu. Jangan sakiti dirimu..."

"Maafkan, Ibu. Maaf..." Ibu menubruk dan memelukku erat-erat. "Ibu tak mampu meyakinkan ayahmu, Kalila. Maafkan, Ibu..." Tangis ibu kian keras.

"Tidak, Bu. Memang aku yang salah. Aku berbeda. Aku ini aneh, Bu."

"Tidak! Kau tidak aneh. Kau istimewa, Kalila. Putri kebanggaan Ibu." Ibu mengecup kening dan rambutku berkali-kali. "Mereka tidak mengerti itu."

Ketika aku menangis, ibu membesarkan hatiku. Aku tahu, bahwa aku memang berbeda dari orang lain. Saat orang lain menyukai warna-warni pelangi, aku hanya merasa nyaman dengan warna putih di sekelilingku. Sewaktu orang-orang bersukaria, aku tiba-tiba merasa asing, sendirian, ketakutan, dan melihat hal-hal yang sulit untuk dijelaskan. Mimpi-mimpiku selalu dihantui kecemasan. Aku merasa dikejar-kejar sesuatu dan merasa tidak seharusnya berada di dunia ini. Bukankah semua itu pertanda bahwa aku memang berbeda?

"Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kau putri kebanggaan ibu. Ibu akan selalu berada di sisimu." Ibu merengkuhku dalam pelukannya, membiarkanku menumpahkan segala kesesakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun