Lihatlah lelaki itu. Dia membuat layang-layang untuk kekasihnya. Layang-layang itu memenuhi langit-langit rumahnya dalam segala rupa dan warna. Besar, kecil, sedang, semuanya berlukiskan teratai kuning, putih, atau ungu. Lelaki itu akan berhenti hingga layang-layang ke seribu sambil menanti mentari terbenam, saat kekasihnya kembali untuk memenuhi janji...
***
Kau mencintai layang-layang seperti udara yang kau hirup di pagi hari. Sosokmu adalah tangan-tangan kehidupan. Hangat, lembut dan murni. Mengingatkanku akan halusnya sentuhan ibu. Hadirmu adalah segala rasa yang berdesakan, berlomba-lomba mengaliri seluruh pembuluh darahku. Cinta.
"Layang-layang perlambang impian. Kau bisa menerbangkannya sejauh yang kau inginkan, tapi suatu saat, kau bisa saja kehilangan."
Kata-kata yang kau ucapkan adalah sesuatu yang kau maknai sepenuh jiwa. Kau tak pernah menjelaskan mengapa kau begitu menyukai layang-layang. Tiada keraguan dalam nada bicaramu. Keteguhan tak terbantahkan. Itulah dirimu.
"Aku lebih menyukaimu dibanding layang-layang," kataku memuja.
Bola matamu berpendar, menerbangkanku menuju bintang-bintang. "Kalau begitu, bisakah kau membuatkanku layang-layang berlukiskan teratai?" Pintamu lirih, seperti untuk terakhir kali.
"Teratai?"
Kau mendekat, lalu berbisik di telingaku, "Jangan tanyakan, aku menyukai teratai sebagaimana aku menyukai layang-layang."
"Aku akan membuatkanmu layang-layang," jawabku di telingamu, "bukan satu, melainkan seribu."
"Seribu?" kau terperanjat, "sebanyak itu?"
"Satu tak cukup melambangkan ketulusanku."
Kau berlinang bahagia, "Kalau begitu, izinkanlah aku pergi menyeberangi lautan."
"Untuk apa? Mengapa kau harus meninggalkanku?"
"Karena aku akan kembali ketika seribu layang-layang telah kau tuntaskan. Saat matahari terbenam, kita akan melepaskan layang-layang itu ke angkasa."
"Apakah... kau akan menepati janji?"
Kau mengangguk. Haru. Senja bergulir temaram. Menghamburkan bayang-bayang hitam merajai semburat jingga. Mengakhiri hari sekaligus menjadi saksi sebuah janji.
***
Siang malam aku membuat layang-layang dalam rupa-rupa ukuran. Aku mereka-reka dalam benak, mana yang paling kau inginkan. Lalu melukis teratai kuning, putih atau ungu di atasnya. Saat lelah, aku berdiri memandang matahari terbenam. Menanti siluetmu hadir di batas senja.
Layang-layang itu telah memenuhi langit-langit rumah. Kupandangi sambil tak henti mendendangkan rindu. Saat membayangkan senyummu merekah, dadaku dipenuhi geletar bahagia.
Kapankah kau akan kembali?
***
Lihatlah lelaki itu. Sungguh kasihan. Dia tak berhenti membuat layang-layang untuk kekasihnya. Sudah lebih dari seribu. Matahari terbenam lagi hari ini. Namun, siluet perempuan itu tak kunjung hadir di batas senja...
***
Tepian DanauMu, 31 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H