Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jika AKU Bukan DIA [Sepuluh-Pertemuan Kedua]

11 September 2016   10:06 Diperbarui: 13 September 2016   17:16 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika AKU Bukan DIA

Sebelumnya :

Satu (Secangkir Cappucino), Dua (Gelas Pecah), Tiga (Tangis Kemarau), Empat (Cemin Buram), Lima (Stiletto Merah), Enam (Blue 5 Cafe), Tujuh (Rahasia Brian), Delapan (Dalam Dilema), Sembilan (Prince Agler)

Alunan musik mengalun lembut ketika seorang gadis memasuki Blue 5 Cafe malam itu. Nada-nadanya seolah menyambut kedatangan seseorang yang sedang diliputi perasaan bahagia. Gadis itu langsung menuju tempat duduk favoritnya−di depan sang barista yang sedang mengobrol santai dengan beberapa pelanggan.

“Callista? Apa kabarmu? Sudah seminggu aku tak melihatmu.” Green tersenyum lebar menyambut kehadirannya setelah selesai menyapa pelanggan lainnya.

“Baik, cuma sedikit sibuk akhir-akhir ini. Kau tahu,” Callista mencondongkan tubuhnya sedikit, “aku harus sedikit berbelanja untuk melengkapi koleksi gaunku.” Ia menegakkan tubuhnya kembali. “Dan… bagaimana kabarmu?”

“Seperti yang kau lihat. Aku masih di sini.” Green mengangkat kedua bahunya.

Mereka berdua tertawa riang satu sama lain lalu tertegun beberapa detik setelahnya.

Hmmm… apa yang bisa kusajikan untuk pelanggan favoritku malam ini?”

“Bagaimana kalau secangkir cappuccino?

“Ah… ya. Secangkir kopi favoritmu. Tunggu sebentar.”

Ketika Green sedang menyiapkan pesanannya, Callista mengedarkan pandangan. Malam ini, Blue 5 Cafe lumayan sepi. Separuh meja tanpa pengunjung. Suasana sungguh tenang, dan Callista sangat menyukai hal itu.

Setiap kali berada di sini, Callista selalu merasa nyaman. Green adalah salah satu alasannya. Walaupun wajah-wajah pengunjung selalu berganti, tapi ia merasa sangat mengenal seluk-beluk tempat ini. Semacam perasaan diterima yang melegakan. Akhir-akhir ini, keinginan untuk berlama-lama menghabiskan malam sambil berbincang dengan barista pujaannya kerap mengganggunya. Tapi Callista juga menyadari, ia takkan selalu memiliki kesempatan untuk itu. Karena waktu tak sepenuhnya miliknya.

“Nah, apa yang kau lamunkan?” Green menghampirinya lalu meletakkan secangkir cappuccino di hadapannya.

“Bukan apa-apa. Aku hanya ingin berbincang denganmu,” cetusnya lalu tersipu saat menyadari kata-katanya.

Green tersenyum hangat. “Kalau begitu, kau harus melihat cangkirmu lebih dulu.”

Callista melirik buih di dalam cangkir kopinya. Miss You. “Wow! Kuharap ini bukan sekadar keramahan terhadap seorang pelanggan,” ungkapnya. Hatinya senang luar biasa.

“Siapa bilang? Ini serius. Kau tahu artinya?” Green memelankan nada suaranya, “aku juga ingin sekali berbincang denganmu.”

“Kau membuatku tersanjung.”

“Ini ungkapan jujur.”

“Tapi kau harus melayani pelanggan lainnya.”

“Beberapa hari yang lalu, aku mendapat tambahan bantuan.” Green menoleh dan tersenyum kepada seorang barista perempuan yang sedang menyiapkan pesanan pelanggan, “itu artinya, kita bisa berbincang lebih leluasa.”

Callista mengamati rekan baru Green. Cantik dan ramah. Perasaan gelisah mengganggu benaknya. Cemburu? Entahlah. Callista buru-buru menghalau kegelisahan itu dari benaknya. Ia gembira mendengar lelaki itu bersedia meluangkan waktu untuknya. Terlebih ketika Green menanggalkan celemeknya dan mengajaknya menuju salah satu meja di pojok kafe itu.

“Kau yakin ini tidak mengganggu pekerjaanmu?” tanya Callista cemas. Ia tak ingin Green mengalami kesulitan karena dirinya.

“Tidak akan. Kafe sedang tidak terlalu ramai. Tenang saja.”

“Oke,” sahut Callista singkat sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya. Dalam hati, ia bersyukur telah mengenakan gaun terbaru miliknya. Paling tidak ia sudah menunjukkan penampilan terbaiknya ketika berada dan berbincang sedekat ini dengan Green. Bisa jadi ini akan menjadi kencan pertama mereka. Kencan pertama? Tiba-tiba Callista merasa sepasang pipinya merona.

“Mengapa wajahmu bersemu?” tanya Green, “ada apa?”

“Oh, tidak,” kata Callista sambil mencubit pahanya sendiri. Bodoh sekali. Bertingkah seperti ini di depan lelaki pujaannya.

“Boleh aku bertanya?”

“Silakan.”

“Pada pertemuan pertama kita kemarin, kau mendadak kebingungan dan pergi buru-buru. Ada apa sebenarnya?”

Ingatan waktu itu samar-samar mendatangi benaknya. Pertemuan pertamanya dengan Green malam itu. Callista sedang menyampaikan niatnya untuk mempelajari latte art sambil menatap wajah lelaki itu ketika tiba-tiba seorang pelayan menyenggolnya. Lalu waktunya diambil alih oleh gadis pemalu itu. Bagaimana ia harus menjelaskan hal ini pada Green? Peluh mulai menitik di dahinya. Ia harus mendapatkan alasan meyakinkan agar lelaki itu tidak curiga.

“Callista? Kau mendengarku?”

“Ya, tentu.” Callista bersikap seluwes mungkin lalu mengangkat dagunya. “Waktu itu aku teringat janjiku untuk menemani mama pergi.”

“Pergi?”

“Ya, pergi berbelanja ke supermarket.”

“Semalam itu?”

“Mengapa tidak? Kami sering berbelanja pada malam hari. Supermarketnya tak jauh dari rumah.” Callista berusaha meyakinkan lelaki itu.

“Syukurlah… kupikir sesuatu telah terjadi,” desah Green lega, “kau kelihatan panik waktu itu.”

Nggak terjadi apa-apa. Sungguh.” Kelegaan di wajah Green membuat ketegangan di hati Callista surut. Keingintahuan lelaki itu reda untuk sementara. Malam ini, ia harus lebih berhati-hati.

“Bolehkah aku tahu lebih banyak tentangmu?”

“Tentang apa?”

“Kau sudah memiliki kekasih?”

“Belum. Lalu kau?”

Green tersenyum. “Menurutmu?”

“Lelaki semenarikmu seharusnya sudah memiliki banyak kekasih,” pancing Callista.

“Tidak juga, aku bukan tipe lelaki yang mudah jatuh cinta,” jawab Green santai.

“Lalu, mengapa kau bertanya soal kekasih padaku?” Callista menaikkan alis kirinya sambil memainkan ponsel dalam genggamannya.

“Karena aku ingin tahu, apakah aku memiliki kesempatan untuk mengenalmu lebih jauh.”

Hati Callista berdebar. Inilah saatnya. Tapi ketika ia ingin menjawab, kepalanya mulai terasa berdenyut. Buru-buru ia mohon pamit dan melangkah tergesa meninggalkan kafe. Meninggalkan secangkir cappuccino yang belum tersentuh dan tatapan heran milik Green.

***

bersambung...

Tepian DanauMu, 11 September 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun