Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Hujan Buah dari Langit

23 Februari 2018   15:14 Diperbarui: 23 Februari 2018   18:10 1971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Seisi desa gempar. Hujan buah turun dari langit pagi ini. Seperti hujan, mereka berserakan di atap, jalan-jalan, pekarangan, hingga di pasar becek. Akibatnya, sungguh luar biasa. Sebagian atap rumah penduduk rusak. Jalan menuju desa macet total karena orang-orang dari kota dan desa lain datang berduyun-duyun untuk menyaksikan langsung kejadian itu. Pagi harinya, pedagang buah di pasar rugi besar karena orang-orang berhenti membeli dari mereka. Koran dan televisi berlomba-lomba memberitakannya. Seisi desa menjadi lebih sibuk dan ramai dari biasanya.

Berbeda dengan warga desa lainnya, seorang lelaki tua berlagak tak acuh dengan hiruk-pikuk di sekitarnya. Saat tetangganya berlomba memenuhi karung-karung mereka dengan buah, ia malah tenang-tenang saja mengamati mereka. Lelaki tua itu bahkan menyuruh mereka untuk memunguti buah-buah yang berserakan di halaman rumahnya. Tingkah lakunya yang ganjil itu menarik perhatian orang-orang di lingkungannya. Desas-desus merambat dengan cepat. Keesokan harinya, sebuah stasiun televisi tertarik lalu mengutus reporter untuk mewawancarai lelaki tua itu.

"Selamat siang, Pak. Apa benar Bapak yang bernama Karim?" sapa seorang reporter pada lelaki tua yang sedang berleha-leha di bale-bale teras rumahnya.

Lelaki itu tertawa. Gigi depannya bolong dua. "Benar, saya Karim. Kalian siapa?" Ia lantas menyilakan reporter dan timnya untuk duduk berdesakan di bale-bale miliknya. Meski bale-bale itu mengeluarkan suara berderak-derak saat harus menahan beban empat orang sekaligus, bale-bale itu tetap kokoh berdiri.

"Kami dari stasiun televisi di kota. Kalau boleh, kami ingin mewawancarai Bapak." Reporter itu memberi isyarat agar timnya bersiap-siap.

Karim terkekeh. "Ini pasti tentang kabar itu. Iya, toh?" Lelaki tua itu lantas memandangi reporter dan teman-temannya satu per satu. Mimik lelaki itu kemudian berubah tak senang.

"Benar, Pak. Ehm... Bapak berkenan, kan?" tanya sang reporter hati-hati.   

"Tidak ada yang harus ditanyakan. Kalian cuma buang-buang waktu." Karim benar-benar tak menyangka, kabar mengenai dirinya sampai-sampai mendatangkan awak media. Ia maklum jika tetangganya suka bergunjing. Namun, kali ini sepertinya agak melewati batas.

"Desas-desus? Jadi, kabar itu tidak benar, Pak?"

"Benar atau tidak benar itu bukan soal," tegas Karim lantas beranjak dari bale-bale. "Maaf, saya tinggal dulu. Saya harus pergi ke kebun sekarang. Sudah kesiangan." Lelaki tua itu mempersilakan tamu-tamunya pergi.

Sang reporter terkesiap, tak menyangka akan mendapatkan penolakan setegas itu. Ia buru-buru menukar strategi. "Kalau begitu, boleh saya ngobrol-ngobrolsantai dengan Bapak besok? Sendirian?"

"Datanglah ke kebunku. Sebagai tamu, juga sebagai anak," jawab lelaki tua itu tersenyum lalu pergi ke samping rumah untuk mengambil sabit dan cangkul. "Kebunku terletak di ujung jalan desa. Sampai bertemu besok."

Setelah bersalaman, reporter dan timnya meninggalkan rumah Karim. Lelaki tua itu memandang punggung mereka sebentar lalu berbalik menuju kebunnya. Ia menemukan sisa-sisa buah yang terinjak di sepanjang jalan. Seekor anjing liar mengendus semangka yang tinggal separuh. Mungkin perut hewan itu sudah kembung, penuh dengan buah. Sementara itu, karung-karung besar tampak bertumpuk di halaman rumah para tetangga. Hujan buah bagaikan panen raya bagi warga desa.

"Mau ke mana, Karim?" Pram, salah seorang tetangganya menegur dan mendekatinya.

"Ke kebun. Mau ke mana lagi?" jawab Karim lalu menurunkan cangkul yang di pundaknya. Pram adalah teman karibnya sejak masih kanak-kanak. Mereka sama-sama tumbuh di desa ini. Tidak pernah merantau dan memutuskan untuk menetap di kampung halaman.

"Untuk apa?" Pram tertawa.

"Maksudmu, kita harus menelantarkan kebun-kebun itu?" tanya Karim sinis.

"Salahmu sendiri, tak mau memunguti buah-buah itu," ejek Pram lalu terkekeh. "Pengumpul dari kota akan datang. Mereka pasti memborong semuanya," katanya lalu menunjuk empat karung besar di teras rumahnya. "Lumayan."

"Kalau begitu, nikmatilah. Aku pergi dulu." Karim permisi lalu mengayunkan langkahnya dengan cepat, meninggalkan Pram yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikapnya.

Sesampainya di kebun, Karim tak langsung bekerja seperti biasanya. Ia memilih duduk melamun di pondok bambu. Ingatannya melayang ke masa lalupohon-pohon baru saja ditanam di kebun inisetelah ia mengawini Karsih, istrinya yang sekarang sudah tiada. Hari-hari mereka lalui dalam keprihatinan, tetapi mereka tertawa setiap kali membayangkan kebun ini akan memberikan hasil yang berlimpah. Impian sederhana itu membuat mereka bahagia.

Karim adalah pemilik kebun buah pertama di desa ini. Setelah melihat hasil kebunnya bertahun-tahun kemudian, para tetangganya ikut pula bertanam buah-buahan. Perlahan-lahan, desa dikepung kebun buah warga. Udara desa kian sejuk berkat pohon buah-buahan. Saat musim panen tiba, buah-buahan mengeluarkan aroma harum di udara. Pengumpul dari kota mulai datang. Buah-buahan akhirnya menjadi sumber pundi-pundi bagi warga desa. Karim turut senang dengan semua itu.

Pandangannya tertuju pada pohon nangka di pojok kebun, pohon pertama yang ditanamnya di kebun ini. Pohon itu sudah menua, sama seperti dirinya. Ia terkenang celoteh istrinya di bawah pohon itu, usai menikmati manisnya buah nangka pertama. Ia mengingat percakapan mereka tentang siapa yang akan meneruskan kebun buah jika mereka sudah renta. Ia tersenyum getir. Anak-anaknya memilih merantau ke kota. Tak ada yang peduli dengan kebun buah. Jika ia menyinggung soal itu, anak-anaknya selalu mengelak dengan seribu satu alasan.

Hingga hari jelang petang, Karim tak kunjung bekerja di kebun. Ia hanyut dalam lamunannya. Saat berjalan pulang, ia memutuskan akan mengurus kebun buah hingga sisa hidupnya. Biarlah anak-anak menjalani hidup mereka dengan bahagia. Ia mulai bersiul-siul riang. Separuh beban di hatinya lenyap. Saat mulai memasuki desa ia terkejut. Orang-orang sedang berdiri di halaman mereka. Mereka terlihat panik.

"Ke mana perginya buah-buah itu?" Kalimat itu terdengar berulang-ulang. Orang-orang saling bertanya, tetapi tak mendapatkan jawaban. Sebagian tampak mencari-cari. Karung-karung berserakan di pekarangan.

Karim bertanya, pada salah seorang tetangganya. "Ada apa?"

"Buah-buah itu lenyap tadi siang. Semuanya!" jawab orang itu.

Mendengar jawaban itu, Karim tercengang. Ia menatap karung-karung yang telah kosong. Suara kehilangan dari rumah-rumah terdengar riuh. Orang-orang meratapi hilangnya buah-buahan yang diperoleh cuma-cuma dari langit. Hal itu terus berlangsung hingga larut malam. Karim tak dapat terlelap karena keriuhan itu.

Hingga hari jelang subuh, barulah matanya dapat terpejam. Ia bermimpi buah-buahan dikirim dari langit seperti hujan. Hujan itu turun deras di kebun buah miliknya. Istrinya muncul dari balik pohon nangka yang dulu ditanamnya dan tersenyum kepadanya.

***

Tepian DanauMu, 23 Februari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun