Kanal fiksiana adalah salah satu kanal yang terbilang paling produktif melahirkan karya. Sekitar puluhan karya bisa anda nikmati di sini setiap harinya. Mulai dari dongeng, cerpen, puisi, drama, hingga novel.Â
Penulis di kanal ini tidak selalu notabene fiksianer (istilah untuk kompasianer yang bergiat di kanal ini). Adakalanya, penulis yang konsisten menulis di kanal lainnya semisal politik, hiburan, dan humaniora, sesekali beranjangsana dan menyumbangkan buah pikirnya di kanal ini. Karena itu, kanal ini juga kerap dihiasi dinamika ragam isu-isu terkini, baik itu politik, ekonomi, budaya, gaya hidup, dan hal lain yang sedang ramai diperbincangkan di Tanah Air.
Karena kompleksitasnya itu pula, maka pekerjaan untuk meng-kurasi karya-karya yang terbit di kanal fiksiana sepanjang tahun 2017 sungguh tidak mudah.Â
Faktor lainnya adalah, jumlah karya cerpen dan puisi-dua jenis karya yang mendominasi kanal ini-yang layak dijadikan "suguhan istimewa" bagi para penikmat sastra relatif banyak. Belum lagi mengingat kuantitas karya seperti yang sudah disebutkan di atas. Tetapi, setidaknya, inilah 5 (lima) karya fiksi istimewa yang menurut saya sebaiknya jangan anda lewatkan:
Penggusuran pemukiman masyarakat kelas bawah memang bukanlah tema baru dalam penulisan cerpen. Salah satu cerpen yang mengusung tema itu adalah cerpen fenomenal Lembu di Dasar Laut (Afrizal Malna) yang merupakan cerpen pilihan Kompas pada tahun 1999. Namun, ada beberapa alasan, mengapa cerpen karya Aura Asmaradana ini menjadi sangat istimewa.
Aura sepertinya sangat memahami bahwa kalimat pembuka adalah kunci untuk menarik perhatian pembaca. Hal itu terlihat jelas dari kalimat berikut ini: "Tanah itu masih muda ketika para buyut lahir. Sebidang tanah di sisi sungai besar dengan bau segar yang khas dari ilalang basah. Kini, tanah itu sarat aroma deterjen..." Pembaca seolah diajak untuk melihat langsung tanah yang menjadi pokok cerita melalui deskripsi yang memikat. Tanah digambarkan seperti manusia yang pernah muda-ketika para buyut (leluhur) dilahirkan-namun generasi penerus mereka dan pembangunan telah merampas "kemudaan" itu.
Selain itu, penulis juga menyelipkan pesan tentang lingkungan hidup. "Tanah kadang becek. Mereka menempel di sela jempol dan telunjuk kaki siapa saja. Itu membuat mandi terasa betul gunanya. Ketika pepohonan rindang masih padat membujur di tepian kali, tanah merah basah sulit kering karena tertutup bayang-bayang rimbun. Kini basahnya tanah makin cepat kering." Penggambaran sifat tanah pada paragraf ini sangat menarik. Jika kita membaca dengan cermat, maka kita akan menemukan bahwa kepadatan penduduk adalah biang perubahan sifat tanah itu.
Ide paling cemerlang dalam cerpen realis ini tak lain adalah soal wangsit yang diperoleh Abdul lewat mimpi. Abdul percaya, akan datang seorang dermawan untuk membantu warga bantaran yang akan digusur. Kabar itu membuat seluruh warga jadi berleha-leha, menunggu kedatangan dermawan yang diyakini bisa mengabulkan keinginan mereka. Abdul bahkan meyakinkan ketua RT-yang mengaku telah menjabat selama empat periode-untuk memercayainya.
Cerpen ini seolah mengingatkan masyarakat kita yang masih meyakini hal-hal berbau klenik, agar tidak mengantungkan harapan semata, tetapi nihil dalam berupaya. Bahwa akhirnya warga bantaran tercerabut dari tanah leluhur mereka, itu adalah konsekuensi derap pembangunan. Luka memang, tetapi mereka harus berjuang memulai hidup di tanah tujuan.