Perasaan iba dan kesal bercampur dalam hatiku karena aku belum menelan sebutir nasi pun sejak pagi. “Aku juga lapar,” ujarku pelan.
Cileni terus menangis sambil mengelus perutnya. Ia tampak semakin layu. Rongga matanya seperti ceruk di tebing, mirip gelandangan di emper-emper toko yang pernah kulihat di televisi di warung besar milik kerabat ibu. Sudah lama aku tak pergi ke warung itu karena ibu tak kunjung melunasi utang kami di sana.
“Kau harus tabah. Rasa lapar tak berarti apa-apa. Aku sudah membuktikannya. Jangan menangis lagi,” hiburku. Aku duduk di sampingnya dan mulai bersenandung. Cileni berhenti menangis dan bersandar di pundakku. Kami bersenandung bersama. Langit di luar benar-benar cerah. Kukatakan padanya bahwa kami sedang merayakan hari yang indah.
Ketika ibu membangunkanku, Cileni sudah pergi. Mungkin ia sudah pulang. Aku menemukan empat potong ubi rebus di atas meja. Ibu tidak berkata apa-apa. Ia duduk kembali di bawah jendela dan mulai mengeluh. Aku mencomot dua potong ubi rebus dan membawanya ke kamar. Sambil memandang langit gelap dari jendela, kukunyah ubi perlahan sambil berharap perut Cileni juga terisi sepertiku.
***
Suatu hari Cileni membangunkanku. Sepasang matanya bengkak. Ia mengeluh lapar. Semalaman, ia terjaga karena perutnya terus berbunyi. Aku memarahinya dengan keras. Seharusnya, tadi malam ia datang agar aku bisa berbagi dengannya.
“Kau harus tabah, Cileni. Kita tidak akan mati karena lapar. Percayalah padaku.” Kupegang kedua pundaknya seolah-olah dengan cara itu aku bisa menularkan semangat padanya. Sebelah kakiku tak mampu kuseret keluar rumah untuk mencari makanan. Selain pasrah menanti ibu pulang, tak ada lagi yang bisa kulakukan.
“Bukankah ayahmu kaya raya?”
“Kau mendengar kata-kata ibuku? Jangan percaya padanya.”
“Bagaimana jika itu benar?”
“Itu takkan mengubah apa-apa. Dia sudah mencampakkan kami. Menurutmu, apa mungkin dia mau menolong kami?”