Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RTC] Kita Harus Melawan Lapar

8 November 2021   15:24 Diperbarui: 8 November 2021   21:16 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kesedihan Ibu Sumber: rimma.co

Kita harus melawan lapar,” kataku pada Cileni dengan mantap. “Kau dan aku akan mengalahkan rasa lapar. Kita harus setabah batu karang.” Kutancapkan keteguhan itu dalam sanubari Cileni seperti sebuah pancang. Ia harus setegar diriku. Bila tidak, maka ia akan penuh keluh seperti ibuku.

Cilesi, demikian ibu menamakanku. Dari sekian banyak nama yang bisa dipilih untuk anak perempuan, ibu memilih nama itu. Sosok dan rupaku membuat orang-orang sering menatapku dengan rasa iba. 

Selama bersekolah, membaca dan menulis adalah hal yang sulit untuk kupelajari. Tinggal kelas hampir menjadi rutinitas yang kualami setiap kenaikan tiba. Sementara aku harus mengalami segala kemalangan itu, ibu hanya bisa mengelus dada dan berkata, “Sudah nasibku.”

Untung saja, aku sempat mencicipi bangku sekolah menengah atas. Kala itu tubuhku yang lebih bongsor dari anak-anak lain menegaskan kenyataan bahwa usiaku memang terpaut beberapa tahun dari mereka. Walaupun hal itu kerap menjadi bahan ejekan, tetapi aku sudah terbiasa menerimanya tanpa kata-kata.

Tak ada yang tahu siapa ayahku. Kerabat, tetangga, guru, hingga orangtua dari teman-teman sekolahku tidak mengenal lelaki itu. Setiap kali aku menanyakan hal itu pada ibuku, ia hanya menggeleng lesu dan lagi-lagi berkata, “Sudah nasibku.”

Hingga suatu hari, ibu mengatakan sebuah rahasia besar padaku. “Ayahmu kaya raya, tetapi ia meninggalkan kita.”

Kupandangi rupa ibu penuh keraguan, pada rambutnya yang memutih, separuh giginya yang telah tanggal, dan tonjolan di kedua pipinya, sambil membayangkan kemungkinan seorang laki-laki kaya raya pernah menyukai ibuku di masa lalu. Tubuh ibu melengkung seperti busur ketika ia menyandarkan sebelah lengannya ke bingkai jendela. Aku benar-benar yakin, ibuku sedang membual.

“Mengapa ibu bohong?” tanyaku kesal.

Bola mata ibu membesar. “Bohong? Kau pikir ibu bohong?”

Aku menentang mata ibu tanpa menjawab apa-apa. Aku menahan keinginan untuk mengatakan agar ia bersikap layaknya seorang ibu dan berbohong sama sekali tidak termasuk di dalamnya.

“Sudah nasibku.” Ibu mulai menepuk dadanya. “Anak gadisku sendiri bahkan tidak memercayaiku.”

“Tolong, jangan mulai lagi. Apa yang Ibu harapkan dariku?” Tiba-tiba aku ingin sekali meninggalkan rumah jika aku bisa melakukannya. Cahaya dari jendela kami mulai remang dan kata-kata ibu seperti sekumpulan omong kosong yang harus segera kutinggalkan. Aku bahkan tak memahami mengapa aku mampu bertahan tinggal bertahun-tahun bersama sekumpulan itu.

“Tidak ada. Kau boleh menyimpan rahasia itu atau membuangnya.” Ibu lalu memandang ke luar jendela. Keluhan mulai meluncur dari bibirnya. Ibu mulai menyesali hidupnya seperti hari-hari sebelumnya di bawah jendela kayu, beralaskan sebuah tikar.

Kutinggalkan ibuku dan berjuang masuk ke dalam kamar. Lewat jendela kamarku, aku memandangi matahari yang bergulir turun sambil memikirkan kata-katanya.

***

Sejak saat itu, Cileni mulai hadir dalam kehidupanku. Aku tidak tahu dari mana gadis itu berasal atau di mana ia tinggal. Mungkin ia sedang mengunjungi keluarganya di sekitar sini, begitulah yang kupikirkan. Ia ada ketika aku merasa sesak mendengar kata-kata ibu. 

Berbeda denganku, Cileni sungguh rapuh. Ia selalu melihatku dengan sepasang mata sayu. Awalnya, kupikir keberadaan Cileni akan membuatku sama kesalnya seperti keberadaan ibu. Namun, Cileni tidak pernah mengeluh. Karena itu pula aku bisa menerima kehadirannya.  

Keberadaan Cileni membuatku mulai terbiasa dengan adanya seseorang di sekitarku. Ia hadir saat aku merasa jenuh sendirian. Ketika kemarahanku sedang menyala, ia akan  mendengarkan dengan sabar. Tak banyak yang ia katakan, ia lebih banyak mengangguk. Hingga suatu hari, aku menemukan Cileni menangis tersedu-sedu di bawah jendela kamarku. Tingkahnya sungguh mirip dengan ibu.

“Aku tak suka kau menangis,” kecamku. Kalau mau, Cileni bisa bercerita padaku seperti yang sering kulakukan padanya karena aku benci melihat air mata.

Cileni memandangku dengan sepasang matanya yang sayu. “Aku lapar.” Ia kembali menangis.

Perasaan iba dan kesal bercampur dalam hatiku karena aku belum menelan sebutir nasi pun sejak pagi. “Aku juga lapar,” ujarku pelan.

Cileni terus menangis sambil mengelus perutnya. Ia tampak semakin layu. Rongga matanya seperti ceruk di tebing, mirip gelandangan di emper-emper toko yang pernah kulihat di televisi di warung besar milik kerabat ibu. Sudah lama aku tak pergi ke warung itu karena ibu tak kunjung melunasi utang kami di sana.

“Kau harus tabah. Rasa lapar tak berarti apa-apa. Aku sudah membuktikannya. Jangan menangis lagi,” hiburku. Aku duduk di sampingnya dan mulai bersenandung. Cileni berhenti menangis dan bersandar di pundakku. Kami bersenandung bersama. Langit di luar benar-benar cerah. Kukatakan padanya bahwa kami sedang merayakan hari yang indah.

Ketika ibu membangunkanku, Cileni sudah pergi. Mungkin ia sudah pulang. Aku menemukan empat potong ubi rebus di atas meja. Ibu tidak berkata apa-apa. Ia duduk kembali di bawah jendela dan mulai mengeluh. Aku mencomot dua potong ubi rebus dan membawanya ke kamar. Sambil memandang langit gelap dari jendela, kukunyah ubi perlahan sambil berharap perut Cileni juga terisi sepertiku.

***

Suatu hari Cileni membangunkanku. Sepasang matanya bengkak. Ia mengeluh lapar. Semalaman, ia terjaga karena perutnya terus berbunyi. Aku memarahinya dengan keras. Seharusnya, tadi malam ia datang agar aku bisa berbagi dengannya.

“Kau harus tabah, Cileni. Kita tidak akan mati karena lapar. Percayalah padaku.” Kupegang kedua pundaknya seolah-olah dengan cara itu aku bisa menularkan semangat padanya. Sebelah kakiku tak mampu kuseret keluar rumah untuk mencari makanan. Selain pasrah menanti ibu pulang, tak ada lagi yang bisa kulakukan.

“Bukankah ayahmu kaya raya?”

“Kau mendengar kata-kata ibuku? Jangan percaya padanya.”

“Bagaimana jika itu benar?”

“Itu takkan mengubah apa-apa. Dia sudah mencampakkan kami. Menurutmu, apa mungkin dia mau menolong kami?”

“Kau benar.” Cileni mulai menangis.

Setelah tangisnya reda, kuajak Cileni untuk belajar melawan rasa lapar. Kami bersenandung, bercerita, dan berkhayal tentang makanan lezat. Cileni masih menangis sesekali. Namun, aku terus memompa semangatnya. Adakalanya Cileni kuat, tetapi di lain waktu ia kalah dan kehilangan kesadaran sesaat. 

Ia menceracau bahwa ia sedang berada di langit biru cerah dan berbaring di mega-mega empuk seputih kapas. Cileni berkata bahwa mega-mega itu jauh lebih empuk dari lantai kayu di kamarku.

Kita harus melawan lapar. Kalimat itu berulang-ulang kubisikkan pada Cileni saat ia terbius rasa lapar. Kini Cileni lebih banyak tersenyum. Ia bahkan bisa tertawa dan mengatakan bahwa akhirnya ia berhasil mengalahkan rasa lapar. Aku sungguh bahagia mendengarnya. Kami mulai membuang semua ubi rebus yang disediakan ibu diam-diam.

“Cilesi... Cilesi... bangunlah.” Sayup-sayup kudengar suara ibuku memanggil. Ibu berada di dekatku, tetapi parasnya terlihat samar. Lenganku menggapai-gapai hingga ujung jemariku berhasil menyentuh rupa ibu. “Makanlah ini.” Aroma ubi rebus memenuhi penciumanku. Bibirku menyentuh ubi yang disuapkan ibu, masih hangat, membuatku hampir tergoda. Kulirik Cileni, tapi ia menggeleng. Cileni benar-benar telah berhasil melawan rasa lapar. Ia bahkan mengalahkanku.

“Ti-dak u-sah, Bu,” tolakku.

“Kau harus makan. Kalau tidak, kau bisa mati.” Kali ini keluhan ibu tidak terdengar. Ia mulai berkata-kata dengan nada panik sambil berusaha menyuapkan ubi ke dalam mulutku. Lalu, aku mendengar ibu mengucapkan kata maaf.

“Ti-dak per-lu. A-ku ti-dak la-par.”

Ibu memegang dahiku. Mulutnya terus berkata-kata. Namun, aku tak bisa mendengar apa-apa.

“Rasa lapar itu sudah kita kalahkan,” bisikku pada Cileni dengan rasa puas.           

Kami berpandangan sesaat sebelum Cileni melayang keluar dari jendela kamarku. Tak lama kemudian, aku pun mengikutinya. Sayup-sayup, terdengar suara ibu memanggil-manggil namaku. Ketika aku menoleh ke belakang, belum pernah kulihat hujan di mata ibu turun begitu derasnya. Tiba-tiba aku sangat merindukan ibu.

***

Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Rumah Pena Inspirasi Sahabat untuk memperingati Hari Pahlawan tahun 2021

Untuk mengikuti event ini, silakan klik tautan berikut ini: "Untukmu Pahlawan Kehidupan"

download-6188db4695f41367f67811c2.jpg
download-6188db4695f41367f67811c2.jpg
Ilustrasi: Logo Rumah Pena Inspirasi Sahabat Sumber: dokpri RTC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun