"Datanglah ke kebunku. Sebagai tamu, juga sebagai anak," jawab lelaki tua itu tersenyum lalu pergi ke samping rumah untuk mengambil sabit dan cangkul. "Kebunku terletak di ujung jalan desa. Sampai bertemu besok."
Setelah bersalaman, reporter dan timnya meninggalkan rumah Karim. Lelaki tua itu memandang punggung mereka sebentar lalu berbalik menuju kebunnya. Ia menemukan sisa-sisa buah yang terinjak di sepanjang jalan. Seekor anjing liar mengendus semangka yang tinggal separuh. Mungkin perut hewan itu sudah kembung, penuh dengan buah. Sementara itu, karung-karung besar tampak bertumpuk di halaman rumah para tetangga. Hujan buah bagaikan panen raya bagi warga desa.
"Mau ke mana, Karim?" Pram, salah seorang tetangganya menegur dan mendekatinya.
"Ke kebun. Mau ke mana lagi?" jawab Karim lalu menurunkan cangkul yang di pundaknya. Pram adalah teman karibnya sejak masih kanak-kanak. Mereka sama-sama tumbuh di desa ini. Tidak pernah merantau dan memutuskan untuk menetap di kampung halaman.
"Untuk apa?" Pram tertawa.
"Maksudmu, kita harus menelantarkan kebun-kebun itu?" tanya Karim sinis.
"Salahmu sendiri, tak mau memunguti buah-buah itu," ejek Pram lalu terkekeh. "Pengumpul dari kota akan datang. Mereka pasti memborong semuanya," katanya lalu menunjuk empat karung besar di teras rumahnya. "Lumayan."
"Kalau begitu, nikmatilah. Aku pergi dulu." Karim permisi lalu mengayunkan langkahnya dengan cepat, meninggalkan Pram yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikapnya.
Sesampainya di kebun, Karim tak langsung bekerja seperti biasanya. Ia memilih duduk melamun di pondok bambu. Ingatannya melayang ke masa lalupohon-pohon baru saja ditanam di kebun inisetelah ia mengawini Karsih, istrinya yang sekarang sudah tiada. Hari-hari mereka lalui dalam keprihatinan, tetapi mereka tertawa setiap kali membayangkan kebun ini akan memberikan hasil yang berlimpah. Impian sederhana itu membuat mereka bahagia.
Karim adalah pemilik kebun buah pertama di desa ini. Setelah melihat hasil kebunnya bertahun-tahun kemudian, para tetangganya ikut pula bertanam buah-buahan. Perlahan-lahan, desa dikepung kebun buah warga. Udara desa kian sejuk berkat pohon buah-buahan. Saat musim panen tiba, buah-buahan mengeluarkan aroma harum di udara. Pengumpul dari kota mulai datang. Buah-buahan akhirnya menjadi sumber pundi-pundi bagi warga desa. Karim turut senang dengan semua itu.
Pandangannya tertuju pada pohon nangka di pojok kebun, pohon pertama yang ditanamnya di kebun ini. Pohon itu sudah menua, sama seperti dirinya. Ia terkenang celoteh istrinya di bawah pohon itu, usai menikmati manisnya buah nangka pertama. Ia mengingat percakapan mereka tentang siapa yang akan meneruskan kebun buah jika mereka sudah renta. Ia tersenyum getir. Anak-anaknya memilih merantau ke kota. Tak ada yang peduli dengan kebun buah. Jika ia menyinggung soal itu, anak-anaknya selalu mengelak dengan seribu satu alasan.