Kata-kata Kalm membuatku waspada. Aku tidak boleh lengah. "Kau yakin?" tanyaku memastikan. Barangkali lelaki itu hanya melebih-lebihkan perkara agar aku mengikuti segala kata-katanya. Saat aku memikirkan berbagai kemungkinan dalam benakku, sikuku bergeser dan tergores batu.
"Aduh!" Spontan aku membekap mulut. Beberapa peziarah terhenti. Mereka berbicara satu sama lain dan pandangan mereka tampak mencari berkeliling. Ketika aku menahan napas, aku yakin Kalm pasti tak kalah tegangnya denganku. Anehnya, meskipun tubuh kami berdekatan, aku nyaris tak dapat merasakan kehadiran lelaki itu.
Saat kaum peziarah kembali bergerak menaiki bukit, aku mengembuskan napas lega, lalu duduk di atas tanah berbatu. "Siapa mereka?" tanyaku berbisik. "Mengapa kita harus menghindar?"
"Ceritakan padaku tentang mitologi pernah kau ketahui." Kalm malah balik bertanya.
Aku ingin menginjak kaki Kalm karena kesal, tetapi urung mengingat usianya lebih tua dari umurku yang masih seperempat abad. Keanehan-keanehan yang kutemui hingga detik ini sudah cukup memusingkan kepala. Pertanyaan lelaki itu justru menambah rumit pikiranku.
"Tidak banyak. Yunani, Romawi... entahlah. Aku tidak menyukai pelajaran sejarah," jawabku asal saja. Itu memang benar. Bagiku, menghafal tahun-tahun, nama-nama, kejadian dan peristiwa adalah hal yang membosankan. Seperti beberapa momen yang kulupakan dalam hidupku. Ibu. Hanya itu kenangan yang terawat baik dalam ingatanku. Kenangan tentang sosok perempuan itu selalu terjaga utuh meskipun waktu membuatnya mulai mengabur di sana sini.
"Duniaku juga mengenal asal mula penciptaan. Sama dengan duniamu. Kalian mengenal Zeus, Ra, Jupiter dan banyak lagi. Nama-nama itu melegenda dalam duniamu. Tetapi di sini, kami menyebutnya Ender," tutur Kalm.
"Ender? Dia yang kalian percayai? Kalian tidak mengenal Tuhan?" Seketika lidahku terasa kelu. Tuhan? Sudah lama aku tak menyebut kata itu. Kadang-kadang aku merasa kehilangan Tuhan. Mungkin juga aku yang enggan mengenang-Nya. Sengaja melupakan-Nya. Karena pada suatu titik, aku merasa telah ditinggalkan.
Kalm menatapku lembut. Warna sisik di dahinya kembali seperti semula. "Tidak, Ender lebih mirip dewa bagi kaum peziarah. Ender akan menampakkan diri dalam keadaan genting. Bagi kaum peziarah, Ender adalah simbol kekuatan tak terkalahkan. Mereka patuh, takut, dan setia padanya," jelas Kalm.
"Lalu, mengapa kita tidak boleh bertemu dengan mereka?"
"Karena kau adalah Kalila. Ender dan kaum peziarah sangat membencimu."