“Maaf, aku hanya tak ingin terburu-buru memutuskan.” Tepat di saat ia berhenti bicara, nada pesan masuk kembali berdenting.
Kapan-kapan, bolehkah kita berbincang?
Perhatiannya kembali teralih. Seseorang dari dunia maya ingin berbincang dengannya. Baru kali ini ia mengalaminya. Sesuatu melintas di benaknya. Berbincang dengan seseorang yang tak dikenal sepertinya bukanlah ide yang buruk. Ia akan memiliki tempat mencurahkan uneg-uneg tanpa harus mencemaskan rasa malu, takut dan lainnya. Mungkin akan menyenangkan. Mengapa tidak? Jemarinya bergerak cepat.
Tentu.
Setelah menjawab pesan itu, hatinya berdegup kencang. Rasa senang, antusias, waswas, bercampur menjadi satu. Semoga saja teman baru dunia mayanya itu akan menjadi teman bicara yang menyenangkan. Lalu tiba-tiba kepanikan melandanya. Bagaimana jika pemilik akun Prince Agler adalah orang yang dikenalnya? Bisa jadi, itu hanyalah sebuah akun samaran.
“Sepertinya, memang ada yang lebih menarik perhatianmu. Siapa itu?”
“Oh, tidak,” geleng Cora. Entah mengapa, wajahnya memanas.
“Kita pulang saja. Lain kali aku akan mengajakmu keluar. Itu bila kau bersedia.”
Hati Cora diliputi rasa bersalah. Seharusnya, ia lebih menjaga sikapnya dan tak membuat Ramon tersinggung. Tapi sekarang sudah terlambat untuk memperbaiki keadaan. Lelaki itu sudah melambaikan tangan kepada pramusaji untuk membayar tagihan. Ketika ia mengikuti langkah Ramon keluar dari kafe, ponselnya kembali berdenting.
***
bersambung...