Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Salam Terakhir

4 September 2018   09:45 Diperbarui: 4 September 2018   19:36 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay)

"Burung-burung itu selalu menuju pulang," ujarmu suatu ketika. Kita sedang berada di pematang sawah, menyaksikan lukisan alam yang berpendar di cakrawala.

Jari-jariku bergerak di udara, seakan-akan melukis sesuatu di kanvas. "Teruskan," kataku sambil membayangkan kita sedang bercengkerama di cakrawala. Singgasana kita adalah mega-mega dan burung-burung yang melintas menjelma menjadi dayang-dayang berparas jelita.

"Burung-burung itu sama sepertiku."

Gerakan jariku terhenti. "Seperti kamu?"

Kamu mengangguk. "Entah mengapa, aku juga ingin selalu menuju pulang." Kamu berhenti sesaat, lalu berucap lirih, "Padamu."

Aku tertegun. Mataku menerawang jauh, lintasan-lintasan firasat dalam mimpiku melintas dan menitipkan keresahan.

"Kenapa hanya diam?"

Jari-jariku kembali bergerak, kali ini melukis keresahan dalam benakku di cakrawala. Aku berharap, semoga dengan demikian aku dapat menitipkan keresahanku di sana.

"Apa yang kamu pikirkan?"

Aku masih membisu, berusaha meredam kegelisahan yang menguasai benakku.

"Tak ada," gelengku lalu menoleh padamu, "aku hanya memikirkan hal-hal yang tak pasti."

Kamu tersenyum lega lalu menunjuk burung-burung yang melintas. "Kita akan duduk di sini, menyaksikan burung-burung itu pulang, dan menjemput senja-senja kita setiap hari. Kau berjanji?"

Aku mengangguk.

"Kalau  begitu, berikan senyuman termanis untukku."

Aku tersenyum. Pada saat bersamaan, kegelisahan kembali menyeruak dalam benakku.

***

"Kamu sudah berjanji padaku."

Aku membisu.

Kamu melanjutkan kata-kata. "Kamu tahu? Burung-burung itu masih terbang beriringan pulang."

Nyeri. Kepedihan di sepasang matamu lebih pedih dari sayatan sembilu.

"Semua benar-benar masih sama. Tak ada yang berubah."

Aku tahu.

"Saat kamu menggerakkan jari-jarimu dan melukis angan tentang kita di cakrawala, akhirnya aku benar-benar tahu, kamulah satu-satunya alasan bagiku untuk pulang."

Dan kamu adalah satu-satunya alasan jari-jariku bergerak melukiskan angan tentang kita.

"Jawablah, sekarang ke mana lagi aku harus pulang?"

Aku membisu. Cakrawala senja itu kembali terbayang. Ada yang terlupa waktu itu.

"Jawab aku."

Salam terakhir. Seandainya aku menuliskannya di cakrawala kala itu agar kau bisa melihatnya saat duduk di pematang sawah untuk menjemput senja-senja kita.

Sudut matamu merebak basah. Aku ingin menyekanya, tapi aku tak lagi bisa. Maafkan aku, karena tak menepati janji berada sisimu untuk menyaksikan burung-burung itu pulang. Sungguh, maafkanlah aku.

***

TD, 4 September 2018

: selamat jalan abangku na burju, damailah di sisi Bapa di surga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun