Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cerita tentang Gadis Berpayung Merah

18 Oktober 2016   16:11 Diperbarui: 19 Oktober 2016   06:45 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak hal yang bisa kau cermati dari sebuah payung. Entah itu warnanya, ukurannya, atau malah kapan tepatnya payung itu digunakan. Yang ingin kukatakan padamu adalah: ada baiknya kau mengamati hal-hal menarik di sekitarmu. Barangkali kau akan menemukan ide atau sesuatu yang tak terduga. Kalau kau tak keberatan, sekarang aku akan bercerita. Kau boleh menyimak ceritaku ini sambil menunggu hujan reda.

Waktu itu aku sedang menunggu seseorang di kafe. Seorang gadis. Caramel latte-ku yang kedua nyaris tandas. Tapi gadis itu tak kunjung tiba. Aku mulai merasa jemu. Kalau bukan karena janjinya untuk menemuiku, aku takkan menyia-nyiakan waktu di sini. Bukan karena aku orang yang super sibuk (kadang-kadang aku pura-pura menyibukkan diri supaya terlihat punya kesibukan), aku menunggu karena terbiasa menepati janji. Jujur saja, kebiasaanku ini lebih sering merugikan. Semakin sulit menemukan orang yang memegang janjinya. Tapi tak mengapa, aku melakukannya karena memang sudah semestinya.

Saat memandang ke arah pukul 7, aku menemukan seorang gadis sedang duduk di sebuah bangku di seberang kafe. Sendirian, berpayung merah, dan mengenakan gaun hitam. Pemandangan kontras di tengah hujan deras. Kukira, gadis itu sedang menunggu seseorang. Mungkin kekasihnya. Kalau tidak, mana mungkin gadis secantik itu rela kedinginan di tengah hujan begini? Tiba-tiba, aku berharap dia senasib denganku agar aku mendapatkan teman berbincang.

Gadis itu berjalan menuju mejaku, menyapaku dengan hangat, lalu duduk tepat di sebelahku... Ah, anganku berkelana terlalu jauh. Gadis itu masih di duduk di bangkunya. Hujan pasti sudah merembes dan membasahi gaun hitamnya. Kasihan. Tapi mengapa aku mesti merasa kasihan? Nasibku tak kalah malangnya. Atau... aku perlu mengajaknya masuk ke dalam kafe yang hangat ini? Tapi ada kemungkinan dia akan menolakku. Jika demikian, pastilah aku merasa malu.

Caramel latte-ku sekarang benar-benar tandas. Gadis yang kutunggu entah berada di mana. Pesan-pesan yang kukirim tak berbalas. Puluhan panggilan juga tak membuahkan hasil. Menit dan jam berlalu sia-sia. Padahal, aku takkan tiba di kota ini jika bukan karena permintaan gadis itu−gadis yang berjanji akan menemuiku dengan sebuah jawaban.

Hujan belum reda. Bersabarlah, aku akan meneruskan ceritaku sedikit lagi. Sekarang aku benar-benar berpikir untuk menyapa gadis berpayung merah di arah pukul 7. Tapi, aku tak ingin menanggung risiko malu. Maka, aku melambai pada pramusaji untuk meminta bantuan. Setelah menuliskan pesan pada secarik kertas, aku menunggu sambil berdebar.

Saat pramusaji berjalan menuju gadis berpayung merah, aku menimbang-nimbang dalam hati, antara ragu dan sedikit menyesal. Sudah terlambat mencegah ketika pramusaji menyapa gadis itu dan menyerahkan pesanku. Gadis itu melirik ke arah kafe, matanya mencari-cari sosokku. Mereka berdua berbincang beberapa saat. Saat gadis itu beranjak dan mengikuti langkah pramusaji, aku nyaris melompat dari kursiku.

Gadis itu sekarang berjarak beberapa langkah dari mejaku. Pandanganku tertuju pada riasan pekat matanya serta warna merah menyala di bibirnya. Saat dia tiba di hadapanku, gaun hitam yang melekat basah di tubuhnya mengundang mataku menjelajahi lekuk tubuhnya.

“Boleh aku duduk?” sapanya merdu.

“Oh, ya. Silakan.”

Pramusaji yang bersamanya segera mengulurkan daftar menu. Gadis itu memesan espresso, sedangkan aku memesan secangkir macchiato.

“Selera kopimu boleh juga,” cetusku menguji.

Bibir merah menyala itu tersenyum menggoda. “Aku kedinginan di luar sana. Sudah 3 jam.”

“Harusnya kau masuk ke kafe ini dari tadi. Menunggu seseorang?”

“Mungkin menunggumu,” kedipnya manja.

Sekarang gilirannya mengujiku. Tak apa, hatiku melonjak kegirangan. Isyarat bagus. “Maafkan, aku. Seharusnya dari tadi aku mengajakmu masuk.”

“Tak apa, aku memang menyukai hujan.”

“Karena seseorang?”

“Rupanya kau benar-benar penasaran,” gadis itu merapikan rambut dengan ujung jemari, “kau benar, aku sedang menunggu seseorang.”

“Seorang pemuda?”

“Apa pentingnya?” dia balas bertanya, “orangnya belum muncul.”

Aku tertawa kecil. Benar juga yang dikatakannya. Pramusaji meletakkan pesanan di atas meja. Gadis itu menggenggam cangkir espresso-nya erat-erat. Jemarinya gemetar. Kedinginan. Mata lentiknya terlihat sayu. Aku merasa iba.

“Perlu kupesankan secangkir teh hangat? Itu akan lebih baik untukmu.”

“Tak usah,” gelengnya cepat, “aku takkan lama.”

“Memangnya kau mau pergi ke mana?” tanyaku harap-harap cemas. Sepertinya, dia akan meninggalkanku kembali sendirian.

“Kembali ke bangku itu. Menunggu.”

“Ini hujan deras. Kau bisa menunggu bersamaku di sini,” cegahku.

“Kau tak mengerti. Orang yang kutunggu sungguh istimewa. Payung merah adalah petunjuk baginya.”

Mataku tertuju ke sudut pintu masuk. Payung merah yang dibawa gadis itu terlipat rapi dan mengalirkan tetes-tetes air ke lantai. “Aku sungguh tak mengerti.”

“Kau tak perlu mengerti.” Gadis itu menunduk lalu menghirup espresso-nya dengan nikmat. “Lezat. Terima kasih, tapi aku harus pergi sekarang.” Gadis itu berdiri dan menuju pintu, membuka payung yang terlipat, dan berjalan menembus hujan yang belum juga reda.

Ada sederet kata yang tercekat di tenggorokanku. Kata-kata itu semakin tertahan manakala seorang gadis melangkah riang memasuki kafe ini dan menuju meja tempatku menunggu. Gadis yang kutunggu akhirnya tiba. Dia menghampiriku lalu minta maaf atas keterlambatannya. Tapi pandanganku hanya tertuju pada payung merah di luar sana. Selangkah sebelum gadis itu mencapai bangku itu, suara letusan menggema di udara.

Tubuh gadis berpayung itu tersungkur. Payung merah miliknya melayang rendah di udara, lalu terhempas di genangan air. Aliran merah menggenang, bercampur dengan air hujan. Orang-orang berhamburan panik. Sepasang mataku terpaku pada seseorang. Sosok lelaki yang menyelipkan sesuatu dalam pakaiannya lalu menghilang cepat di antara lorong-lorong kota.

Kau harus tahu, seumur hidupku aku takkan melupakan tatapan itu. Mata sayu yang menatapku lalu terpejam selamanya dalam pelukanku. Orang istimewa yang dinantinya tak lain adalah pembawa kematian.

Nah, hujan sudah reda. Terima kasih kau berkenan mendengarkan ceritaku siang ini. Senang mendapat teman yang mau mendengarkan ceritaku. Kau boleh pergi sekarang. Berjalanlah pelan-pelan saja. Karena aku tak suka ditinggalkan teman baru secepat ini.

Suara letusan. Tubuhmu terkapar.

Sengaja aku tak menceritakan satu hal padamu. Aku takkan pernah melupakan wajah orang istimewa yang dinanti gadis berpayung merah itu. Sekarang, kita sudah impas.

***

Tepian DanauMu, 18 Oktober 2016

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun