Siapa yang tak pernah mendengar Danau Toba? Sebagai bagian dari Wonderful Indonesia, Danau vulkanik terbesar di dunia ini telah dikenal sebagai destinasi wisata istimewa hingga ke mancanegara. Kawasan Danau yang dilingkupi oleh 7 Kabupaten ini memang kaya dengan potensi.
Tidak hanya potensi alam saja, melainkan juga sejarah dan budaya. Jadi, wajar saja jika Danau Toba dicanangkan Presiden Joko Widodo sebagai salah satu destinasi pariwisata super prioritas atau lebih dikenal dengan DSP Toba.
Sebelumnya, Danau Toba telah ditetapkan sebagai Global Geopark pada tanggal 2 Juli oleh UNESCO dalam sidang ke-209 Dewan UNESCO di Paris, Perancis. Jejak geologi yang unik dan tiga unsur yang dimilikinya membuat danau indah ini dianggap untuk menyandang predikat tersebut.
Ketiga unsur tersebut meliputi geodiversity, biodiversity, dan cultural diversity. Dengan adanya penetapan ini maka keragaman bumi, konservasi lingkungan, dan ilmu kebumian secara luas dapat dilindungi.
Kekayaan potensi ini tentu harus dipromosikan seoptimal mungkin untuk menjaring lebih banyak wisatawan. Dalam industri pariwisata, promosi yang dapat dilakukan adalah dengan menyelenggarakan kegiatan Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE).
Salah satunya berupa seminar internasional yang diisi dengan pemaparan dan diskusi oleh para pakar atau ahli. Tujuannya adalah agar keunggulan-keunggulan yang dimiliki DSP Toba diketahui publik sehingga mereka memilih DSP Toba sebagai tujuan utama untuk berwisata.
Karena itulah KEMENPAREKRAF/BAPAREKRAF menggelar "International Conference Heritage of Toba: Natural & Cultural Diversity" di TB Silalahi Center, Kabupaten Toba, Sumatera Utara dalam bentuk hybrid (online dan offline).
Dalam keynote speech-nya, Sandiaga Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) menegaskan bahwa potensi DSP Toba harus dikelola dengan memperhatikan 3T, yaitu; Tepat sasaran, Tepat waktu, dan Tepat manfaat.
Anggota Komisi X DPR RI, yaitu Sofyan Tan dan Djohar Arifin Husin, dalam kata sambutannya menyatakan sangat mendukung kegiatan yang diselenggarakan oleh KEMENPAREKRAF/BAPAREKRAF ini. Mereka berpendapat bahwa keindahan Danau Toba harus senantiasa dijaga.
Sambutan positif juga disampaikan oleh Bapak Eddy K. A. Berutu selaku Bupati Dairi dan Cory Sebayang selaku Bupati Karo. Selain itu, mereka juga berharap agar seluruh Kabupaten yang berada di kawasan ini mendapat perhatian dari pemerintah pusat melalui KEMENPAREKRAF/BAPAREKRAF.
Salah satu poin penting yang diangkat dalam konferensi internasional yang terbagi dalam dua sesi ini adalah pentingnya wisata berbasis lingkungan di DSP Toba.
Hal ini dibahas dalam sesi I yang berlangsung selama pukul 10.00-12.00 WIB dengan sub tema: "Kaldera Toba: Menyambung Peradaban Zaman." Peneliti Litbang Kompas, yaitu Arita Nugraheni bertindak sebagai moderator dalam sesi yang diisi oleh 4 orang narasumber ini.
Ahli Geologi Badan Geologi Bandung, Indyo Pratomo, menyampaikan bahwa kaldera Toba merupakan supervolcano eruption. Dalam materinya yang berjudul: "Toba Caldera and Thematics Geotourism Potentials," beliau menyampaikan bahwa ada 3 kejadian luar biasa gunung api di Indonesia yang menjadikan salah satu karakter, yaitu erupsi yang merusak.
Pertama, kaldera termuda di dunia yang terjadi 200 tahun yang lalu, yaitu kaldera Tambora. Kedua, kaldera Rinjani terbentuk 800 tahun yang lalu.
Ketiga, kaldera Toba dengan erupsi luar biasa, sehingga dikategorikan sebagai super volcano. Ledakan erupsi Toba tersebut memuntahkan material 2800 m3 sehingga sangat merusak dan berdampak global.
Sumber erupsi Toba tidak hanya berasal dari satu gunung saja, melainkan berasal dari kompleks gunung api.
Erupsi serentak tersebut mengakibatkan terjadinya pengosongan dan bermagma dan tidak sempat diinjeksi dari dalam, sehingga meruntuhkan tubuh gunung api tersebut. Proses inilah yang membentuk sebuah kaldera raksasa, yaitu kaldera Toba.
Erupsi tersebut tidak hanya terjadi satu kali, melainkan sampai tiga kali. Namun, yang terbesar adalah erupsi terakhir (termuda), yang menghasilkan kaldera Toba saat ini.
Erupsi tersebut begitu besar, sehingga menciptakan batuan yang terlihat di sekitar Toba, yang sebenarnya merupakan batuan dasar Pulau Sumatera. Hal ini sangat jarang ditemukan pada ledakan Gunung Api lainnya.
Lebih lanjut, Indyo Pratomo menerangkan proses ketika kaldera yang kosong kemudian terisi air dan membentuk Danau Toba. Sedangkan dasar danau yang terangkat oleh desakan magma, akhirnya menjadi Pulau Samosir. Hingga saat ini, Toba menjadi situs kaldera yang masih diminati para peneliti dari mancanegara.
Prof. Harini Muntasib, ahli ekowisata Institut Pertanian Bogor (IPB), hadir secara virtual dan membawakan materi berjudul: "Optimalisasi sektor pariwisata Danau Toba melalui pengembangan wisata berwawasan lingkungan."
Menurut beliau, branding perlu dilakukan lebih tajam, mengingat Indonesia mempunyai gunung api raksasa yang paling besar letusannya di dunia.
Beliau mengatakan bahwa dalam pariwisata, alam perlu "bicara" kepada pengunjungnya. Menurut beliau, film yang mengangkat Toba perlu dilengkapi dengan objek geologi dan danaunya. Jejak geologi tersebut jangan sampai hilang karena kawasan ini adalah museum alam dunia yang luar biasa.
Selain keindahan panorama, terdapat endapan seperti endapan danau (Huta Tinggi) dan endapan lahar (Debris) di kawasan ini. Ada pula endapan danau dan diatom lintasan Salaon Toba. Diatom merupakan sejenis tumbuhan yang ada di Danau Toba. Kedua keunikan tersebut masih ada sampai sekarang.
Berbagai jenis tumbuhan dapat pula diangkat menjadi tema-tema luar biasa untuk wisata berbasis lingkungan. Ada andaliman, daun sirih, jeruk purut/pangir, pohon beringin/hariara, kopi ateng jaluk, dan pohon pinus.
Selain tumbuhan, ada juga jenis-jenis ikan endemik yang dapat dipromosikan di Danau Toba, yaitu ikan (ihan) Batak.
Lalu, terdapat juga objek budaya dalam konteks untuk manusia beradaptasi dengan lingkungannya di kawasan Toba.
Unsur budaya Batak tersebut adalah marga, dalihan natolu, adat, tujuan dan pandangan hidup (Nainggolan, 2014). Perlu diangkat bagaimana proses manusia berinteraksi dengan alam yang akhirnya membentuk suatu budaya yang khas. Proses adaptasi di Kabupaten-kabupaten di kawasan Danau Toba tersebut juga menimbulkan mitos atau sejarah.
Perlu adanya peta wisata yang didukung beberapa information center sehingga pengunjung atau turis tahu di mana titik mereka berada.
Cerita tentang terciptanya Danau Toba hendaknya ditampilkan bukan hanya dalam format 3D, melainkan juga 4D. Proses terjadinya lempengan-lempengan juga perlu untuk diketahui. Intinya, bagaimana caranya agar proses terbentuknya Danau Toba dapat menjadi suatu daya tarik wisata.
Fase letusan, dampak letusan, dan proses terangkatnya Pulau Samosir pun dapat diangkat menjadi film yang luar biasa.
Harini berharap agar bupati di kawasan Danau Toba mempunyai persepsi yang sama dalam memandang Toba sebagai aset luar biasa dan tiada duanya di dunia. Bila persepsi ini sudah terbentuk maka bukan lagi sekadar memiliki, melainkan masing-masing berkarya dengan tujuan bersama, yaitu "Toba Menjadi Daerah Tujuan Wisata Kelas Dunia".
Selanjutnya, beliau menekankan bahwa yang membangun dan mengelola wisata Toba adalah warga Batak sendiri. Alasannya adalah karena ada rasa memiliki, mengenal sekali karakter, dan bagaimana harus memimpin, serta menjalankan mekanisme Toba. Jika pun ada pihak lain, maka hal tersebut utamanya merupakan pendampingan.
Karena itu, Harini menyarankan bahwa untuk pengembangan wisata Toba, perlu adanya pewilayahan di mana ada wisata massal, yang di-link-kan dengan semua kabupaten di sekitarnya. Selain itu, perlu adanya special interest dan COR wisata yang eksklusif yang utamanya adalah wisata pendidikan (education tourism) dan penelitian (research tourism).
Narasumber selanjutnya dalam sesi I ini adalah Annette Horschmann, seorang Aktivis Lingkungan. Beliau menyampaikan bahwa terdapat ancaman lingkungan Danau Toba dalam materinya berjudul: "The Sustainable Development in Every Sector".
Karena itu, ia menekankan perlunya "The New Toba" karena terdapat beberapa ancaman, yaitu peternakan ikan dan babi, pertanian, pariwisata, dan masyarakat di sekitarnya.
Agar ekosistem Danau Toba tidak semakin tercemar dari aktivitas sehari-hari, Annette menyebutkan 4 poin penting yang harus diperhatikan, yaitu ecotourism vs overtourism, green hotels, alam sebagai atraksi, dan masyarakat lokal terlibat.
Ia berharap, pemerintah daerah dapat mengawasi limbah dari pariwisata dengan baik, khususnya pembuangan limbah ke air danau. Ia mencontohkan Yunani yang berhasil menangani oli kapal yang mencemari laut dengan kontrol dan peraturan.
Ia juga berharap, masyarakat lokal diajarkan bagaimana cara mengembangkan pertanian organik secara langsung di lapangan. Untuk mendukung terwujudnya green hotels, Annette juga menyarankan agar pemerintah daerah dapat memberikan reward kepada hotel, misalnya berupa keringanan pajak.
Jalan-jalan menuju gunung atau perbukitan harus segera diperbaiki untuk mendukung wisata alam. Masyarakat lokal dapat dilibatkan untuk mewujudkan ekonomi kreatif, misalnya dalam hal pangan atau pembuatan souvenir.
Menurut Annette, atraksi kereta gantung, wisata sepeda, trekking, homestay dan camping, kayak/sailboats, dan event-event ramah lingkungan merupakan bagian dari wisata berbasis lingkungan.
Konservasi pohon tua dapat menjadi objek/atraksi wisata. Karena itu dibutuhkan sustainability training, studi banding dan coaching yang melibatkan pemerintah, pelaku pariwisata dan masyarakat. Hal ini membutuhkan good governance dan care dengan cara mengutamakan lingkungan Danau Toba, zonasi aktivitas pariwisata, dan peraturan ramah pariwisata dan lingkungan.
Dalam kesempatan ini, beberapa tokoh masyarakat yang hadir menyampaikan harapan mereka. Salah satu harapan tersebut adalah agar akses dari Kota Medan ke daerah Tongging dapat ditingkatkan untuk mendukung pariwisata daerah Karo.
Selain itu, mereka juga berharap agar keberadaan Danau Toba dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat di 7 Kabupaten yang mengelilingi Danau Toba.
Selain penyampaian materi dan diskusi, konferensi internasional ini juga dimeriahkan tarian-tarian tradisional yang berasal dari berbagai daerah yang termasuk kawasan Danau Toba.
Salah satunya adalah tortor enam puak yang dibawakan oleh sanggar tari T.B. Silalahi. Selain itu, terdapat beberapa stand UKM yang digelar di sebelah ruang pertemuan. Hal ini untuk menunjukkan kekayaan "Heritage of Toba" di mata dunia internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H