“Bagaimana denganmu?”
“Sejak berada dalam hutan ini, aku tak bertemu siapa pun. Hingga hari ini, aku telah bebas dari rindu itu.”
“Kau sungguh beruntung. Semoga aku seberuntung dirimu.”
“Jangan khawatirkan apa pun. Kita akan bersama-sama membunuh rindu milikmu.”
Kupandang lelaki itu lekat-lekat. “Benarkah? Kau mau melakukannya untukku?”
“Tinggallah di sini bersamaku. Mari kita membunuh rindu itu untuk selamanya.”
“Terima kasih,” ucapku penuh rasa syukur karena keputusanku untuk memasuki hutan ini adalah benar. Semoga setelah ini, aku tak perlu lagi berlari melintasi malam-malam.
***
Bersama dengan lelaki itu adalah babak baru tanpa kehadiran letih yang terus mendera. Hal yang paling melegakan adalah, aku tak menemukan rindu di wajah miliknya. Mungkin karena kami sama-sama ingin membunuh rindu atau mungkin pula karena rinduku telah terbenam. Bisa jadi rindu milik lelaki itu jauh lebih kuat dari rindu yang kumiliki, meskipun rindu telah membuat kakiku terus berlari selama bertahun-tahun lamanya. Entahlah. Aku tak tahu pasti.
Hal terpenting bagiku saat ini, aku tak perlu lagi berlari melintasi malam-malam yang penat. Sepasang kakiku bisa beristirahat dari perjalanan-perjalanan letih yang menyiksa malam-malamku. Sementara ini, itu sudah lebih dari cukup.
Hingga suatu hari, aku menemukan rindu dalam pandangan lelaki itu. Rindu itu begitu kuat dan membangkitkan kembali ketakutan-ketakutanku di masa lalu. Membuatku ingin berlari sejauh mungkin dan mengulang kembali perjalanan melintasi malam-malam yang panjang. Meski aku berusaha sekeras mungkin menyembunyikan keinginan itu, namun aku tak mampu menahannya lebih lama lagi. Aku harus pergi.