“Lalu?”
“Bisikan-bisikan itu datang menghakimiku. Mungkin karena kesalahan-kesalahanku dulu.” Lelaki itu menerawang jauh, seolah mengenang kembali masa lalunya. Kami sama-sama diam. Aku menengadah. Bunga-bunga mahoni berwarna kecokelatan bermekaran di atas kami. Semilir angin meniup bunga-bunga itu dan membuatnya berputar. Mengingatkanku pada origami wind spinner yang memenuhi langit-langit kamarku. Indah sekali. Mengapa aku tak menyadarinya sedari dulu?
Lelaki itu mengingatkanku, “Bukankah kamu mau melukis saya?”
“Oh… maafkan saya,” kataku lalu beranjak berdiri dengan perasaan malu. “Saya akan segera menyelesaikannya.” Sebentar kemudian aku sudah berada di balik kanvasku dan meneruskan sketsa dirinya. Aku menambahkan ruas jalan, pepohonan, dan bunga-bunga mahoni yang bermekaran pada rimbun pepohonan itu. Kali ini jemariku bergerak lebih cepat. Gairah seolah mengalir deras lewat tarian kuasku.
“Sudah selesai?” Lelaki itu sudah berada di sampingku.
Aku tersentak. “Saya tak melihat Bapak berjalan ke sini.”
“Kamu larut dalam lukisanmu,” ucap lelaki itu sambil mengamati lukisanku sekilas. “Sketsa yang menarik. Sayangnya, kamu tak menyisakan tempat untuk langit. Mengapa?”
Lagi-lagi saya tersentak. “Mengapa Bapak bertanya demikian?”
“Langit hari ini sungguh cerah,” katanya sambil menatap hamparan langit, “rasanya aneh, bila kau tak menuangkannya dalam lukisan ini.”
“Pengamatan Bapak sungguh tajam,” pujiku kagum, “benar, saya memang tak pernah melukis langit.”
“Boleh tahu mengapa?”