Callista mengamati rekan baru Green. Cantik dan ramah. Perasaan gelisah mengganggu benaknya. Cemburu? Entahlah. Callista buru-buru menghalau kegelisahan itu dari benaknya. Ia gembira mendengar lelaki itu bersedia meluangkan waktu untuknya. Terlebih ketika Green menanggalkan celemeknya dan mengajaknya menuju salah satu meja di pojok kafe itu.
“Kau yakin ini tidak mengganggu pekerjaanmu?” tanya Callista cemas. Ia tak ingin Green mengalami kesulitan karena dirinya.
“Tidak akan. Kafe sedang tidak terlalu ramai. Tenang saja.”
“Oke,” sahut Callista singkat sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya. Dalam hati, ia bersyukur telah mengenakan gaun terbaru miliknya. Paling tidak ia sudah menunjukkan penampilan terbaiknya ketika berada dan berbincang sedekat ini dengan Green. Bisa jadi ini akan menjadi kencan pertama mereka. Kencan pertama? Tiba-tiba Callista merasa sepasang pipinya merona.
“Mengapa wajahmu bersemu?” tanya Green, “ada apa?”
“Oh, tidak,” kata Callista sambil mencubit pahanya sendiri. Bodoh sekali. Bertingkah seperti ini di depan lelaki pujaannya.
“Boleh aku bertanya?”
“Silakan.”
“Pada pertemuan pertama kita kemarin, kau mendadak kebingungan dan pergi buru-buru. Ada apa sebenarnya?”
Ingatan waktu itu samar-samar mendatangi benaknya. Pertemuan pertamanya dengan Green malam itu. Callista sedang menyampaikan niatnya untuk mempelajari latte art sambil menatap wajah lelaki itu ketika tiba-tiba seorang pelayan menyenggolnya. Lalu waktunya diambil alih oleh gadis pemalu itu. Bagaimana ia harus menjelaskan hal ini pada Green? Peluh mulai menitik di dahinya. Ia harus mendapatkan alasan meyakinkan agar lelaki itu tidak curiga.
“Callista? Kau mendengarku?”