Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Perempuan Mural

10 Mei 2018   13:46 Diperbarui: 11 Mei 2018   22:10 3055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:clickandgo.com

Setiap kali saya melewati jalan sepi ini, langkah saya akan terhenti pada sebuah mural di dinding abu-abu yang berada di sisi kiri jalan. Hal itu seperti suatu keharusan yang terelakkan. Semacam perasaan terikat hadir ketika saya memandangi mural perempuan cantik yang sedang tersenyum sambil menggenggam cangkir itu. 

Senyum itu menyemangati saya di pagi hari, sebelum saya harus menunggu datangnya bis, berdesak-desakan, dan menempuh menit-menit macet menuju pabrik tempat saya bekerja.

Sebenarnya, bukan mural itu saja yang menghiasi dinding abu-abu sepanjang belasan meter itu. Masih ada yang lainnya. Hanya saja, kabarnya mural perempuan cantik itu merupakan karya seniman tersohor yang kebetulan sedang melintas. Entah mengapa, saya lebih tertarik dengan isi cangkir dan alasan mengapa perempuan itu menggenggam cangkir erat-erat dengan kedua telapak tangannya. 

Awalnya, saya menduga cangkir itu berisi kopi, teh atau cokelat panas. Perempuan itu pasti tersenyum bahagia karena jemarinya menjadi hangat. Tapi di lain waktu, saya menyingkirkan dugaan itu. Tak ada kepulan pada lukisan itu. 

Perempuan itu takkan mampu menggenggam cangkirnya seerat itu bila isinya benar-benar panas, bukan? Saya menyimpulkan, cangkir itu pastilah berisi minuman hangat. Hangat, bukan panas. Isinya mungkin minuman kesukaan yang membuat perempuan itu tersenyum.

Sudah setahun saya menetap di daerah ini. Tepatnya ketika ibu memutuskan meninggalkan suami ketiganya, seorang lelaki pemabuk pecandu alkohol dan sumpah serapah. 

Saya selalu heran, mengapa ibu memercayai lelaki seperti itu. Sama herannya saat melihat sepasang alis ibu yang nampak sehitam arang dan gincunya yang lebih menyala dari cabe merah di pasar. Tetapi saya tak dapat berbuat banyak dengan keheranan itu, karena menurut pengalaman saya, keingintahuan cuma akan mendatangkan malapetaka.

"Anak lancang! Berani kau mencampuri urusanku!" teriak ibu dengan kemarahan berkobar.

Plak. Pipi kiri saya memerah setelahnya. Waktu itu saya menerimanya gara-gara keberatan atas pernikahan ibu untuk ketiga kalinya. Sejak itu pula, saya memilih menerima apa pun yang menjadi kemauan ibu. Pasrah. Pun ketika ibu menyuruh saya berhenti sekolah dan melamar kerja di sebuah pabrik.

"Kau tinggal bawa lamaran. Temui kawanku di sana," suruh ibu singkat sambil menebalkan lapisan bedaknya. Cermin retak di kamar sempit kami memantulkan bentuk wajahnya yang bulat.

Saya diam saja. Tak mengangguk apalagi menjawab. Kalimat ibu serupa titah. Jadi, sebaiknya laksanakan saja. Tidak ada jalan lain. Mungkin bila saya menghasilkan uang, ibu akan bersikap lebih baik dan tak perlu bersama lelaki lain yang lebih keliru. Cuma itu harapan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun