Sejak lama benakku dipenuhi pertanyaan tentang warna. Warna-warna bahagia, muram, dan nestapa. Segalanya membaur dalam kenangan-kenangan yang mustahil disingkirkan begitu saja. Bermula dari suatu pagi temaram di teras rumah, duniaku kemudian berubah. Apakah kau juga pernah mengalaminya?Â
-Kalila-
[SATU] MERAH
 Â
Sosok lelaki itu terlihat gelisah. Tubuhnya bergerak-gerak, walaupun sepasang kakinya seolah-olah terpaku di trotoar. Lelaki itu bersandar di tiang lampu jalan, sendirian. Sekilas, tubuh cekung itu tampak menyatu dengan tiang. Pandangannya mengarah pada ruas jalan yang sepi. Tiada siapa-siapa yang melintas. Sepagi ini kehidupan melaju dengan lamban. Orang-orang masih ingin bergulat dengan mimpi, sementara lelaki itu mungkin telah merdeka dari mimpinya.
Sepasang mataku menatap penuh rasa ingin dari jendela putih berukuran besar. Meskipun udara dingin gagal menembus hangatnya sweter abu-abu tebal yang kukenakan, separuh hatiku terasa nyeri. Kehadiran lelaki itu malah menyempurnakan kesunyian yang kurasakan. Perbedaan kami hanyalah soal tempat, aku sedang berada dalam rumah yang hangat, sementara lelaki itu entah sedari kapan berdiri di tepi jalan.
Sebuah niat berkecamuk dalam benakku. Aku ingin turun dan menemui lelaki itu. Mungkin sekadar menyapa atau kami bisa berbincang. Rumah ini terasa kosong dengan keberadaanku. Hanya aku, tiada lagi yang lainnya. Ini adalah rumah kelima yang kujadikan sebagai kediaman. Aku selalu hidup berpindah-pindah. Hampir segala jenis rumah telah kuhuni, mulai dari rumah di perkampungan, gang sempit, pedesaan, rumah susun hingga apartemen di pusat kota. Aku tak pernah tinggal lama karena selalu dihantui oleh sesuatu yang tak mampu kuutarakan.
Suara siulan terdengar melengking tajam. Aku tersentak. Lelaki itu sedang bersiul-siul sesuka hatinya. Nada-nada terdengar naik, lalu turun tiba-tiba. Siulannya mengingatkanku pada kegaduhan di pasar pagi. Tiba-tiba suatu dorongan menggerakkan keinginanku. Sepasang kakiku bergegas menuruni tangga. Setengah berlari, aku menuju ke pintu depan. Pintu terbuka dan....
"Selamat pagi, Kalila."
Kakiku surut selangkah. Lelaki itu sudah berada di depan pintu dan mengetahui namaku!
"Jangan tutup pintu ini, kita bisa bicara di dalam atau di luar rumah. Terserah kau saja." Lelaki itu seolah mampu membaca pikiranku.
"Si-si-apa kau?" tanyaku dengan ketakutan yang merayap cepat. Lelaki ini bisa saja orang sinting yang suka mengincar perempuan yang sedang sendirian. Mungkin dia sudah lama mengamatiku dan mencari kesempatan. Barangkali dia seorang psikopat yang sedang berkeliaran atau....
"Pikiranmu melantur tak tentu arah." Lelaki itu berkata dengan tenang. "Kita bicara di luar saja, agar kau merasa nyaman."
Meski bersikap siaga, aku memutuskan untuk mengikuti keinginan lelaki itu. Selain niatku sebelumnya, saat ini aku benar-benar ingin tahu siapa dia dan mengapa dia seolah begitu mengenalku. Mungkin saja lelaki itu akan menyampaikan hal-hal yang memang ingin kuketahui. Aku menggangguk kecil dan berkata, "Baiklah."
Aku melangkah tak jauh dari pintu depan yang kututup sekenanya. Berada di antara jalan dan rumah, aku merasa pagi ini agak berbeda. Tak ada suara burung yang berkicau seperti biasanya. Matahari semakin benderang, namun belum ada kendaraan atau orang yang melintas. Suasana di sekitar kami begitu hening dana keheningan itu terasa menggelisahkan. Aku mulai menggerak-gerakkan ujung sandalku. Kerikil-kerikil yang beradu menimbulkan suara seperti gigi yang gemeletuk dalam mulutku.
"Kalila, seorang putri tunggal yang hidup menyendiri," kata-kata meluncur dari bibir lelaki itu, "itu dirimu, bukan?"
"Kau membuatku semakin penasaran," kataku sambil meremas-remas kedua tanganku yang mulai lembap, "siapa kau sebenarnya dan apa tujuanmu?"
Lelaki itu menatapku, lalu mengerutkan dahinya, "Bila aku mengatakan bahwa aku adalah pelindungmu, kau akan percaya?"
"Apa?" Suaraku memecah keheningan. "Pelindung apa? Untuk apa? Semua ini semakin membingungkan. Cepat katakan sebelum aku menganggap kau orang gila!" seruku kesal bercampur cemas. Aku mulai berpikir untuk meninggalkan lelaki itu jika ia hanya ingin bermain teka-teki dan mengatakan hal-hal yang tak berguna.
Lelaki itu bersedekap dan menatap kita dengan sabar. "Jika aku mengatakan segalanya, apakah kau mau mendengarkan? Kau mau memercayaiku? Karena apa yang akan kukatakan, mungkin sulit untuk kau terima."
"Katakan saja," desakku tak sabar, "jangan buang waktu lagi."
"Baiklah, orang yang sedang berdiri di hadapanmu sekarang adalah pelindungmu. Aku datang untuk menjawab kegelisahanmu. Memberitahumu hal-hal yang ingin kau ketahui. Sekarang, jawab pertanyaanku, pernahkah kau merasakan keganjilan-keganjilan dalam hidupmu?"
Pertanyaan itu menghantam kesadaranku. Lelaki itu sangat mengenalku. Namun, apakah aku bisa memercayainya? Bagaimana jika semua yang dikatakannya hanyalah kebetulan semata? Bukan tidak mungkin, ia hanyalah seseorang yang sedang bermain-main dengan kelengahanku.
"Percayai aku atau tidak sama sekali." Lelaki itu lalu bersiul-siul gembira, seakan tak mengindahkan kebimbanganku.
"Baik, baiklah. Aku percaya." Saat ini aku tak punya pilihan lain. "Kau benar, sesuatu selalu saja menggelisahkanku. Mimpi buruk, bayang-bayang kegelapan... entahlah. Mereka tak pernah berhenti mengejarku. Karenanya, aku terus berlari. Aku terus berpindah-pindah tempat hingga letih."
Kalimat terakhir merupakan ungkapan frustrasi yang sejujurnya. Ketakutan telah menderaku bertahun-tahun lamanya. Tiada seorang pun yang mampu memahami penderitaan itu. Guna-guna, sihir, atau roh orang mati adalah rupa-rupa tuduhan yang sering dialamatkan padaku. Hanya ada satu orang di dunia ini yang memahami kegelisahanku. Orang itu adalah ibuku yang sudah berpulang lima tahun yang lalu. Sejak itu pula, aku terbiasa memendam derita sendirian.
Siulan lelaki itu terhenti. Ia menatap ke langit lalu bertanya padaku, "Dan kau merasa marah dengan semua itu?"
"Tentu saja," aku mengakui perkataan lelaki itu, "aku benar-benar tak mengerti mengapa aku harus mengalaminya." Sekuat apa pun aku mencoba, berusaha untuk mengerti malah membuatku lelah. Setelah ribuan malam berlalu dengan mimpi buruk, kuputuskan untuk membebaskan diri dari segala kecemasan. Aku berhenti peduli dan menganggap semua itu adalah kewajaran. Hanya dengan cara itu aku bisa melanjutkan kehidupan.
"Hidupmu pasti berat," gumam lelaki itu prihatin. "Kau harus mengalaminya karena kau adalah simbol warna terakhir."
Kata-kata lelaki itu terdengar aneh. Warna terakhir? Apa maksudnya? Selain warna primer, sekunder, dan tersier, aku tak mengenal warna lainnya. "Semua ini semakin membingungkan. Bisakah kau menyampaikan maksudmu dengan sederhana?"
"Ikutlah denganku. Kau akan mengerti."
"Ke mana?"
"Ke rumahmu."
Aku memandang lelaki itu sambil berharap semoga saja aku tidak sedang bercakap-cakap dengan orang gila. "Tapi kita sedang berada di depannya."
"Percaya saja, saat ini kau hanya perlu mengikuti langkahmu."
"Terserah kau saja," jawabku kehabisan akal. Kami berbalik menuju rumahku. Ketika aku membuka pintu, seisi rumah berubah menjadi merah. Saat aku menutup mulut dengan kedua tangan, lelaki itu mendorongku untuk melangkah maju.
Bersambung minggu depan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H