Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Bunga-bunga Mahoni yang Bermekaran

27 September 2016   13:28 Diperbarui: 27 September 2016   16:18 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: heathkrueger.com

Lelaki itu duduk terpekur di pinggir jalan. Bersandar pada sebuah pohon dan beralaskan rerumputan. Sepintas lalu, tubuhnya seakan terselip di antara rimbun pohon mahoni yang berbaris rapi di sepanjang jalan. Aku meliriknya sesekali sambil memancangkan easel dan menaruh kanvas di atasnya. Setelah mengambil kotak berisi palet, kuas, pensil, dan peralatan melukis lainnya dari pick up tua peninggalan Ayah, aku mengenakan topi berpinggiran lebar lalu menebar pandang berkeliling. Mencari-cari pemandangan menarik untuk digoreskan di akhir pekan ini.

Selain hamparan langit, hampir tak ada yang belum kulukiskan di tempat ini. Jalan lurus yang berkelok di kejauhan, deretan pohon mahoni yang mengapitnya, hamparan rerumputan tempatku berdiri, burung-burung yang melintas, semuanya telah kutuangkan di atas kanvas. Pandanganku kembali tertuju pada lelaki itu. Saya ingin melukis sosoknya.

Jemariku bergerak menggoreskan pensil. Mematri lengkung tubuh lelaki itu sedikit tergesa. Sedikit condong ke depan, tubuh itu terkesan ringkih. Kepalanya mengarah lurus ke arah jalan. Kemurungan membayangi wajahnya. Meski tergolong layak, pakaian lelaki itu terlihat lusuh. Sepertinya lama tak tersentuh air. Aku menebak-nebak dalam hati sambil meneruskan sketsa.

Sesuatu yang ganjil menarik perhatianku. Aku berhenti sejenak. Lelaki itu menutup dan membuka sepasang telinganya dengan telapak tangan. Berulang-ulang. Seakan terganggu dengan bunyi sesuatu. Aneh. Suasana di sekeliling kami begitu hening. Pun tak ada siapa-siapa. Itulah salah satu alasan mengapa saya suka menghabiskan akhir pekan di sini untuk melukis di atas kanvas-kanvas kosong peninggalan Ayah yang tersimpan rapi di gudang.

Sedari kanak-kanak, aku sering menemani Ayah melukis. Bepergian bersamanya melukis ke banyak tempat hingga ke negeri-negeri jauh. Beliau dikenang sebagai pelukis besar. Meski terlahir sebagai putri Ayah, aku bukanlah pelukis profesional. Sebagian besar lukisanku cuma menghiasi dinding rumah. Sisanya terbungkus rapi dan kembali tersimpan di dalam gudang. Satu-dua ada yang diminta teman atau tetangga. Cuma-cuma. Tapi ada saja yang mengantarkan makanan atau bingkisan setelahnya. Melukis membuat kenangan tentang Ayah tetap hidup dalam ingatanku. Juga mengusir sepi sejak beliau wafat beberapa tahun silam.

Sketsa lelaki itu belum rampung saat lelaki itu beranjak berdiri. Aku harus mencegahnya. Kutinggalkan peralatan melukisku lalu berjalan ke arahnya. Sebenarnya, aku agak cemas. Jangan-jangan lelaki itu kurang waras lalu menyerangku. Lalu buru-buru kusingkirkan dugaan itu. Tak baik berprasangka yang tidak-tidak. Ketika aku akan tiba selangkah lagi di hadapannya, lelaki itu menoleh.

“Maaf...,” aku menyapanya takut-takut.

“Ada apa?” tanya lelaki itu datar.

Sekarang aku dapat melihat jelas rautnya. Kutaksir sekitar lima puluhan. Helaian perak menghiasi rambutnya. Kerutan menghiasi wajahnya yang tirus. Tatapan pilunya menularkan kesedihan padaku.

“Jika tidak keberatan, Bapak mau duduk sedikit lebih lama? Saya sedang melukis Bapak.”

Lelaki itu mengamatiku sekilas, “Kamu seorang pelukis?”

Saya menggeleng malu, “Bukan, cuma hobi sekadar menghabiskan waktu.”

“Baiklah,” lelaki itu mengempaskan kembali tubuhnya di bawah pohon mahoni, “jangan terlalu lama, karena jika telinga saya mulai berdengung, saya tak bisa hanya duduk berdiam diri.”

“Berdengung?” Saya meraba-raba dalam hati. Mungkin itu sebabnya, lelaki itu berkali-kali membuka dan menutup sepasang telinganya.

“Sudah berbulan-bulan,” keluhnya sedih. “Sesekali muncul, lalu tiba-tiba menghilang. Saya belum pulang beberapa hari terakhir. Terus berjalan tak tentu arah seperti orang gila saja.”

Jadi itulah sebabnya mengapa pakaiannya terlihat lusuh. Lelaki itu pasti sangat tersiksa. Melukis bisa ditunda sejenak. Sudah lama saya tak berbincang dengan orang seusia almarhum ayahku. Gadis sepertiku harus sering mendengarkan pengalaman-pengalaman hidup untuk memperkaya diri. Itulah pesan ayahku sebelum berpulang.

“Kalau boleh tahu, apa sebabnya?”

“Entahlah. Beberapa dokter mengatakan saya mengalami gangguan pendengaran karena sering berada di tempat yang berisik. Saya sudah minum obat dan menjalani terapi. Percuma. Gangguan itu semakin menjadi-jadi. Sekarang, saya bahkan mendengar suara-suara bisikan.”

“Bisikan?” Jantungku berdegup lebih kencang. Jangan-jangan lelaki di sebelahku ini mengalami gangguan kejiwaan.

Lelaki itu menatapku dan tertawa kecil. “Bukan seperti yang kamu pikirkan. Bisikan-bisikan itu berasal dari masa lalu.”

Kedua pipiku memanas. “Maaf, saya tidak bermaksud....”

“Bukan salahmu. Awalnya, saya juga berpikir demikian.”

“Lalu?”                                                                                                                                         

“Bisikan-bisikan itu datang menghakimiku. Mungkin karena kesalahan-kesalahanku dulu.” Lelaki itu menerawang jauh, seolah mengenang kembali masa lalunya. Kami sama-sama diam. Aku menengadah. Bunga-bunga mahoni berwarna kecokelatan bermekaran di atas kami. Semilir angin meniup bunga-bunga itu dan membuatnya berputar. Mengingatkanku pada origami wind spinner yang memenuhi langit-langit kamarku. Indah sekali. Mengapa aku tak menyadarinya sedari dulu?

Lelaki itu mengingatkanku, “Bukankah kamu mau melukis saya?”

“Oh… maafkan saya,” kataku lalu beranjak berdiri dengan perasaan malu. “Saya akan segera menyelesaikannya.” Sebentar kemudian aku sudah berada di balik kanvasku dan meneruskan sketsa dirinya. Aku menambahkan ruas jalan, pepohonan, dan bunga-bunga mahoni yang bermekaran pada rimbun pepohonan itu. Kali ini jemariku bergerak lebih cepat. Gairah seolah mengalir deras lewat tarian kuasku.

“Sudah selesai?” Lelaki itu sudah berada di sampingku.

Aku tersentak. “Saya tak melihat Bapak berjalan ke sini.”

“Kamu larut dalam lukisanmu,” ucap lelaki itu sambil mengamati lukisanku sekilas. “Sketsa yang menarik. Sayangnya, kamu tak menyisakan tempat untuk langit. Mengapa?”

Lagi-lagi saya tersentak. “Mengapa Bapak bertanya demikian?”

“Langit hari ini sungguh cerah,” katanya sambil menatap hamparan langit, “rasanya aneh, bila kau tak menuangkannya dalam lukisan ini.”

“Pengamatan Bapak sungguh tajam,” pujiku kagum, “benar, saya memang tak pernah melukis langit.”

“Boleh tahu mengapa?”

Aku terdiam. Semasa kecil, bila saya bertanya di mana Ibu berada, Ayah akan membawaku ke sini. Kami berbaring di rerumputan, memandangi hamparan langit yang luas. Ayah mengatakan bahwa Ibu sedang tersenyum dan menatap kami dari langit. Setelah remaja barulah aku mengerti, Ibu pergi meninggalkan kami demi lelaki lain. Bukan berada di langit seperti yang dikatakan Ayah. Sejak itu pula aku membenci Ibu dan langit. Tak pernah terlintas keinginan untuk menemui perempuan itu, terlebih untuk melukis langit.

“Kapan-kapan saya cerita,” elakku halus.

“Baiklah kalau begitu. Boleh saya pergi sekarang? Saya harus pulang ke rumah.”

“Silakan, Pak. Terima kasih atas bantuannya.”

Lelaki itu mengangguk lalu berjalan lurus dan menghilang di kelokan. Aku kembali terbenam dalam lukisanku. Membaurkan warna-warna di atas kanvas hingga semburat jingga mulai turun menyapa.

***

Keesokan harinya, lelaki itu kembali berada di bawah rimbun pohon mahoni. Duduk terpekur seperti kemarin. Pakaiannya terlihat lebih bersih. Sepertinya, ia sudah pulang ke rumah. Kutinggalkan lukisan yang rencananya kuselesaikan hari ini lalu menghampirinya. Aku ingin tahu kabarnya hari ini.

“Sudah lama Bapak di sini?” tanyaku lalu duduk di sampingnya.

“Kamu.” Lelaki itu tersenyum. “Beberapa jam yang lalu. Bagaimana lukisanmu?”

“Hampir selesai. Bagaimana dengan telinga Bapak? Masih berdengung?”

“Sekali. Tadi malam. Tapi… bisikan-bisikan itu semakin kuat,” keluhnya padaku.

“Mungkin Bapak perlu menenangkan pikiran,” kataku prihatin.

“Kamu benar. Saya perlu melupakan semua kenangan buruk itu. Ngomong-ngomong, kamu mengingatkanku pada seseorang yang telah tiada. Putriku.”

“Bapak memiliki seorang putri?”

“Dulu. Sebelum ia meninggal terkena sebuah tembakan. Dia masih sangat kecil. Jika masih hidup, kira-kira seusiamu.” Rahang lelaki itu mengeras. Pandangannya dipenuhi kebencian. “Kawanan perampok itu sungguh keji. Putriku tertembak dan tewas seketika di depan mataku sendiri. Istriku kehilangan kewarasannya dan menjadi penghuni rumah sakit jiwa sejak saat itu.” Sepasang mata lelaki itu berkabut ketika mengakhiri kisahnya.

Hatiku sesak mendengar penuturan menyedihkan itu. Sekarang aku mengerti, mengapa sepasang mata lelaki itu selalu murung. Ia pasti sedih karena selalu terkenang putrinya itu. Hati orang tua mana yang takkan sedih bila nyawa putrinya direnggut dengan cara sekejam itu?

“Aduh!” Lelaki itu tiba-tiba menutup sepasang telinganya. Rautnya tersiksa.

“Ada apa?” tanyaku bingung.

“Telingaku…”

Aku kebingungan. Telinga lelaki itu pasti sedang berdengung hebat. Tapi aku tak tahu harus berbuat apa.

Lelaki itu berteriak sambil memegang kedua telinganya. “Pergi kalian! Pergi!” Lelaki itu berbisik padaku, “Mereka mendatangiku. Orang-orang yang kubunuh di masa lalu.”

“Bunuh? Bapak seorang pembunuh?” tanyaku ketakutan.

“Setelah kejadian itu saya memburu mereka. Mereka pantas mendapatkannya!” Sikap lelaki itu berubah. Wajahnya dipenuhi amarah.

Tanpa menunggu lebih lama, secepat mungkin aku bergerak menjauh. Terlambat. Lelaki itu mencengkeram pergelangan tanganku kuat-kuat.

“Enyahlah kau! Kau sudah mati di tanganku!” serunya. Sebelah tangannya yang lain meraih batang leherku dan mencekiknya kuat-kuat.

Aku berusaha melepaskan cekikan lelaki itu, namun sepasang tanganku tak berdaya. Kakiku menendang ke segala arah. Membuat lelaki itu semakin murka. Taring-taring mencuat dari mulutnya. Sepasang matanya memerah. Cengkeraman lelaki itu semakin erat dan membuat napasku tersengal. Ajalku sudah di depan mata.

Kepalaku menengadah. Bunga-bunga mahoni berputar ditiup semilir angin. Airma taku bergulir deras. Hamparan langit mengabur di kejauhan. Ayah menatapku dari langit sambil menangis.

***

Tepian Danau-Mu, 27 September 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun