Kau tertegun dengan jawaban yang kuberikan. Menciptakan jeda di antara kita. Kita lalu bungkam. Hingga akhirnya aku berkata, "Pergilah, jika kita harus bersama, kita akan bertemu lagi entah di mana."
Aku menutup pintu. Tak lama kemudian, terdengar langkahmu pergi. Aku yakin, hujan membasahimu seperti tetes-tetes yang sedang membasahi pipiku.
***
Ini rumah kesepuluh yang kudiami sejak perpisahan kita. Rumah mungil impianku ini berada di pinggir keramaian. Bercat putih dan bermandikan matahari. Aneka anggrek, kamboja, asoka, aster, dan mawar menghiasi pekarangan depan dan belakang rumah. Pagar tanaman mengelilingi rumah yang kubeli dari seorang teman yang menetap di negeri jauh ini.
"Dia pasti sudah melupakanku." Aku berkata-kata sendiri sambil mencabuti rumput-rumput kecil di dalam pot bunga mawar. "Dia sangat sibuk saat ini." Seorang kenalan pernah bercerita, kau sering bepergian ke kota-kota lain karena diundang banyak orang. Katanya, kau telah banyak berubah.
Aku berhenti sejenak dan mendongak pada matahari. Sinarnya menyilaukan mata. Tiba-tiba, sebuah bayangan menutupi pandanganku.
"Apa kabar, Chaira?"
Suara seseorang. Aku mengerjap-ngerjapkan mata.
"Jangan menyuruhku pergi kali ini."
Aku tertegun.
"Akhirnya, aku menemukanmu."
"Ka-u mencariku?"