Kalm menoleh padaku. Sisik jingga di dahinya berpendar terang sesaat, lalu padam. "Aku baik-baik saja," jawab Kalm pelan.
Peluh mengucur deras dari dahi lelaki itu. Lelaki itu tampak meringis. Saat aku melihat ke bawah, sepasang kaki lelaki itu tampak bergetar. Kalm pasti sedang kesakitan.
"Jangan berbohong padaku. Ayo, kita bertukar lagi," desakku.
"Tidak!" Suara Kalm terdengar marah. "Itu tidak perlu. Sudah tugasku untuk membawamu ke negeriku dengan selamat. Jangan buang waktu."
"Tapi kau terluka!" sergahku. "Aku tak bisa berpura-pura seolah-olah tak terjadi apa-apa."
"Itu bukan masalah besar, kita akan segera keluar dari sini."
"Kalm!"
Lelaki itu tidak menghiraukanku dan terus berjalan dengan cepat. Aku bergegas mengejarnya dan merasa kembali ke masa lalu. Punggung yang menjauh, kepiluan yang menusuk, dan kepedihan di bola mata ibu.
"Jangan pergi... kumohon... dia masih sangat kecil." Ibu merengek, meminta belas kasihan dari lelaki yang baru saja menghadirkan lebam di sudut mata dan lengan kirinya. Ibu terlihat seperti seonggok boneka cantik yang terluka di lantai dapur, salah tempat dan menimbulkan rasa iba.
"Dia anak setan! Aku harus segera pergi dari sini. Kau juga, pergilah! Selamatkan dirimu!" Sepasang mata lelaki itu nyalang ke arah pintu yang terpentang.
"Tidak... jangan... dia anakku. Buah hatiku. Jangan berkata begitu," isak ibu. Dinding putih yang lekat di pipinya mulai kuyup.Â