Aku menentang mata ibu tanpa menjawab apa-apa. Aku menahan keinginan untuk mengatakan agar ia bersikap layaknya seorang ibu dan berbohong sama sekali tidak termasuk di dalamnya.
“Sudah nasibku.” Ibu mulai menepuk dadanya. “Anak gadisku sendiri bahkan tidak memercayaiku.”
“Tolong, jangan mulai lagi. Apa yang Ibu harapkan dariku?” Tiba-tiba aku ingin sekali meninggalkan rumah jika aku bisa melakukannya. Cahaya dari jendela kami mulai remang dan kata-kata ibu seperti sekumpulan omong kosong yang harus segera kutinggalkan. Aku bahkan tak memahami mengapa aku mampu bertahan tinggal bertahun-tahun bersama sekumpulan itu.
“Tidak ada. Kau boleh menyimpan rahasia itu atau membuangnya.” Ibu lalu memandang ke luar jendela. Keluhan mulai meluncur dari bibirnya. Ibu mulai menyesali hidupnya seperti hari-hari sebelumnya di bawah jendela kayu, beralaskan sebuah tikar.
Kutinggalkan ibuku dan berjuang masuk ke dalam kamar. Lewat jendela kamarku, aku memandangi matahari yang bergulir turun sambil memikirkan kata-katanya.
***
Sejak saat itu, Cileni mulai hadir dalam kehidupanku. Aku tidak tahu dari mana gadis itu berasal atau di mana ia tinggal. Mungkin ia sedang mengunjungi keluarganya di sekitar sini, begitulah yang kupikirkan. Ia ada ketika aku merasa sesak mendengar kata-kata ibu.
Berbeda denganku, Cileni sungguh rapuh. Ia selalu melihatku dengan sepasang mata sayu. Awalnya, kupikir keberadaan Cileni akan membuatku sama kesalnya seperti keberadaan ibu. Namun, Cileni tidak pernah mengeluh. Karena itu pula aku bisa menerima kehadirannya.
Keberadaan Cileni membuatku mulai terbiasa dengan adanya seseorang di sekitarku. Ia hadir saat aku merasa jenuh sendirian. Ketika kemarahanku sedang menyala, ia akan mendengarkan dengan sabar. Tak banyak yang ia katakan, ia lebih banyak mengangguk. Hingga suatu hari, aku menemukan Cileni menangis tersedu-sedu di bawah jendela kamarku. Tingkahnya sungguh mirip dengan ibu.
“Aku tak suka kau menangis,” kecamku. Kalau mau, Cileni bisa bercerita padaku seperti yang sering kulakukan padanya karena aku benci melihat air mata.
Cileni memandangku dengan sepasang matanya yang sayu. “Aku lapar.” Ia kembali menangis.