Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sang Warna Terakhir [Dua-Jingga]

13 November 2021   08:48 Diperbarui: 13 November 2021   08:56 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita ada di mana?" tanyaku cemas. Saat aku menoleh ke belakang, pintu telah tertutup. Secepat kilat kabut merah menutupi penglihatanku. Selain wajah lelaki itu, aku tak dapat melihat apa-apa. Seisi rumahku seolah-olah lenyap. Padahal, aku yakin kami masih berada di dalam rumah.

"Tentu saja di rumahmu. Sebentar lagi kabut ini akan lenyap dan kau akan melihat lebih jelas," jelas lelaki itu. Ia menepuk pelan pundakku kemudian berkata, "Jangan cemas, dengarkan saja kata-kataku."

"Mendengarkanmu? Aku bahkan tak tahu namamu," ungkapku terus terang.

"Panggil aku Kalm dan percaya saja padaku," jawabnya tenang.

Saat Kalm menoleh padaku, aku terkejut. Sesuatu yang menyerupai sisik menempel di tengah kedua alisnya yang menyatu. Warnanya jingga terang. Padahal, sisik itu tak terlihat sebelumnya. Helaian keperakan mendominasi rambut ikalnya yang menyentuh bahu. Padahal, menurut taksiranku, lelaki itu masih berusia sekitar tiga puluhan. Namun, itu hanyalah perkiraanku. Dalam situasi saat ini, apa yang terlihat mungkin bukanlah yang sebenarnya.

"Entahlah," jawabku ragu sambil mengamati kabut merah yang berangsur-angsur sirna. Perlahan, aku mulai dapat melihat hal-hal di sekelilingku lebih jelas. Hingga tiba-tiba aku merasakan permukaan bergelombang di bawah sandal tipis yang kukenakan. Aku sedang menginjak tanah berbatu. Beberapa di antaranya bergulir jatuh. Ya, Tuhan! Aku berdiri tepat di bibir sebuah kawah yang mengepulkan uap panas!

"Hati-hati!" seru Kalm sambil menahan tubuhku yang terhuyung ke belakang. "Persiapkan dirimu. Masih banyak hal-hal baru yang sedang menantimu." Setelah menegakkan tubuhku kembali, Kalm berkata, "Selamat datang di duniaku. Kita masih berada dalam rumahmu. Tepatnya, di dimensi yang berbeda."

"Tidak mungkin, ini pasti mimpi burukku yang lain. Semua ini tidak nyata, kan?" Aku menggelengkan kepala. "Ini cuma mimpi. Aku sedang berbaring di kamarku dan...."

"Kau tidak sedang bermimpi. Ingat soal mimpi dan bayang-bayang yang selalu mengejarmu? Mereka berasal dari sini. Duniaku. Semua yang kau alami semuanya memiliki alasan," jelas Kalm. Sepasang mata lelaki itu menyiratkan kekhawatiran, "Kita harus segera menjauhi kawah ini. Kaum peziarah akan tiba. Kau pasti tidak mau bertemu mereka."

Sulit bagiku untuk mencerna setiap kata yang Kalm ucapkan. Namun, saat ini aku tak punya pilihan selain mengikutinya. Aku sendirian di dunia asing ini dan Kalm adalah satu-satunya orang di sekitarku. Setelah menggelung rambutku yang kusut, aku bertanya pada lelaki itu, "Jadi, kita akan pergi ke mana?"

Kalm memandangku dan tersenyum menenangkan. "Duniaku cukup luas, hampir seperti duniamu. Aku akan mengajakmu berkeliling. Jangan lupa, kau harus tetap waspada. Seperti yang kukatakan, aku adalah pelindungmu. Itu artinya, kau sedang berada dalam bahaya."

Aku menelan ludah, lalu menatap sepasang sandal tipis yang kukenakan. Sungguh, benar-benar alas kaki yang keliru dalam situasi seperti saat ini. Uap yang mengepul dari dalam kawah terasa memanas. Bebatuan yang kupijak bagaikan bara di bawah telapak kakiku. Ini benar-benar mimpi buruk.

"Cepatlah!" desak Kalm. "Mereka akan segera tiba!" Kalm bergegas menuruni medan terjal dan aku segera mengikutinya.

Kalm memiliki langkah-langkah yang panjang dan cepat. Sulit sekali mengikuti lelaki itu. Beberapa kali aku nyaris tersungkur. Untunglah, lengan lelaki itu dengan sigap menangkapku. Lelaki itu lalu melambatkan langkahnya dan menuntunku. Saat aku nyaris tiba di kaki bukit, Kalm menarik cepat lengan kiriku, memaksaku untuk merunduk di balik rimbun perdu.

"Kita tidak boleh terlihat," desis Kalm. Sisik di dahinya berubah gelap. Sorot matanya terlihat tegang saat menatap ke kejauhan.

Suara langkah terdengar mendekat seiring senandung di udara, seperti lantunan doa-doa dari para pemuja. Kerlip-kerlip cahaya terlihat satu per satu, lalu mulai menggerombol seperti kunang-kunang. Aku berusaha melebarkan mata dalam kegelapan. Senandung mereka terdengar semakin jelas, jernih dan mendayu-dayu, seolah-olah merayu sepasang kelopak mata kita yang perlahan-lahan mulai terasa berat.

"Kalila," tegur Kalm seraya menepuk pundakku, "jangan sampai kau tertidur."

"Mengapa?" tanyaku menahan kuap. Aku dapat melihat sosok-sosok peziarah mulai menaiki bukit. Wajah-wajah mereka bertudung hitam, senada dengan warna jubah panjang yang mencapai ujung kaki. Mereka melangkah cepat dan membawa lampion masing-masing di tangan kanan. Jumlah mereka berkisar puluhan. Kalm menarik tubuhku agar semakin merunduk di balik semak belukar.

"Jika kau tertidur, kau tak akan pernah bangun lagi," bisik Kalm.

Sontak kedua mataku membuka lebar. "Kau serius?"

Kalm mengangguk. "Begitu kau tertidur, pintu antara dimensi akan tertutup. Kau takkan bisa kembali dan terjebak selamanya di sini."

Kata-kata Kalm membuatku waspada. Aku tidak boleh lengah. "Kau yakin?" tanyaku memastikan. Barangkali lelaki itu hanya melebih-lebihkan perkara agar aku mengikuti segala kata-katanya. Saat aku memikirkan berbagai kemungkinan dalam benakku, sikuku bergeser dan tergores batu.

"Aduh!" Spontan aku membekap mulut. Beberapa peziarah terhenti. Mereka berbicara satu sama lain dan pandangan mereka tampak mencari berkeliling. Ketika aku menahan napas, aku yakin Kalm pasti tak kalah tegangnya denganku. Anehnya, meskipun tubuh kami berdekatan, aku nyaris tak dapat merasakan kehadiran lelaki itu.

Saat kaum peziarah kembali bergerak menaiki bukit, aku mengembuskan napas lega, lalu duduk di atas tanah berbatu. "Siapa mereka?" tanyaku berbisik. "Mengapa kita harus menghindar?"

"Ceritakan padaku tentang mitologi pernah kau ketahui." Kalm malah balik bertanya.

Aku ingin menginjak kaki Kalm karena kesal, tetapi urung mengingat usianya lebih tua dari umurku yang masih seperempat abad. Keanehan-keanehan yang kutemui hingga detik ini sudah cukup memusingkan kepala. Pertanyaan lelaki itu justru menambah rumit pikiranku.

"Tidak banyak. Yunani, Romawi... entahlah. Aku tidak menyukai pelajaran sejarah," jawabku asal saja. Itu memang benar. Bagiku, menghafal tahun-tahun, nama-nama, kejadian dan peristiwa adalah hal yang membosankan. Seperti beberapa momen yang kulupakan dalam hidupku. Ibu. Hanya itu kenangan yang terawat baik dalam ingatanku. Kenangan tentang sosok perempuan itu selalu terjaga utuh meskipun waktu membuatnya mulai mengabur di sana sini.

"Duniaku juga mengenal asal mula penciptaan. Sama dengan duniamu. Kalian mengenal Zeus, Ra, Jupiter dan banyak lagi. Nama-nama itu melegenda dalam duniamu. Tetapi di sini, kami menyebutnya Ender," tutur Kalm.

"Ender? Dia yang kalian percayai? Kalian tidak mengenal Tuhan?" Seketika lidahku terasa kelu. Tuhan? Sudah lama aku tak menyebut kata itu. Kadang-kadang aku merasa kehilangan Tuhan. Mungkin juga aku yang enggan mengenang-Nya. Sengaja melupakan-Nya. Karena pada suatu titik, aku merasa telah ditinggalkan.

Kalm menatapku lembut. Warna sisik di dahinya kembali seperti semula. "Tidak, Ender lebih mirip dewa bagi kaum peziarah. Ender akan menampakkan diri dalam keadaan genting. Bagi kaum peziarah, Ender adalah simbol kekuatan tak terkalahkan. Mereka patuh, takut, dan setia padanya," jelas Kalm.

"Lalu, mengapa kita tidak boleh bertemu dengan mereka?"

"Karena kau adalah Kalila. Ender dan kaum peziarah sangat membencimu."

"Benci?" Pelipisku berdenyut. Benakku dipenuhi pertanyaan. "Bagaimana mungkin mereka membenciku? Aku bahkan tak berasal dari dunia ini!" Aku berdiri dengan marah lalu mengibaskan pantat celanaku. Harusnya aku tak mengikuti Kalm! aku benar-benar gila karena membahayakan nyawaku bersama orang asing yang entah siapa!

"Tenanglah...," ucap Kalm membujukku. Lelaki lalu beranjak dan berdiri di hadapanku. "Marah cuma memboroskan tenaga. Jangan lupa, selama di sini, kau harus selalu terjaga."

"Antar aku pulang sekarang," pintaku tegas. Lelaki itu tak boleh mengaturku sesuka hatinya. Keinginanku adalah milikku, tak seorang pun yang boleh merampasnya dariku. Dahulu, ibu juga selalu menghormati keputusanku karena bagi ibu, aku adalah putri kecilnya yang merdeka.

"Kau mengerti apa yang kau katakan? Sadarlah, Kalila! Aku takkan membawamu ke sini jika persoalannya semudah itu!" seru Kalm gusar.

Aku menatap Kalm tajam dan mengeraskan tekad. "Ceritakan padaku segalanya saat ini juga. Jika tidak, aku akan meninggalkanmu meskipun nyawaku menjadi taruhannya."

"Baiklah, jika itu keinginanmu. Tapi tidak di sini. Terlalu berbahaya. Kaum peziarah lain sewaktu-waktu bisa muncul. Kita harus mencari tempat lain yang lebih aman. Kau setuju?"

Tak ada pilihan lain. "Baiklah. Semoga penjelasanmu bisa membuatku lega. Jadi, kita akan pergi ke mana?"

"Pergi ke negeriku. Kau akan lebih aman di sana. Ayo!" ajak Kalm dan mulai melangkah meninggalkan bukit.

Sambil berjalan di sisinya, kusempatkan untuk melirik wajah Kalm. Sisik di dahi lelaki itu berpendar terang. Bercahaya. Sayangnya, langkah Kalm terburu-buru, sehingga aku tak sempat bertanya padanya. Aku hanya mengikuti langkah lelaki itu sambil bersikap waspada.

***

Bersambung Minggu Depan

Klik untuk baca bab sebelumnya: SATU

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun