Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Dua Kisah yang Belum Usai

2 Juni 2021   13:15 Diperbarui: 2 Juni 2021   22:10 1979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah Satu

Ia kehilangan kenangan dalam suatu banjir. Buku-buku, mainan masa kanak-kanak, puluhan surat, dan segala yang tersimpan dalam kaleng biskuit berbentuk bundar. Sejak itu pula, ia berjuang hidup untuk menciptakan kenangan baru. Ia gagal sekali, dua kali, bahkan berkali-kali. Ketabahan terus mengujinya dan seolah tak sedikit pun memberinya celah.

Lalu, dalam hatinya muncul ceruk yang kian hari semakin dalam. Ia berjuang menutup ceruk itu dengan ribuan kalimat yang sama: aku baik-baik saja. Namun, ia tak pernah bisa menghindari dirinya sendiri. Ia tahu, suatu hari nanti mungkin ia akan bersembunyi dalam ceruk itu.

Ia mengadu kepada langit, matahari, dan rembulan. Ia pergi ke pantai, gunung, bukit, dan berbaring di rerumputan. Namun, tiada tempat dan tuju yang mampu memberikan kelegaan. Ia berharap ceruk itu lenyap seiring niatnya, tapi segala upaya tak jua mengabulkan harapannya.

Sepotong kenangan yang tersimpan rapat dalam kaleng biskuit itu kini telah lenyap, satu-satunya yang tersisa dari perpaduan semburat jingga senja dan senyum hangat dalam pertemuan terakhir. Setiap kali ia memandang sepotong kenangan itu, sebuah pertanyaan selalu menggema dalam benaknya: apa warna langit di kotamu?

Empat belas tahun telah berlalu. Lenyapnya sepotong kenangan itu menghadirkan kesadaran bahwa senyum itu akan sirna perlahan dari ingatannya dan ia akan kehilangan pertanyaan itu untuk selamanya.

Hening. Ia menatap ke luar jendela. Rembulan di luar jendela tampak kesepian. Ia mengurung sepi miliknya dalam pejam yang lama. Kenangan tentang kanak-kanak yang bercengkerama di pengungsian melintas. Bibir mereka mengukir senyum meskipun sorot mata mereka sarat dengan derita. Ia ada di sana, bersama seseorang yang kemudian menjelma menjadi sepotong kenangan. Hari itu, senja yang bertakhta di langit menjadi saksi pertemuan terakhir.

Ceruk itu terlalu dalam. Ia tak bisa lagi menghindarinya. Dalam pejam, ia memasuki ceruk itu untuk bersembunyi. Tak ada lagi pertanyaan. Tiada lagi kenangan. Hening.

Kisah Dua

Setiap pagi, ketika membuka jendela, ia akan mengenang seseorang. Semenit, dua menit, hingga lima menit, ia menutup mata dan senja kala itu melintas dalam ingatannya. Kenangan ucapan selamat tinggal itu masih membekas dalam hatinya.

Saat membuka mata kembali, ranting-ranting pepohonan yang bergoyang-goyang pelan seolah menghiburnya. Ia tersenyum pahit dan bertanya-tanya, mengapa perih dari empat belas tahun yang lalu masih selalu hadir dalam paginya?

Ketika pintu kamar terbuka, anjing kesayangannya mengggoyang-goyangkan ekor untuk mengucapkan selamat pagi. Saat melihat bulu lembut hewan itu, ia teringat gulungan benang wol milik seseorang. Ia tersentak saat bunyi salak terdengar. Anjing itu menuntut perhatian penuh darinya. Ia mengelus kepala anjing itu sekali, lalu bergegas menuju ruang makan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun